Impor
Beras Dahlan Iskan ; Mantan CEO Jawa Pos |
DISWAY,
24 Maret
2021
YANG jadi bisik-bisik ibu rumah tangga
adalah: harga cabai meroket sampai Rp
110.000/kg. Yang jadi bisik-bisik petani adalah: akan
ada impor beras lagi sebanyak 1 juta ton. Berarti, kata mereka, harga gabah
di musim panen minggu-minggu ini akan jatuh –setidaknya tetap rendah. Di tengah kegalauan petani itu muncul angin
segar: Bulog tidak akan impor beras. Yang mengatakan itu adalah kepala Bulog
sendiri, Komisaris Jendral (Komjen) Polisi Budi Waseso –seperti disiarkan
secara luas oleh media. Memang, rupanya, ada usulan dari
kementerian perdagangan: harus impor beras. Lalu ada keputusan menko
perekonomian: impor beras. Dalam keputusan pemerintah itu Bulog
ditunjuk sebagai importernya. Kelihatannya seperti ada yang tidak
nyambung. Tapi Budi Waseso memang sudah terlihat ”independen” sejak menjabat
kabulog. Impor beras saat ini memang bisa seperti
pedang berkata lima: akan menyulitkan Bulog, akan menyulitkan posisi politik
Presiden Jokowi, akan menyulitkan petani, akan menyulitkan cash flow, dan
menyulitkan neraca perdagangan yang sudah sulit. Menurut angka di Bulog posisi stok beras
saat ini memang tinggal 900.000 ton. Angka itu bisa saja dianggap tidak aman.
Khususnya oleh pemerintah. Lengah sedikit bisa terjadi gonjang-ganjing: harga
beras tiba-tiba naik dan inflasi terganggu. Angka inflasi memang telah menjadi
kebanggaan baru pemerintah. Di tengah kesulitan pandemi yang panjang ini
inflasi tetap terjaga bisa tetap rendah. Prestasi itu sangat jadi andalan
prestasi ekonomi pemerintah. Tidak perlu gelisah dengan kenaikan harga
cabai –setinggi apa pun. Harga cabai sudah dikeluarkan dari salah satu parameter
penentu inflasi. Beda dengan harga beras. Harga beras masuk
penentu inflasi. Pemerintah akan menjaganya melebihi apa pun. Dari sini kelihatannya pemerintah tidak mau
kecolongan. Stok beras di Bulog sudah biasa dianggap aman kalau di level 1,7
juta ton. Maka stok 900.000 ton sekarang ini dianggap berbahaya. Memang kebijakan impor beras itu seperti
menyengat hidung. Tidak ada berita kemarau panjang. Tidak ada pula berita
banjir yang sampai menghancurkan lahan pertanian secara luas. Pun tidak ada berita
hama wereng di mana-mana. Ditambah, musim hujan kita begitu basah tiga tahun
terakhir. Dengan keadaan alam seperti itu harusnya
produksi beras cukup. Maka berita impor itu benar-benar seperti petir. Adakah tidak diperhitungkan bahwa
minggu-minggu ini sudah memasuki musim panen? Yang angka 900.000 ton di Bulog
tadi bisa dengan cepat kembali di atas 1 juta ton? Pun harus dilihat bahwa di musim panen stok
beras tidak hanya ada di gudang-gudang Bulog. Stok itu sebagian besar ada di
rumah-rumah penduduk. Kecil-kecil tapi jumlahnya jutaan. Di luar itu masih harus dilihat keadaan di
pasar-pasar beras. Di sana bisa terlihat apakah ada stok beras yang di luar
”beras normal”. Saya sebut bukan beras normal karena memang
ada sejumlah beras yang diimpor lewat jalur khusus: beras khusus. Yang karena
sifatnya khusus maka dianggap tidak akan mengganggu petani. Beras khusus itu diasumsikan tidak menjadi
saingan petani kita. Misalnya beras untuk memasak nasi briyani. Petani kita
tidak menanam padi jenis itu –karena hanya orang Arab dan India yang
memakannya. Tapi menarik juga untuk dilihat
kenyataannya di pasar-pasar beras: apakah hanya beras India yang ada di situ.
Atau ternyata ada juga beras-beras Vietnam, Thailand, dan Kamboja yang
mendapat izin impor khusus. Yang bisa saja diimpor dengan dalih sama: beras
khusus. Misalnya khusus Vietnam atau khusus Thailand. Atau khusus karungnya
berwarna partai. Saya hanya bisa tersenyum ketika membaca
penolakan Pak Buwas untuk impor 1 juta ton beras sekarang ini. Rasanya para
petani pun akan ikut tersenyum. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar