Orbit
Geostasioner dan Lemahnya Postur Hukum Keantariksaan Indonesia Alif Nurfakhri Muhammad ; Dosen Hukum Internasional Publik di FHUI, Peneliti Senior
Bidang Hukum Udara dan Angkasa pada Center for International Law Studies UI |
KOMPAS,
16 Maret
2021
Kisruh slot orbit geostasioner Indonesia
yang terancam diambil kembali oleh International Telecommunications Union
menjadi cerminan masalah yang lebih besar dalam dunia keantariksaan
Indonesia. Dalam sejarahnya, Indonesia telah berusaha
mengklaim slot orbit geostasioner menjadi bagian dari wilayah kedaulatan
Indonesia melalui konsep kedirgantaraan. Namun, konsep itu bertentangan
dengan komitmen Indonesia pada Outer Space Treaty yang pada Pasal IV mengatur
bahwa tidak ada negara yang dapat mengklaim bagian apa pun di ruang angkasa. Orbit geostasioner merupakan posisi orbit
yang strategis, khususnya untuk menempatkan satelit komunikasi dan
pertahanan. Pada orbit ini, satelit yang ditempatkan akan tetap berada di
atas bagian permukaan Bumi tertentu dalam orbitnya. Suatu negara dapat
memperoleh slot orbit geostasioner dengan melakukan pengajuan kepada
International Telecommunications Union (ITU). Dalam pengajuan ini, negara tersebut harus
memberikan proposal perencanaan yang mendetail mengenai satelit apa yang akan
ditaruh, berapa lama masa operasinya, spesifikasi teknis satelit, serta
penggunaan dan operator yang akan diberikan hak penggunaannya. Pengajuan ini diterima oleh ITU dengan prinsip
first come, first serve, maksudnya adalah siapa yang mendaftarkan pengajuan
terlebih dulu, negara pendaftar akan mendapatkan prioritas alokasi slot
orbit. Setelah memperoleh alokasi tersebut, negara
yang mengajukan dan operator yang akan melaksanakan kegiatan memiliki waktu
tujuh tahun sejak tanggal disahkannya alokasi untuk menempatkan satelit. Jika
negara tidak memastikan bahwa slot orbit yang didapatkan digunakan untuk
orbit satelit, negara itu akan kehilangan hak penggunaan dan alokasi orbit geostasioner. Indonesia, sebagai negara yang telah
mendapatkan alokasi slot orbit 123 derajat Bujur Timur sejak 2000 memberikan
slot ini kepada PT ACeS untuk pengoperasian satelit Garuda-I. Namun, karena
alasan teknis, pada 2015, satelit ini mengalami proses deorbit dari orbit
geostasioner yang telah dialokasikan untuk Indonesia. Pada tahun yang sama, Indonesia memberikan
alokasi orbit ini untuk Kementerian Pertahanan yang telah mengajukan
permohonan penggunaan orbit sejak 2013, yang selanjutnya menyewa dan memindahkan
satelit Artemis milik Avanti Communications ke posisi orbit 123 derajat
selama Kementerian Pertahanan mempersiapkan satelitnya sendiri sebagai bagian
dari Proyek Satkomhan. Masalah muncul ketika Kementerian
Pertahanan tak dapat menyelesaikan pembayaran sewa satelit Artemis kepada
Avanti Communications. Avanti kemudian memindahkan satelit Artemis keluar
dari orbit 123 derajat pada 2017, yang membuat ITU memberikan peringatan
kepada Indonesia bahwa Indonesia memiliki waktu hingga 2024 untuk dapat
mengisi kembali slot 123 derajat dengan satelit barunya, dan hingga saat ini
Indonesia belum dapat mengisi kembali slot orbit geostasioner 123 derajat. Terkait
telekomunikasi Berdasarkan penjabaran di atas, terdapat
beberapa masalah hukum keantariksaan dan telekomunikasi yang dapat
dianalisis. Pertama, pengajuan alokasi slot orbit geostasioner yang dilakukan
Kementerian Pertahanan belum dilakukan dengan perencanaan yang jelas.
Perencanaan yang kurang jelas ini merupakan bukti bahwa pengaturan mengenai permohonan
pengajuan alokasi slot orbit di Indonesia masih belum dilengkapi dengan
sistem pengawasan yang sesuai. Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No
53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum dan Frekuensi Radio dan Orbit
Satelit mensyaratkan, permohonan pengajuan alokasi orbit sekurang-kurangnya
memuat parameter teknis, seperti rencana lokasi satelit pada orbit, daerah
cakupan, dan frekuensi radio. Kemudian, pada Pasal 26 Ayat (3) Peraturan
Menteri Kominfo Nomor 21 Tahun 2014, persyaratan tersebut dijabarkan lebih
lanjut dengan mencakup rencana penggunaan satelit, rencana bisnis, dan
rencana pembiayaan pengadaan satelit. Namun, dokumen-dokumen persyaratan ini
belum dilengkapi dengan pembuktian keuangan badan usaha atau lembaga negara
yang stabil dan lancar (financial solvency). Peraturan yang ada juga belum dilengkapi
dengan sistem pengawasan dan audit keuangan yang cukup untuk memastikan bahwa
pemohon merupakan badan usaha atau lembaga negara yang stabil secara keuangan
untuk dapat meluncurkan dan menempatkan satelitnya pada orbit tersebut. Dari sisi pemerintah, seharusnya PP No 53
dan peraturan turunannya ini memastikan bahwa slot orbit geostasioner tetap
terisi, dengan mengamanatkan suatu mekanisme yang dilakukan oleh pemerintah
untuk selalu menempatkan satelit pada slot-slot tersebut agar ”Jam Tujuh
Tahun” itu untuk slot orbit geostasioner Indonesia tidak berdetak. Hal lain yang dapat dilakukan untuk
memastikan bahwa Indonesia tidak kehilangan slot ini adalah dengan memiliki
satelit negara yang siap luncur dalam waktu kurang dari dua tahun sejak
kosongnya salah satu slot orbit geostasioner Indonesia. Kebijakan
keantariksaan Masalah lain yang dapat diangkat dari
jabaran kasus tersebut adalah belum jelasnya pemetaan kebijakan keantariksaan
nasional Indonesia (national space policy), khususnya dalam hal pemetaan dan
penjaminan keterisian slot orbit geostasioner Indonesia. Pasal 9 UU Keantariksaan Nomor 21 Tahun
2013 mengamanatkan bahwa lembaga terkait (dalam hal ini Lapan) setiap tahun
membentuk suatu kajian untuk menyusun kebijakan keantariksaan nasional. Hal
ini sangat diperlukan untuk memetakan bagaimana alokasi slot orbit
geostasioner Indonesia, orbit yang strategis, tetap terisi, baik untuk
digunakan oleh pemerintah maupun pihak swasta. Suatu kebijakan keantariksaan nasional
tentunya harus memiliki beberapa materi muatan penting yang memberikan fokus
pengembangan teknologi dan regulasi keantariksaan Indonesia. Selain dari
pengembangan sains, keselamatan dan keamanan, atau kegiatan komersial keantariksaan,
hal yang paling penting dirumuskan dalam kebijakan ini adalah perihal
pertahanan dan keamanan. Pertahanan dan keamanan sangat berkaitan
dengan terancam hilangnya slot orbit geostasioner Indonesia karena slot orbit
yang terancam hilang ini telah diperuntukkan bagi Satelit Komunikasi
Pertahanan, seharusnya merupakan materi yang fundamental dalam penyusunan
kebijakan keantariksaan nasional. Terakhir, absennya suatu kebijakan
keantariksaan nasional dapat disebabkan ketidakhadiran suatu dewan penasihat
yang seharusnya merumuskan arah kebijakan-kebijakan tersebut. Dewan ini, seharusnya memetakan postur
teknologi dan regulasi keantariksaan serta menentukan arah dan fokus kegiatan
keantariksaan nasional yang dituangkan dalam suatu Buku Putih Kebijakan Keantariksaan
Nasional. Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan pembentukan kembali Dewan
Penerbangan dan Keantariksaan Nasional yang telah dinonaktifkan pada 2014. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar