Gila
Kuasa Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia |
KOMPAS,
25 Maret
2021
Di tengah pandemi yang masih mencekik, aksi saling jegal, saling telikung, dan
saling serobot jelang pemilihan umum mendatang tak kenal rehat. Betapa
berlimpah jumlah petaruh di bursa perebutan kekuasaan. Modal politik yang
besar tidak menyurutkan hasrat para aspiran untuk bertaruh. Memasuki babak terkini kisah demokrasi
reformasi, aktor-aktor politik dengan nama besar mulai surut dari gelanggang,
memberi peluang bagi aktor-aktor biasa untuk mengisi pentas. Inilah era
manusia semenjana (the era of common man). Pergeseran ini bisa memberi prakondisi yang
positif bagi demokrasi egaliter jika didukung oleh sistem meritokrasi, yang
memungkinkan pasar kepemimpinan bisa diakses oleh orang-orang kapabel dari
segala kalangan. Bisa juga berdampak negatif jika era semenjana ini hanya
memberi outlet bagi narsisme politik para pemuja diri. Ketika kekaguman terhadap ”nama-nama besar”
mulai pudar akibat kemerosotan wibawa pusat-pusat teladan, secara naluriah
banyak orang mengalihkan kekagumannya kepada diri sendiri
(self-glorification). Hanya karena berbekal ”keturunan”, penampilan menarik,
prestasi tipis, atau berkantong tebal, seseorang sudah merasa pantas memimpin
negara ini. Ledakan narsisme yang mendorong kegilaan
menjadi penguasa itu mengandung potensi destruktifnya tersendiri bagi
demokrasi. Seperti dikatakan Montesquieu, ”Prinsip demokrasi dikorup bukan
saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan
yang ekstrem berlangsung—manakala setiap orang merasa pantas memimpin.” Para petaruh yang tidak memiliki keluasan
wawasan kenegaraan, ketebalan modal sosial, dan kedalaman rekam jejak
pergulatan publik mudah tergoda untuk menutupi kekurangannya dengan
melipatgandakan manipulasi pencitraan. Nilai rekayasa kemasannya jauh lebih
besar ketimbang kandungan mutu dan sumbangsihnya. Situasi inilah yang
melahirkan onggokan sampah pemimpin plastik, yang tidak otentik di ruang
publik kita. Pemimpin plastik tak pernah menghiraukan
isi hidup dan arah hidup. Pemimpin yang tak menawarkan isi hidup dan arah
hidup, meminjam ungkapan Bung Karno, adalah pemimpin yang cetek. ”Ia adalah
pemimpin penggemar emas sepuhan, bukan emas murni. Ia cinta kepada gebyarnya
lahir, bukan kepada nurnya kebenaran dan keadilan.” Sebuah bangsa besar yang
dirundung banyak masalah hendak dipimpinnya bukan dengan kekuatan visi,
melainkan dengan impresi. Kecenderungan mediokritas dan
ketidakotentikan pemimpin seperti itu tidaklah memenuhi kebutuhan Indonesia
akan kepemimpinan krisis. Pada masa krisis dengan beragam fenomena
disorganisasi sosial, dunia politik justru memerlukan peran kepemimpinan yang
lebih besar. Yang diperlukan bukan saja pemimpin yang
baik (good leader), melainkan pemimpin agung (great leader). Keagungan di
sini bukan dalam arti kapasitas untuk mendominasi dan memaksa, melainkan
terpancar dari kesejatian karakter untuk mengasihi, melindungi, mengurus, dan
menertibkan. Dalam suatu bangsa yang ditandai oleh
kecenderungan untuk membenarkan yang biasa, bukan membiasakan yang benar,
keguyuban yang berkembang acap kali merupakan keguyuban yang destruktif,
seperti tecermin dalam istilah ”budaya korupsi”. Dalam situasi demikian, yang
diperlukan bukanlah pemimpin yang konformis, yang gesture politiknya
mengikuti ekspektasi kemapanan yang korosif. Yang dibutuhkan justru pemimpin
eksentrik yang bisa berpikir out of the box dan berani menawarkan pilihan
yang berbeda dari arus utama. Seperti dinyatakan John Stuart Mill,
kreativitas sosial memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. Lantas ia tambahkan
bahwa jumlah eksentrisitas dalam suatu masyarakat pada umumnya proporsional
dengan jumlah genius, kekuatan mental, dan keberanian moral yang dikandung
masyarakat tersebut. Bahwa saat ini Indonesia mengalami defisit
pemimpin eksentrik berkarakter yang memiliki kekuatan mental, kebernasan
gagasan, dan keberanian moral untuk mengambil pilihan sendiri di luar kelatahan
dan tekanan luar, merupakan tantangan yang harus segera dipecahkan oleh
institusi pemilihan kita. Ada sejumlah persoalan yang mengemuka dari
institusi pemilihan kita. Tingginya biaya kekuasaan membuat banyak partai
lebih mendukung orang-orang semenjana yang berani bayar ketimbang orang-orang
eksentrik yang tak bermodal. Selain itu, ada paradoks antara preferensi pada
pemilihan langsung yang mengarahkan masyarakat menuju individualisme dengan
ketiadaan pranata sosial yang dapat mengembangkan otonomi dan karakter
individu. Dalam lemahnya logika pencerahan, kepastian
hukum, dan ekosistem kreativitas, ruang otonomi individu dipersempit oleh
keharusan keguyuban. Kebanyakan individu tumbuh dengan mentalitas konformis,
bukan subyek berdaulat yang bisa memilih atas dasar daya pikirnya dan
melakukan pembelajaran untuk tidak belajar (meniru) dari tradisi buruk. Pergeseran ke arah individualisme tanpa
kekuatan individualitas melahirkan buih-buih kerumunan di ruang publik.
Mentalitas kerumunan tanpa kapasitas nalar publik inilah yang rentan
dimanipulasi oleh mesin pencitraan dan politik uang atau dipersuasi oleh
sentimen tribalisme dalam bentuk fundamentalisme, premanisme, dan nepotisme. Demokrasi individualisme di tengah
mentalitas kerumunan itulah yang memberi peluang kemunculan dua tipe pemimpin
publik: mereka yang gila kuasa atau berkuasa dengan gila. Padahal, yang cocok
untuk memulihkan krisis dan membawa transformasi bangsa ke depan adalah
pemimpin eksentrik yang ”setengah gila”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar