Modernisasi
Birokrasi untuk Pembangunan Nasional Ma’ruf Amin ; Wakil Presiden Republik Indonesia |
KOMPAS,
23 Maret
2021
Suatu negara yang maju dan modern selalu
didukung oleh birokrasi yang efektif dan efisien. Pengalaman sejumlah negara menunjukkan
bahwa kualitas birokrasi menjadi kunci keberhasilan pembangunan. Hal ini
karena birokrasi adalah mesin negara yang menggerakkan fungsi pemerintahan,
pelayanan publik, dan program atau kegiatan pembangunan. Keputusan politik dan kebijakan publik yang
dibuat oleh pimpinan, baik di tingkat nasional maupun daerah, akan sulit
dapat dicapai jika birokrasi tidak memiliki kompetensi yang memadai,
kemampuan mengeksekusi yang efektif, dan koordinasi yang baik antarlembaga
maupun antarwilayah. Membangun pemerintahan seperti ini tentu
tidak mudah dan memerlukan upaya perubahan atau reformasi yang sangat
mendasar. Reformasi birokrasi adalah suatu konsep yang kompleks, yang
mencakup aspek struktural, legal, prosedural, kultural, dan etika birokrasi. Rekam
jejak dan evaluasi birokrasi Indonesia Dalam sepuluh tahun terakhir ini, cukup
banyak capaian yang telah diraih dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia aparatur telah meningkat dengan
cukup pesat dan penyederhanaan regulasi dan birokrasi, khususnya yang terkait
dengan penciptaan iklim usaha yang kondusif, telah dilakukan sehingga pada
akhirnya dapat menghasilkan berbagai kemajuan dan peningkatan hasil pembangunan
di berbagai bidang. Beberapa langkah besar yang telah dilakukan
dalam rangka reformasi birokrasi antara lain merancang ulang perencanaan dan
perekrutan pegawai, penghapusan dan peleburan 37 lembaga nonstruktural (LNS),
dan yang terakhir penyederhanaan/konversi jabatan struktural eselon III, IV,
dan V menjadi jabatan fungsional. Secara akumulatif per akhir Desember 2020,
sebanyak 38.398 jabatan struktural telah dihapus dan dikonversikan menjadi
jabatan fungsional. Tujuannya, selain meningkatkan efisiensi dengan memangkas
rantai panjang proses bisnis dalam birokrasi pemerintahan, juga untuk
memastikan agar profesionalitas, keahlian, dan sistem merit diterapkan
sebagai basis kinerja aparat pemerintah. Namun, bila kita melihat laporan berbagai
pengukuran yang dilakukan oleh lembaga internasional, kualitas birokrasi di
Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data
The Global Competitiveness Report 2019, kinerja sektor publik Indonesia
memiliki skor 54,6 (berada pada peringkat ke-54 dari 141 negara) dengan
peringkat daya saing global pada urutan ke-50 dari 141 negara. Peringkat ini mengalami penurunan
dibandingkan tahun sebelumnya di mana Indonesia menduduki peringkat ke- 45.
Tingkat efektivitas pemerintahan Indonesia berdasarkan data The Worldwide
Governance Indicators 2019 masih berada di skor 60,1 (peringkat ke-73 dari
193 negara). Terakhir, Indeks Persepsi Korupsi dari
Transparency International Indonesia (TII) tahun 2020 mengalami penurunan
dengan angka 37 (turun dari tahun sebelumnya 40) dan berada di peringkat
ke-102 dari 180 negara (dari tahun sebelumnya peringkat ke-85). Berbagai peringkat tersebut harus menjadi
catatan bagi kita untuk melakukan muhasabah (introspeksi) dan terus mengambil
langkah perbaikan. Dalam zaman di mana terjadi perubahan yang
begitu cepat dan kompleks, saya melihat ada beberapa penyebab ketertinggalan
birokrasi kita. Pertama, kemampuan birokrasi kita dalam merespons perubahan
lingkungan yang kian kompleks belum cukup memadai. Hal ini karena kompetensinya dalam
pengambilan keputusan yang kompleks masih terbatas. Kemampuan pengambilan
keputusan birokrasi kita masih terbatas pada situasi yang cenderung normal
dan stabil. Akibatnya, proses pengambilan keputusan cenderung memakan waktu
dan lama. Kedua, struktur organisasi kita masih gemuk
dengan fungsi yang terbatas dan tumpang tindih. Struktur organisasi di
kementerian/lembaga (K/L) dan terutama di pemerintahan daerah saat ini masih
berdasarkan fungsi-fungsi yang terfragmentasi dan belum berbasis kinerja. Struktur yang demikian itu, selain
menyebabkan inefisiensi anggaran, juga menyulitkan terjadinya kerja sama unit
kerja di dalam atau antar-organisasi. Dengan berbagai perkembangan yang ada
saat ini, seperti teknologi informasi (TI), kita sudah harus memikirkan
bagaimana membangun struktur organisasi pemerintah yang berbasis kinerja. Ketiga, tidak tersedianya data yang lengkap
dan valid. Sering kali kebijakan yang dibuat kurang efektif ketika
pelaksanaannya sangat ditentukan oleh tersedianya data yang akurat. Data ini
masih tersebar di berbagai instansi, kurang lengkap dan tidak mutakhir. Keempat, K/L dalam melakukan koordinasi
masih belum intens dan memadai. Karena merasa memiliki kewenangan yang besar
dalam bidangnya masing-masing, K/L enggan melakukan komunikasi dan kerja
sama. Akibatnya, program dan kegiatan pembangunan yang cakupannya luas dan
lintas sektor sering kali diformulasikan sendiri dan hanya mewakili
orientasi, kepentingan dan perspektif setiap K/L. Kelima, belum cukup tersedianya sistem yang
dapat mengintegrasikan keseluruhan proses kebijakan dari perencanaan,
penganggaran, pelaksanaan, evaluasi, dan koordinasi lintas K/L. Sejak awal pembentukan kabinet telah
dinyatakan oleh Presiden Joko Widodo bahwa hanya ada visi-misi Presiden dan
Wakil Presiden, tidak ada lagi visi-misi K/L. Namun, tampaknya arahan
tersebut belum sepenuhnya terwujud dalam penyusunan program dan kegiatan
pembangunan nasional dan belum merefleksikan keselarasan program antar-K/L
yang berhubungan dengan indikator sasaran strategis. Sebagai akibatnya, tak terjadi harmonisasi
di antara berbagai program pembangunan di K/L dalam pencapaian prioritas
nasional. Di sisi lain masih terjadi redundansi atau duplikasi berbagai
kegiatan pembangunan, baik secara horizontal maupun vertikal. Misal, program
penanggulangan kemiskinan dan pemberdayaan UMKM yang melibatkan banyak K/L
belum menunjukkan keselarasan program yang optimal. Solusinya adalah melakukan kolaborasi,
mulai dari tahap perencanaan, yang harus didukung oleh data yang
terintegrasi, sistem penilaian kinerja yang mendorong kolaborasi, kapabilitas
para pejabat birokrasi untuk menyelaraskan berbagai program K/L, serta
penguatan pola pikir serta budaya berbagi hasil dan dampak dari pembangunan. Perubahan
sistem ke depan Tantangan negara ke depan ini semakin
kompleks sehingga birokrasi harus segera menyesuaikan pola kerja yang
kolaboratif, peningkatan kapabilitas SDM aparatur dan budaya organisasi agar
menjadi lebih baik. Masa selama pandemi Covid-19 dan sesudahnya membutuhkan
program pemulihan ekonomi yang cepat dan tepat. Pengalaman di negara-negara Asia Timur,
seperti Jepang, Korea, dan China, termasuk negara ASEAN, seperti Singapura
dan Malaysia, keberhasilan pembangunan ekonomi sangat ditentukan oleh birokrasi
yang kapabel dan memiliki kemampuan adaptasi perubahan yang tinggi serta
mampu berkolaborasi. Pemerintah dan DPR telah menetapkan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memberikan ruang
perizinan investasi yang lebih fleksibel. Maka, birokrasi harus segera
memanfaatkan regulasi baru tersebut untuk mempercepat pemulihan ekonomi
nasional yang sangat ditunggu-tunggu. Untuk secara fundamental melakukan
perubahan birokrasi Indonesia, ada beberapa hal yang harus kita lakukan.
Pertama, peningkatan kapabilitas aparatur sipil negara (ASN), terutama para
pejabat pimpinan tinggi (JPT) untuk memahami secara baik sistem perencanaan,
penganggaran berbasis kinerja, dan implementasinya dalam kompleksitas
perubahan yang terjadi. Program pendidikan dan pelatihan
calon-calon JPT tak boleh dilakukan seadanya dan dengan cara tradisional,
tetapi harus menyesuaikan kebutuhan perubahan masa depan, seperti kemampuan
untuk memahami proses pengambilan keputusan yang kompleks (complex decision
making) dan penciptaan nilai publik baru bagi masyarakat. Rekrutmen untuk JPT
juga perlu diperluas di luar birokrasi untuk mendapatkan talenta terbaik. Kedua, membangun berbagai sistem modern
yang terintegrasi berbasis teknologi maju. Sistem modern ini harus bisa
mengintegrasikan berbagai proses bisnis pemerintahan antar-K/L dan pemda,
termasuk di dalamnya pembentukan big data yang dapat digunakan secara berbagi
pakai untuk mencapai kinerja pembangunan. Dengan kata lain, kita harus segera
menstransformasikan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) secara
menyeluruh. Berbagai sistem yang sudah ada saat ini,
seperti online single submission (OSS), national single window (NSW),
termasuk sistem Kolaborasi Perencanaan dan Informasi Kinerja Anggaran
(Krisna), harus bisa diintegrasikan dan dikembangkan lebih baik menjadi satu
data nasional untuk memperkuat kolaborasi di dalam birokrasi. Ketiga, pembenahan kelembagaan harus terus
dilakukan untuk mendapatkan bentuk organisasi pemerintah yang fleksibel dan
cepat dalam mengatasi permasalahan yang ada. Birokrasi tidak boleh alergi
dengan perubahan dalam organisasinya jika dirasakan sudah usang dan tidak
mampu lagi untuk menjawab kebutuhan yang ada. Pendekatan hierarki dalam
organisasi sudah selayaknya dikurangi dan ditransformasikan ke dalam
pendekatan yang lebih bersifat networking (jejaring). Sebagai ”model antara”, struktur organisasi
flatarchy bisa diterapkan untuk secara maksimal memanfaatkan perkembangan
teknologi yang tersedia tanpa harus mengubah secara ekstrem proses bisnis
yang dilakukan. Bentuk organisasi ini diharapkan akan dapat menghidupkan pola
kerja sama yang akan dibangun sekaligus mengakomodasi perkembangan teknologi
informasi yang sangat pesat. Keempat, fleksibilitas dan mobilitas
pemanfaatan sumber daya manusia ASN antar-K/L/pemda harus dapat dilakukan
dengan basis kompetensi. Hal ini untuk mengurangi mental model ego sektoral
dan cara pandang serta cara kerja yang sempit. Perlu dibangun manajemen
talenta nasional ASN untuk memberikan sistem informasi dalam penempatan
jabatan, baik struktural maupun fungsional. Memperhatikan ketertinggalan birokrasi
Indonesia saat ini, maka kita harus bekerja keras dan bersungguh sungguh
untuk melakukan berbagai transformasi tersebut. Untuk meraih cita-cita
menjadi birokrasi kelas dunia, reformasi birokrasi tidak cukup hanya dengan
mengubah tampilan fisik dengan kosmetika birokrasi, tetapi harus benar-benar
mampu merevitalisasi secara fundamental ke semua organ dalam yang vital bagi
birokrasi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar