Rabu, 10 Maret 2021

 

Provokasi Konsumsi

 Enny Sri Hartati ; Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance

                                                        KOMPAS, 09 Maret 2021

 

 

                                                           

Tidak dapat dimungkiri, konsumsi rumah tangga memang merupakan mesin penggerak utama perekonomian Indonesia. Lebih dari 56 persen pertumbuhan ekonomi dikontribusikan kegiatan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, mestinya tidak terlalu sulit menjaga stabilitas perekonomian asalkan konsumsi rumah tangga terjaga. Sebaliknya, berbagai kebijakan stimulus ekonomi akan tetap majal jika tidak mampu mendongkrak ketahanan konsumsi rumah tangga.

 

Sayangnya, mendorong konsumsi rumah tangga tidak bisa dilakukan dengan cara instan. Apalagi hanya sekadar melalui imbauan cinta produk dalam negeri dan benci produk impor. Sebab, penentu utama untuk mendorong kemampuan konsumsi adalah daya beli masyarakat, yaitu kecukupan pendapatan yang siap dibelanjakan. Sementara pundi-pundi pendapatan masyarakat jelas sangat bergantung pada tersedianya lapangan kerja yang memadai.

 

Persoalannya, ketika menghadapi masa pandemi, siklus tersebut menjadi tidak lagi normal. Hampir seluruh kegiatan ekonomi masyarakat terganggu, bahkan justru menyebabkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal. Kendati tidak mengalami PHK, jelas sebagian besar mengalami penurunan pendapatan. Tidak terkecuali kelompok pendapatan kelas menengah atas.

 

Di sisi lain, masa pandemi sudah berlangsung setahun. Tabungan yang diandalkan masyarakat pasti semakin menipis, bahkan sudah ludes. Sementara pemulihan ekonomi belum ada kepastian menuju titik terang. Pasalnya, berbagai kegiatan sektor produktif dan pertumbuhan investasi masih tertekan. Bahkan, sampai dengan triwulan I-2021, kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi masih mengalami kontraksi.

 

Kondisi tersebut yang pada akhirnya memengaruhi perilaku, preferensi, keputusan, dan terutama kemampuan konsumen berbelanja. Konsumen tetap berhati-hati dan selektif dalam membuat skala prioritas. Pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari menjadi paling utama, termasuk alokasi anggaran kesehatan yang masuk dalam menu kebutuhan pokok. Adapun pengeluaran rumah tangga yang bersifat investasi tentu masih banyak yang menunggu kepastian prospek perekonomian.

 

Oleh karena itu, kebijakan memprovokasi konsumen melalui relaksasi kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) bisa jadi justru rentan berujung polemik. Bank Indonesia telah melonggarkan rasio pinjaman terhadap aset (loan to value) KPR serta melonggarkan uang muka KKB menjadi paling sedikit nol persen. Konsumen dapat membeli rumah atau kendaraan bermotor baru melalui fasilitas pembiayaan kredit tanpa uang muka atau uang muka 0 persen.

 

Relaksasi KPR dan KKB tanpa uang muka tersebut diharapkan dapat mendorong konsumsi masyarakat melalui peningkatan pembelian properti atau kendaraan baru. Bahkan, pemerintah menambah insentif penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor baru. Tepatnya, tarif PPnBM akan diturunkan bertahap mulai 1 Maret 2021 hingga akhir tahun 2021. Tahap pertama PPnBM akan turun 100 persen dari tarif yang diberikan, tahap kedua menjadi 50 persen dari tarif, dan tahap ketiga 25 persen dari tarif.

 

Berpotensi mandul

 

Dalam kondisi normal, berbagai kemudahan dan relaksasi kredit tersebut tentu akan sangat menggairahkan minat konsumsi masyarakat. Apalagi di bidang properti, backlog atau kesenjangan antara rumah yang dibangun dan dibutuhkan masyarakat masih tinggi. Persoalannya, ketiadaan akses masyarakat memiliki rumah hunian masih sangat besar, terutama kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

 

Sejatinya, permintaan terbesar skema KPR adalah rumah hunian segmen kelas menengah dengan kisaran harga Rp 500 juta-Rp 2 miliar. Permintaan rumah hunian (end user) tersebut besar dan masih tumbuh, tetapi terkendala daya beli. Maka, sekalipun tanpa uang muka, belum tentu mampu diakses masyarakat karena limit KPR menjadi lebih besar. Konsekuensinya, pembayaran angsuran juga lebih besar. Apalagi, meskipun suku bunga acuan sudah turun, suku bunga KPR masih tinggi. Suku bunga dasar kredit (SBDK) KPR masih 9,8 persen. Dapat dimaklumi jika rata-rata suku bunga KPR masih dua angka.

 

Sebaliknya, sejalan dengan dinamika pelemahan perekonomian, penetrasi pasar properti juga berubah. Sebelumnya, 60 persen permintaan properti untuk keperluan investasi dan hanya 40 persen untuk rumah hunian. Namun, sejak sebelum pandemi, pasar properti telah cenderung mengalami gelembung (bubble). Penyebabnya, kenaikan harga properti secara drastis yang dipicu faktor spekulasi, bukan kenaikan daya beli. Akibatnya, ketika terjadi stagnasi, bahkan kontraksi perekonomian, permintaan properti untuk investasi juga turun drastis.

 

Pada 2019, kebijakan relaksasi serupa gagal memprovokasi pembelian properti. Pemerintah memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh) hunian mewah dari 5 persen menjadi 1 persen. Selain itu, batasan nilai hunian mewah yang kena PPh dinaikkan dari Rp 5 miliar-Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar. Obral insentif tersebut gagal menarik investor yang tetap menahan investasi.

 

Sementara itu, di tengah daya beli yang rendah, perbankan akan menghadapi potensi risiko kredit bermasalah (NPL). Risiko lain, ketiadaan uang muka memicu menimbulkan moral hazard, yakni nasabah dengan mudah melepas kredit karena uang muka yang dikeluarkan tidak ada. Jika tidak hati-hati, risiko kredit bermasalah dapat memicu risiko sistemik di sektor keuangan.

 

Risiko yang sama juga dapat terjadi sebagai dampak relaksasi dan insentif pembelian kendaraan bermotor. Alih-alih mendongkrak penjualan kendaraan bermotor secara signifikan, pemerintah berpotensi semakin kebobolan dalam penerimaan negara. Pasalnya, konsumsi kendaraan bermotor untuk pemenuhan kebutuhan. Biaya pemeliharaan kendaraan yang tinggi tidak akan menjadikan kendaraan bermotor sebagai instrumen investasi. Padahal, di tengah pandemi, kebutuhan mobilitas masyarakat terbatas. Selain itu, pascapandemi, mestinya kebijakan pemerintah tetap konsisten mendorong transportasi publik.

 

Pada prinsipnya, kreativitas mendorong konsumsi rumah tangga merupakan keharusan dalam upaya pemulihan ekonomi. Namun, setiap kebijakan ekonomi bak pisau bermata dua sehingga mesti dikalkulasi secara cermat efektivitasnya. Cara paling praktis mendongkrak konsumsi rumah tangga tanpa menimbulkan risiko melalui kecintaan mengonsumsi produk dalam negeri. Ada korelasi kuat dan langsung antara peningkatan konsumsi dan investasi. Sebab, jika produksi dalam negeri tidak dibeli, tidak akan ada investasi masuk.

 

Persoalannya, determinan utama preferensi kecintaan konsumen adalah harga dan kualitas barang. Jika harga murah dan kualitas bagus, kecintaan dan loyalitas konsumen pasti tumbuh. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar