Penyiar
dan Pranatacara Kasijanto Sastrodinomo ; Alumnus FIB Universitas Indonesia |
KOMPAS,
16 Maret
2021
Rasa-rasanya baru Kompas (27/12/2020, Nama
& Peristiwa) yang memetik kata pranatacara, lalu menyematkannya kepada
Sumi Yang, jurnalis televisi itu. Dari bahasa Jawa, pranatacara ialah ”parågå
kang nduwèni jêjibahan nåtå lan nglantaraké acårå utåwå adicårå”—orang yang
bertugas mengatur dan mengantarkan acara atau upacara. Prasyaratnya, yang
bersangkutan harus mahir ”olah båså lan sastrå” atawa fasih berbahasa dan
bersastra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Badan Bahasa, arti kata itu
diringkas jadi ”pembawa acara” dan ”pewara”. Berita lain, sepekan kemudian, penyiar
televisi senior era delapan puluhan, Inke Maris, meninggal dunia (Kompas.com,
01/01/2021). Dalam berita itu dipilih kata penyiar—istilah baku pewara radio
dan televisi di Tanah Air yang, sekadar ancar-ancar, digunakan sejak Radio
Republik Indonesia mengudara pada 1945, dan Televisi Republik Indonesia
menayang pada 1962. Sementara pranatacara, sejauh terlacak, baru dikenalkan
oleh koran ini dalam tulisan yang dikutip di atas, dan baru dientri dalam
KBBI Edisi III (2005; koleksi yang kebetulan saya miliki). Kamus/tesaurus
Indonesia yang lain tak mencatatnya. Kedua nomina, pranatacara dan penyiar, bisa
dilihat sebagai kata berpadanan. Seperti terbaca pada KBBI, takrif ”pewara”
tampaknya cocok sebagai sinonim istilah pemberita televisi tersebut. Ada
kalanya, kedua kata itu juga disulih selang-seling dengan presenter dan host
meski tak terlalu tepat. Presenter mencakup subyek lebih luas, misal panelis
seminar, pembicara publik, dan pemasar produk dagang dalam ajang pariwara.
Host lebih klop diartikan ”tuan rumah” suatu forum acara atau siaran yang
dihadiri khalayak undangan, termasuk dalam tayangan media digital. Jika definisi pranatacara ”versi Jawa”
ditilik lebih dalam (perhatikan verba nåtå ‘mengatur’), makna kata itu juga
menyiratkan perbedaannya dengan penyiar, seperti terlihat dalam praktik tugas
penyiar dulu dan sekarang. Dulu, ketika siaran berita televisi milik negara
cenderung formal dan ”bernada tunggal”—didominasi program pembangunan—tugas
penyiar hanya membacakan berita hasil olahan tim redaksi. Penyiar, jadinya,
identik dengan pembaca berita (newsreader) semata. Pembagian kerja kedua
profesi itu tampak jelas dan tegas. Stasiun televisi swasta, sementara itu,
tak diizinkan memproduksi berita sendiri dan wajib me-relay siaran versi
pemerintah tersebut. Model penyiaran berita televisi berangsur
berubah sejak medio 1980-an dan terasa makin bermakna ketika Reformasi
bergulir. Materi berita tak lagi terpaku pada press release atau undangan
seremoni, dan sejenisnya, tetapi diperkaya dengan perburuan informasi aktual di
lapangan oleh awak televisi sendiri. Penyiar tak lagi membaca berita thok,
tetapi ikut sibuk di ruang redaksi dan berdialog langsung dengan sumber
berita atau narasumber saat tampil di layar kaca. Di sini, pranatacara terasa
pas mengistilahkan pola baru itu, sedangkan sebutan penyiar dalam artian
”klasik” terasa kurang memadai. Situasi serupa, tetapi konteksnya berbeda,
terjadi di Amerika Serikat. Awalnya, di negeri itu ”... newscaster simply
read the news aloud to the audience,” tulis Stan Le Roy Wilson dalam Mass
Media/Mass Culture (1995). Seusai Perang Dunia, pola penyiaran televisi di
sana terus berubah. Tampil tipe anchor(news), yakni pemandu siaran
berkualifikasi ”jangkar” yang jadi andalan stasiun televisi berita. Rasanya,
pranatacara pun tak jauh dari tipe itu. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar