Belajar
PPKN dari Taufiq Ismail? No, Thanks Chris Wibisana ; Pelajar dan peneliti sejarah independen. Saat ini menetap
di Tangerang Selatan, Banten |
TIRTO,
24 Maret
2021
Masa persiapan ujian sekolah di permulaan
Maret 2021 memaksa saya kembali membuka buku-buku pelajaran yang sudah 1-2
tahun tak dibaca. Di tengah nihilnya keasyikan membaca buku ajar, saya
kembali menemukan pembuka sebuah bab yang ganjil dalam buku Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan Kelas XI dalam bab “Sistem dan Dinamika Demokrasi
Pancasila”. Di luar uraian materi yang menjemukan dan
penuh lingkar-putar itu, perhatian saya tertuju pada ilustrasi pembuka bab
yang menyajikan puisi Taufiq Ismail, “Demokrasi Kebun Binatang”. Puisi yang
termuat dalam buku Katastrofi Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma,
Maoisma, Narkoba (hal. 282-285), dikutip ulang lengkap sebagai stimulus
pengantar bab. Klaim penulis buku, “Demokrasi Kebun Binatang” dicantumkan
dengan maksud, “....membantu kalian memahami makna demokrasi dan budaya
demokrasi.” Respons saya ketika mendapati puisi itu?
Geli dan mulas. Apa pentingnya Taufiq Ismail dikutip dalam perbincangan
tentang demokrasi? Ada begitu banyak ilmuwan dan pemikir politik di Indonesia
yang tekun mengamati demokrasi. Lalu, mengapa Taufiq Ismail yang dipilih? Saya tak ingin menyangkal bahwa sastrawan
dan karyanya tentu bisa memantik diskusi panjang tentang demokrasi. Sudah
sangat sering Walt Whitman dipelajari untuk memahami visi kehidupan
demokratis yang alamiah sebagaimana dibayangkan masyarakat Amerika pada abad
ke-19. Sudah sangat sering pula orang membahas peran Heinrich Heine sebagai
intelektual publik beserta puisi-puisinya yang mewarnai pemberontakan rakyat
dalam Revolusi 1848 di Jerman. Dan tentu kita tak lupa betapa bertenaganya
puisi-puisi Widji Thukul menggedor kesadaran massa untuk menjebol rezim Orde
Baru. Tentu Taufiq Ismail bukan Whitman, Heine,
dan Thukul. Bukunya yang disinggung dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
juga bukan karya sastra ataupun karya akademik, bahkan tak bisa dibilang
sejarah populer. Katastrofi Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma,
Maoisma, Narkoba terbit pada 2004, hanya berjarak 39 tahun dari pembantaian
jutan manusia oleh pemerintahan teror yang ikut ia sokong pendiriannya; dan 6
tahun setelah rezim pembantai itu bubar. Katastrofi Mendunia adalah pamflet alarmist
dengan daftar ancaman yang selalu bisa diperbarui pada judul di tiap edisi
revisinya. Tak hanya “Marxisma”, “Leninisma”, “Stalinisma”, “Maoisma”,
“Narkoba”, tapi juga, misalnya: 1. Katastrofi
Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda (2005) 2. Katastrofi
Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda, Mafia
Migas (2006) 3. Katastrofi
Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda, Mafia
Migas, Kutu Beras (2007) 4. Katastrofi
Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda, Mafia
Migas, Kutu Beras, Penista Agama (2017) 5. Katastrofi
Mendunia: Marxisma, Leninisma, Stalinisma, Maoisma, Narkoba, Al-Qaeda, Mafia
Migas, Kutu Beras, Penista Agama, Mobile Legend (2018) Bagaimana mungkin kita bisa belajar
“memahami makna demokrasi dan budaya demokrasi” dari karya yang hanya menjual
ketakutan dan pepesan kosong? Masalahnya, dampak dari kerja-kerja orang
seperti Taufiq Ismail sebagai apologis rezim berdarah tak berhenti sampai di
situ. Taufiq Ismail adalah bagian warisan zaman lapuk yang mengajarkan kepada
kita semua untuk tidak jujur pada sejarah. Pendidikan
Pancasila Mari kita masuk ke ihwal yang lebih
substansial. Kengawuran buku ajar ini juga mengingatkan saya pada kontroversi
seputar pengesahan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila Juni
2020 lalu. Beberapa dari kita mungkin mengingatnya sebagai rangkaian polemik
di televisi dan di media sosial tentang relevansi produk hukum ini. Sebagian
besar opini publik mengarah kepada ketidaksetujuan karena substansi
undang-undang yang dinilai tendensius hendak menyelewengkan Panca Sila menjadi
Tri Sila dan Eka Sila; sebagian lain menyoroti masalah pencabutan Ketetapan
no. XXV/MPRS/1966 tentang Marxisme-Leninisme. Berlalu sembilan bulan, saya terus teringat
akan serangkaian unjuk-rasa di depan Kompleks Parlemen Senayan yang menentang
pengesahan RUU sambil menebar prasangka dan desas-desus “penyusupan komunis”
dalam mekanisme legislasi tersebut. Syakwasangka yang menggelikan itu membuat
saya tak habis pikir. Selain mengandung kelucuan di atas rata-rata, tuduhan
keblinger bahwa “Eka Sila adalah bukti misi komunis yang mau mengganti sila
ketuhanan” juga menunjukkan simpul kebutaan sejarah dan kelumpuhan nalar
kritis akibat warisan budaya sensor peninggalan Orde Baru. Tapi, dari mana sebenarnya opini nirbobot
macam ini bisa muncul? Soeharto memang sudah mati, tetapi hantu
Orde Baru terus menghantui langkah ke mana bangsa ini hendak bertolak. Dan
hantu itu bertahun-tahun lamanya bersemayam di buku pelajaran—dan secara
eksplisit dalam kurikulum—Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
(selanjutnya: PPKN) yang disusun dan diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan RI tahun 2014. Tiga kata yang dapat saya gunakan untuk
merepresentasikan karakteristik buku dan kurikulum ini—sesudah mempelajarinya
selama mengenyam bangku sekolah—adalah sesat, picik, dan gagal move on dari
ideologi keblinger Orde Baru. Karena karakteristik macam ini pula, saya
tidak segan menuding biang salah kaprah seputar Eka Sila adalah mata
pelajaran yang sengaja didesain para gedibal Orde Baru dengan tujuan mencetak
kultur seragam yang tegak berdiri di atas kedunguan, sehingga bila penguasa
bertindak sewenang-wenang, rakyat cukup menerima dan pasrah, tidak melawan,
apalagi merombak watak kekuasaan itu sendiri. "Juru
Selamat" Palsu “Disinformasi”—yang sering dipertukarkan
dengan “hoaks” atau “fitnah” atau “berita palsu”—adalah kata yang hari-hari
ini sering terlontar dari mulut aparat negara. Blunder kebijakan sering
dialamatkan pada “disinformasi”. Para penolak RUU yang tak populer seperti
Omnibus Law kerap dituduh menyebarkan informasi palsu. Bahkan peringatan atas
ancaman COVID-19 awalnya ditanggapi oleh pemerintah sebagai “hoaks”. Salah satu “disinformasi” yang dampaknya
bisa menjangkau beberapa generasi sekaligus rupanya ada di buku PPKn Kelas
XII. Pada halaman 112, buku itu menyebutkan keterangan bahwa Eka Sila adalah
pemerasan Panca Sila yang kongruen dengan trias Nasionalisme Agama Komunisme
(Nasakom). Di sini saya kutipkan paparan itu yang verbatim berbunyi, “Salah
satu penyimpangan tersebut—dalam masa Demokrasi Terpimpin—adalah terjadinya
pemerasan dalam penghayatan Pancasila. Pancasila yang diperas menjadi tiga
unsur yang disebut Trisila, kemudian Trisila ini diperas lagi menjadi satu
unsur yang disebut Ekasila. Ekasila inilah yang dimaksud dengan Nasakom
(nasionalis, agama dan komunisme).” Jika kita berniat jujur pada sejarah,
mengapa kutipan asli dari perumus “Ekasila” ini tak disertakan? Saya kutip
dari penjelasan langsung sang perumus Panca Sila, Sukarno, dalam pidatonya
yang kemudian diberi tajuk “Lahirnja Pantja Sila”. “Djikalau
saja peras jang lima mendjadi tiga dan jang tiga mendjadi satu, maka dapatlah
saja satu perkataan Indonesia jang tulen, jaitu perkataan g o t o n g - r o j
o n g! Negara Indonesia jang akan kita dirikan haruslah negara gotong-rojong!
Alangkah hebatnja, negara gotong-rojong!” Salahkah mengutip Sukarno dalam pidato itu?
Tidak, kecuali jika sejak awal Anda mempraktikkan akrobat logika dengan
meloncat langsung kepada kesimpulan bahwa kutipan asli Sukarno tak perlu
dipelajari karena berasal dari masa Demokrasi Terpimpin dan bahwa Demokrasi
Terpimpin jahat adanya. Siswa tidak diberikan kesempatan menelaah sumber
primer seperti pidato “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, yang tak lain adalah
bagian penting dari pertarungan gagasan selama “Demokrasi Terpimpin”. Dan itulah yang terjadi pada buku ini.
Uraian “Demokrasi Terpimpin” beserta dinamika Indonesia masa itu cenderung
diukur dengan barometer “Demokrasi Pancasila” made in Orde Baru. Seakan-akan
“Demokrasi Pancasila” ala Orde Baru adalah puncak peradaban, sumber nilai
pamungkas masyarakat, dan akhir sejarah. Siswa tak mendapat penjelasan
mengapa “Demokrasi Terpimpin” dipilih sebagai jalan keluar atas resah-rusuh
kabinet selama 10 tahun sejak 1950-1959. Tak dijelaskan pula bagaimana usulan
Dekrit Presiden—yang mengawali Demokrasi Terpimpin—muncul dari tubuh tentara
sendiri, tepatnya dari Jenderal A.H. Nasution. Sulit berharap PPKN mampu menjelaskan
mengapa, sejak 1966, Orde Baru dan bangsa Indonesia harus berbakti pada
kehendak Washington secara umum dan modal multinasional secara khusus; atau
mengapa Indonesia memainkan peranan penting sebagai salah satu pelopor
pergerakan rakyat Asia Afrika pada 1955 dan setelahnya. Tidaklah perlu
menjangkau masalah-masalah klasik seperti legitimasi SP 11 Maret, praktik
pembantaian dan pemenjaraan massal sonder peradilan, atau duit yang dibegal
lewat yayasan-yayasan Cendana berpuluh tahun lamanya. Alasannya sederhana
saja: PPKN terang berusaha menafikan realitas Indonesia pra-Orde Baru dan
berasumsi bahwa “Orde Lama”—istilah yang lebih sering digunakan guru PPKN,
alih-alih “Demokrasi Terpimpin”—adalah banaspati yang menjerat Indonesia dan
Orde Baru ialah juru selamat untuk membebaskan Indonesia. Nasionalisme
Picik dan Tumpulnya Daya Kritis Tak hanya menebar disinformasi, kurikulum
PPKN juga menjebak siswa dalam slogan-slogan yang merayakan nasionalisme
picik dan pengkultusan terhadap institusi TNI-Polri. Sebut saja yang paling terkenal yaitu “NKRI
Harga Mati”. Slogan yang pertama dicetuskan K.H. Muslim Rifai Imampuro,
mantan pemimpin Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti, Klaten sekitar tahun
1983 ini, mulanya digunakan untuk menegaskan komitmen kelompok Islam atas
Pancasila di tengah paksaan untuk menerima Asas Tunggal di bawah Orde Baru.
Akan tetapi, slogan ini menemukan kehidupannya yang kedua sejak 1998-1999,
ketika konflik komunal meletus di banyak tempat di Indonesia. Sejak itu, tak
terhitung sudah berapa kali slogan ini direproduksi militer untuk
menjustifikasi perannya di bidang-bidang yang tak berhubungan dengan
perang—termasuk politik dan kehidupan sosial sehari-hari. Di sinilah letak masalah besarnya. Tanpa
pembekalan sungguh-sungguh mengenai prinsip-prinsip kewargaan dan kebangsaan
yang cukup, doktrin “NKRI Harga Mati” yang diajarkan kepada siswa melulu
diulang-ulang sebagai sebuah mantra. Di sana tidak ada pemahaman yang lebih
dalam tentang makna bangsa sebagai sebuah persatuan manusia dan tempat.
Setelah “NKRI Harga Mati”, nasionalisme Indonesia tak lagi menjadi spirit
emansipasi bekas bangsa terjajah. “NKRI Harga Mati” ini kemudian berkembang
menjadi sebentuk paham chauvinis: bahwa Indonesia bersatu karena kesamaan
rasa kebencian, bukan karena sikap dan komitmen politik antar-golongan untuk
membangun negara-bangsa merdeka; bahwa peran tentara lebih krusial daripada
diplomasi selama revolusi fisik 1945-1949; dan bahwa aneksasi Indonesia atas
Papua dan Timor-Timur dilatarbelakangi kesukarelaan rakyat masing-masing
daerah kepada pemerintah. Pendeknya: “pemerintah selalu baik dan tak
bisa salah” serta “rakyat bisa tersesat ke jalan yang salah, harus dibimbing,
dan karena itu harus patuh pada pemerintah. Jangan heran jika kemudian slogan
“NKRI Harga Mati” turut dipakai untuk menggebuk siapapun yang dianggap
berseberangan dengan pemerintah. Berkat pandangan “pemerintah selalu
bermaksud baik” ini pula, siswa sekolah negeri umum mengalami penumpulan daya
kritis dan tak bernyali mengkritik kebijakan pemerintah. Pada titik inilah,
tercapai tujuan menyeluruh dari PPKN, yaitu menciptakan “warga negara yang baik”
dalam situasi apapun, termasuk ketika negara “tidak sedang baik-baik saja”
dan orang-orang tidak baik berduyun-duyun merapat ke lingkaran kekuasaan.
Jangan harap PPKN sudi membahas potret masyarakat adat yang digusur atas nama
Undang-Undang Cipta Kerja, apalagi transformasi Polri yang kini multifungsi
dan semakin represif terhadap gerakan rakyat. Tak usah berharap PPKN akan
memuat materi mengenai ketidakadilan jender dan perusakan lingkungan.
Terhadap isu-isu tersebut, siswa cukup mengetahui, tidak usah membedah,
apalagi mengevaluasi mengapa negara selalu berpihak pada kaum kaya. Dan akhirnya, buku PPKN menutup-nutupi cela
besar di dalam sejarah Orde Baru yang sarat pelanggaran hak-hak asasi
manusia. Terlihat dari buku PPKN Kelas XI (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2014) halaman 20 yang hanya menyebutkan lima kasus pelanggaran
HAM secara singkat, yakni Tragedi Tanjung Priok 1984, Kudatuli 1996,
Penembakan Mahasiswa Trisakti Mei 1998, Tragedi Semanggi I 1999, dan
Penculikan 13 Aktivis 1996-1997. Semua kasus itu dikutip sebagai basa-basi
belaka, tanpa penjelasan siapa korban dan siapa pelaku. Dan basa-basi itu punya pesan penting buat
kita semua: Hak-hak warganegara yang berulangkali dilanggar tidak terlalu
penting disosialisasikan sejak dini karena, wahai Bung dan Nona, nyawa
betul-betul diobral murah di republik ini. Bukan mustahil jika perjuangan
para penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu pelan-pelan
akan hilang ditimbun narasi sejarah yang tekun memuliakan arogansi rezim haus
darah. Zaman berubah. Masyarakat berubah. Definisi
“warga negara yang baik” pun seharusnya turut berubah. Sudah saatnya
kepatuhan dan keberpihakan tanpa syarat kepada penguasa sebagai barometer
loyalitas warganegara dibuang jauh-jauh sebagai kenangan zaman otoriter yang
jahiliyah itu. Barulah, jika keberanian mempreteli doktrin nasionalisme
chauvinis itu sudah diraih, Indonesia Emas 2045 akan diisi generasi yang
memahami makna sejati nasionalisme, yaitu kecintaan besar pada tanah air,
bukan kepada pemerintah yang berkuasa! ● |
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar