Jeritan
Kematian Kala Pandemi Sindhunata ; Wartawan, Penanggung Jawab Majalah
Basis, Yogyakarta |
KOMPAS,
20 Maret
2021
Di masa pandemi Covid-19, statistik amat
berbicara. Kita suka membaca angka-angka. Tanpa kita sadari, kita terjebak
pada cara membaca, yang membuat kita memahami Covid-19 itu seakan hanyalah
naik turunnya kasus saja. Misalnya, data 15 Maret 2021, total kasus Covid-19
di dunia sebanyak 120.399.288, sembuh 96.944.566, meninggal 2.664.622. Di
Indonesia, positif Covid-19 menembus angka 1.425.044, sembuh 1.249.947, dan
meninggal 38.573. Kita khawatir, bila angka itu naik. Dan
terhibur, bila turun. Namun, benarkah bila kekhawatiran dan keterhiburan kita
hanya kita gantungkan pada naik turunnya angka? Kita lupa bahwa kematian
2.664.622 di dunia dan 38.573 di Indonesia bukan sekadar angka, melainkan
juga nyawa. Memang di balik sejumlah angka itu sesungguhnya ada rasa
kesedihan, kehilangan, dan kekecewaan. Kematian
yang tragis Kematian adalah kematian. Namun, jika kita
melihat kematian sebagai sekadar angka, dengan serampangan kita bisa
membandingkan kematian karena Covid-19 dengan kematian karena demam, serangan
jantung, sakit ginjal, bahkan kecelakaan lalu lintas. Setiap tahun, kematian
karena itu semuanya juga menempati statistik yang tinggi. Anggapan macam ini membuat kita lupa bahwa
kematian karena Covid-19 tak dapat dibandingkan dengan kematian lainnya.
Karena bersama kematian itu terjadi peristiwa yang tidak terjadi pada
kematian-kematian umumnya. Kematian sering datang dengan lebih dini
daripada yang dikira. Namun, mereka yang berpulang karena virus korona,
kematian itu sungguh tragis. Karena datang tanpa dinyana, sering tanpa
gejala, dan dalam waktu dekat sudah merenggut nyawanya. Kematian macam ini
pasti meninggalkan kesedihan dan penderitaan luar biasa bagi mereka yang
ditinggalkan. Seakan tanpa sebab apa pun, mereka tiba-tiba kehilangan orang
yang tercinta. Dokter, perawat, dan petugas kesehatan bisa
tetap selamat ketika merawat pasien yang menderita sakit, misalnya kanker,
jantung, atau ginjal. Tetapi dengan pasien virus korona, mereka harus
merisikokan nyawanya. Akhirnya tak sedikit dari mereka ikut meregang nyawa. Mereka yang terpapar lebih sedih lagi. Mereka
terasing dari keluarganya justru di saat akhir mereka sangat membutuhkannya.
Orang-orang yang bisa mendekat padanya harus pakai alat pelindung diri (APD)
lengkap. Mereka bahkan tak mengenali lagi, juga bila yang mengunjungi adalah
keluarga terdekat. Ketika kematian menjemputnya, nasibnya
benar-benar merana. Tubuhnya disemprot habis-habisan dengan disinfektan. Tak
diberi dandanan dan harus cepat-cepat dimakamkan. Penguburannya berlangsung
sepi. Keluarga terdekatnya hanya boleh menyaksikan dari jauh. Mereka sungguh
seperti orang yang terbuang dan dianggap sebagai wabah yang bisa menyebabkan
penularan walau mereka sudah berpulang. Biasanya, penguburan adalah saat di mana
mereka yang ditinggalkan memberikan penghormatan terakhir bagi yang
berpulang. Saat terakhir cinta dicurahkan, maaf dimintakan, dan keluarga
membisikkan pesan. Tentu saja disertai ritual keagamaan untuk mendoakan agar
yang meninggal pergi dengan tenang dan yang ditinggalkan dianugerahi
penghiburan. Ini semua ditiadakan pada kematian mereka
karena Covid-19. Alasannya, jangan sampai yang hidup ketularan. Itulah
kematian yang tragis bagi mereka yang mati karena Covid-19. Sudah selayaknya bahwa kematian dihiasi
dengan kebahagiaan. Bahkan, mereka yang hidupnya paling nista pun layak
mendapat kehormatan sebagai manusia pada saat kematiannya. Itulah yang
dilakukan Ibu Theresa, perempuan suci dari Kalkuta. Saat ia menerima hadiah Nobel tahun 1979 di
Oslo, Ibu Theresa berpidato, ”Saya tak pernah lupa, bagaimana saya menemukan
seorang laki-laki di jalanan. Sekujur tubuhnya dikerubungi lalat. Apa yang
kelihatan bersih hanyalah wajahnya. Saya membawa orang itu ke tempat di mana
kami menampung orang-orang yang mau meninggal. Inilah satu-satunya kata yang
ia ucapkan, ’Saya hidup seperti binatang di jalanan, tapi sekarang saya akan
mati sebagai seorang malaikat, dicinta dan dirawat’. Dan ia pun mati dengan
indah. Ia berpulang ke Tuhan. Kematian tak lain adalah pulang kembali ke
Tuhan. Saya merasa: Ia gembira dan bahagia karena mengalami cinta, bahwa ia dikasihi,
diinginkan, dan bahwa adalah seseorang yang berarti bagi yang lain.” Memang, menjelang ajal, siapa pun patut
mengalami bahwa ia adalah manusia, yang dicinta dan dihargai sebagai manusia.
Justru cinta dan penghargaan itulah yang hilang dalam kematian mereka yang
terpapar Covid-19. ”Maaf, penguburan ini tak berkenaan dengan penghormatan,”
inilah apologi di balik tiadanya ritual perpisahan dan keagamaan bagi mereka
yang meninggal karena Covid-19. Hal di atas kiranya adalah latar belakang
mengapa terjadi kasus seperti di Kabupaten Bantul, Yogyakarta, belum lama
ini. Ratusan sukarelawan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) mendatangi
DPRD Bantul. Mereka memprotes pernyataan salah seorang anggota Dewan
sehubungan dengan pemakaman jenazah korban Covid-19. Menurut para sukarelawan, anggota Dewan
tersebut pernah menyatakan, pemakaman jenazah korban Covid-19 dilakukan
dengan sangat tidak layak, seperti layaknya menguburkan binatang saja.
Pernyataan ini jelas sangat melukai hati para sukarelawan, yang dalam segala
keterbatasan telah menguburkan jenazah korban dengan ikhlas dan tulus.
Syukurlah, kasus itu selesai dengan permintaan maaf dari anggota Dewan itu. Kasus seperti di atas jelas memperlihatkan
bahwa Covid-19 membawa problem tentang kematian. Seperti dikatakan oleh
kolumnis dari die Zeit, Anna Mayr, Covid-19 mendorong kita untuk bicara terus
mengenai turunnya angka kematian, tetapi kita tak berbicara tentang
kematiannya sendiri. Kematian manusia menjadi anonim. Di balik ketidakacuhan terhadap kematian
ini bisa tersembunyi paham keselamatan liberal yang bilang, apa yang bernilai
adalah keselamatanku, peduli amat dengan kematian korban, dan dukacita mereka
yang ditinggalkan. Jika ketidakacuhan itu dibiarkan, kita takkan bakal bisa
bersama-sama menemukan ide, bagaimana menghargai dan menghormati mereka yang
telah berpulang dalam upacara ritual yang sepadan. Lumpuhnya
agama Memudarnya upacara ritual kematian karena
Covid-19 ini adalah salah satu tanda lumpuhnya kekuatan agama di era
modernitas ini. Menurut filsuf Giorgio Agamben, sudah lama sebenarnya agama
harus bersaing dengan kapitalisme dan ilmu pengetahuan. Berhadapan dengan
pandemi ini terlihat agama terpaksa ”takluk” terhadap ilmu pengetahuan,
khususnya medicine, ilmu kedokteran, dan obat-obatan. Lewat kekuasaan politik, agama diminta
tunduk pada ”ritual dan liturgi medicine”. Ini semua harus dibuat demi
kesehatan dan kehidupan. Maklum, bagi medicine, kesehatan dan kehidupan
adalah segala-galanya. Begitulah, kesehatan telah menjadi berhala
di era liberalisme ini. Kata Agamben, salvezza, keselamatan, telah
dikurbankan demi salute, kesehatan. Ini disebabkan agama harus mengikatkan
dirinya dalam sejarah, mencari keselamatan lewat sejarah. Akhirnya, apa yang
ditemukan lewat sejarah ini bukan keselamatan, melainkan kesehatan. Tujuan
akhir manusia adalah kesehatan. Apa pun yang di luar kesehatan—apalagi
kematian—tidak lagi diperhitungkan. Itulah sebabnya manusia mengalami
tiadanya lagi hubungan natural antara kehidupan dan kematian. Diingkari atau diterima, pandemi Covid-19
ini jelas mendekatkan kembali kematian pada kehidupan. Menurut teolog
Wolfgang Palaver, saat ini merupakan kesempatan agar kita tidak bersikap
dingin terhadap kematian. Dengan sikap itu, kita justru bisa
menghargai kehidupan. Namun, seperti sudah ditunjukkan Agamben, kelirulah
bila hidup itu kita sempitkan menjadi kesehatan. Begitu berpikir tentang
kesehatan, orang mudah tergoda untuk mengutamakan kesehatannya sendiri. Ini antara lain yang menyebabkan kita
seperti sama sekali tak mempunyai kemungkinan untuk berpikir bagaimana
memberi penghormatan yang layak bagi mereka yang mati karena Covid-19. Memang, hidup tak sekadar kesehatan. Maka,
Palaver setuju dengan filsuf Emmanuel Levinas yang mengatakan, menggenggam
hidup demi alasan apa pun, adalah akar dari kekerasan dan peperangan. Hidup
bukanlah sekadar hidup kita tetapi hidup demi dan bersama orang lain. Di
sinilah letaknya kita boleh berpikir kembali tentang keselamatan, di samping
atau melebihi kesehatan. Maka, Palaver tak setuju dengan pikiran
Agamben, seakan keselamatan bisa dipisahkan dari kesehatan. Keduanya tak
terpisahkan dan keduanya ada di dalam sejarah. Tak mungkinlah mencari
keselamatan di luar sejarah. Bila harus ditemukan dalam sejarah, keselamatan
harus ada bersama kesehatan. Namun, berbicara mengenai keselamatan, tak
mungkin melupakan kematian. Dengan kematian, keselamatan itu mencapai
kesempurnaannya. Kematian dalam arti inilah yang dilupakan selama pandemi.
Kematian seakan hanya disebabkan terinfeksi virus belaka. Maka, ritualnya
boleh diabaikan juga. Inilah kiranya yang menyakitkan hati banyak keluarga
yang ditinggal orang tercinta yang mati karena virus korona ini. Politik
yang tuli Sudah lama kita mendesak kematian sebagai
bukan bagian dari politik. Sekarang ganti politik yang didesak oleh kematian,
sampai gelagapan. Politik jadi kehilangan jalan menghadapi kematian yang
bertubi-tubi datang. Politik dipaksa untuk takut pada kematian. Menurut Palaver, takut akan kematian jangan
diartikan hanya negatif. Takut juga meliputi respek. Jika menaruh respek
terhadap kematian, politik pun akan menghasilkan tindakan-tindakan yang
bertanggung jawab. Di hadapan kematian yang demikian mengancam
selama pandemi ini, politik dipaksa untuk menyadari bahwa hidup itu ternyata
demikian berarti. Maka dengan menghormati kematian, politik pun pasti akan
menghormati kehidupan. Karena bukan kematian melainkan hanya hiduplah yang
bisa memberi orientasi, maka politik harus mencari manakah orientasi baru
yang sekarang diberikan oleh hidup ini. Jika politik malas mencari orientasi
baru itu, bisa terjadi akan datang lagi bahaya yang akan menerkam kita dengan
kematiannya. Pertama-tama, orientasi baru hendaklah
menghapus pandangan darwinisme sosial yang secara kasar bersemboyan: yang
mati biarlah mati, yang hidup biarlah hidup. Pandangan ini jelas merelakan
yang lemah sebagai korban demi yang kuat. Tragis, bahwa selama pandemi ini
darwinisme sosial ini sempat mengemuka justru di beberapa negara maju. Sekali lagi tampak, seperti ditunjukkan Agamben,
itulah berhala dari liberalisme yang mengukuhkan hidup dan kesehatan sebagai
satu-satunya tujuan. Terbuka pula kedok dari berhala itu, karena ternyata
hidup dan kesehatan yang diperjuangkannya adalah hidup dan kesehatan dari
mereka yang kuat. Yang lemah dibiarkan tak terlindungi. Di balik darwinisme sosial itu tersembunyi
logika kalkulatif yang kejam. Logika demikian bisa dengan dingin
berkesimpulan: bolehlah satu orang mati, jika ribuan orang diselamatkan.
Secara moral, logika ini tak bisa dipertanggungjawabkan. Tak dapat diterima,
bahwa manusia boleh dikorbankan, bahkan seorang saja, demi keuntungan sekian
banyak orang lainnya. Orientasi baru itu kiranya juga perlu
menjauhi prinsip modernitas, yang memandang manusia itu bernilai sejauh ia berguna.
Menurut sosiolog Zygmunt Bauman, prinsip ini bisa berpendapat, bahwa akhirnya
manusia hanyalah sampah, bila sudah tidak ada gunanya lagi. Karena sudah tidak berguna lagi, ia boleh
dikecualikan, bahkan dibuang seperti sampah. Maklum prinsip itu berpandangan,
hidup akan nyaman, bila tidak terganggu oleh mereka yang hanya menjadi beban.
Dalam bahasa Agamben, kaum terbuang itu adalah homo sacer. Di zaman dulu, homo sacer adalah kaum yang
dianggap tidak berguna dan boleh dikorbankan. Di zaman ini, homo sacer adalah
mereka yang tak bisa dan tak berkapasitas untuk bisa ikut dalam tata aturan
demokrasi zaman modern. Karena itu, bahkan demokrasi pun diam-diam
menyingkirkan mereka. Bauman memerincikan homo sacer itu sebagai
mereka yang kehilangan pekerjaan, para penganggur, dan kaum terpinggirkan.
Mereka ini sudah tidak dapat berproduksi lagi karena itu mereka terbelit
dengan problem finansial. Akibatnya, mereka juga tidak bisa menjadi konsumen
yang ideal. Mereka ini kehilangan suaranya. Akibatnya,
mereka pasti akan tercampakkan dari proses demokrasi. Demokrasi mengandaikan
warga yang bisa mengurusi dan menentukan nasibnya sendiri. Sementara kaum ini
justru harus diurusi karena tak bisa menentukan nasibnya sendiri. Maka, bila
digampangkan, politik dengan mudah menganggap mereka pengganggu bagi
demokrasi. Banyak yang keliru dalam modernitas di
zaman ini. Sudah lama orang tidak mau keluar dari kekeliruan itu. Dengan
jeritan kematiannya, pandemi Covid-19 memaksa kita untuk meluruskan lagi
jalan yang keliru itu. Jeritan ini tak boleh kita diamkan karena jeritan itu
tidak hanya menggugat, tetapi juga memberi kesempatan bagi kita untuk
memikirkan kembali kehidupan. Jeritan itu meneriakkan kematian itu
sakral. Bila kita rela untuk kembali mensakralkan kematian, kehidupan juga
akan kita sucikan. Maksudnya, kematian menghendaki kita untuk tidak
bermain-main dengan kehidupan dan menyempitkan kehidupan hanya sebagai
kesehatan belaka. Kehidupan adalah keselamatan, bukan bagi diri kita sendiri,
melainkan juga demi sekian banyak manusia lainnya. Di negeri ini, pandemi juga telah
mendekatkan kita pada kematian. Politik kita pun sempat dibuat bingung dalam
menghadapi kematian itu. Sayangnya, politik kita seakan menutup telinga
terhadap jeritannya. Pesan utama kematian, yakni kehidupan itu bernilai, maka
hargailah kehidupan dan jadikan kehidupan itu keselamatan. Kita lupa akan pesan kematian itu. Politik
tetap kita dangkalkan dengan remeh temeh persoalan yang tak kunjung padam.
Politik kita jadikan arena pertikaian, perebutan kebenaran, yang kita sajikan
lewat hujatan dan kebohongan. Hiruk-pikuk politik yang dangkal,
menjemukan dan menjengkelkan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan
masalah-masalah yang ditinggalkan pandemi dan harus kita urusi: pengangguran,
hilangnya kesempatan kerja, kemiskinan, dan sekian banyak warga yang mendadak
terpinggirkan. Demokrasi kita tak boleh mengabaikan warga
yang tiba-tiba-tiba menjadi homo sacer itu. Sayangnya, demokrasi kita malah
menjadi ajang para elite politik untuk berebut kekuasaan, dan mencari
keamanan bagi dirinya sendiri. Elite itu menggembar-gemborkan
antiliberalisme, tetapi sebenarnya mereka malah telah memeluk sikap liberal
itu sendiri. Sikap liberal itu tak lain adalah kesombongan dan pamrih untuk
mencari enaknya sendiri. Rasanya, politik kita sungguh
menyia-nyiakan jeritan kematian sekian banyak warga yang telah terenggut
nyawanya karena pandemi ini. Kita seakan tidak berutang apa-apa pada mereka.
Padahal, utang itu baru bisa kita bayar, bila kita mau menjalankan politik
yang menghargai kehidupan. Dan itu kita baru benar-benar akan terwujudkan,
bila politik mau membela dan memperjuangkan mereka yang hidupnya lemah dan
terancam. Orang Jawa mempunyai ajaran tentang mati
sajroning urip, rela mati dalam hidup ini. Siapa mau mempraktikkan ajaran
itu, ia akan menjadi arif dan bijak dalam kehidupan ini. Di sanalah kita
diajar untuk tidak memutlakkan hidup kita sendiri,dan mau kehilangan sebagian
hidup kita demi hidup orang lain. Pandemi telah mempertajam kebenaran ajaran
itu. Bila mau peduli dengan kebenaran itu, politik kita pasti akan menjadi
lebih arif dan bijaksana. Sayang, politik kita tetap membandel dengan
lagak-lagunya yang lama, seakan kematian di tengah pandemi ini tak menuntut
apa-apa. Tak kelihatan sedikit pun manakah orientasi baru, yang harus kita
temukan secara bersama-sama untuk menghadapi masa depan setelah pandemi
mengancamkan kematiannya pada kita sekarang. Rupanya, politik kita juga tak
juga mau menjadi arif kendati mendengar jeritan kematian di tengah pandemi
ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar