Provokasi
Konsumsi Enny Sri Hartati ; Peneliti Senior Institute for
Development of Economics and Finance |
KOMPAS,
09 Maret
2021
Tidak dapat dimungkiri, konsumsi rumah
tangga memang merupakan mesin penggerak utama perekonomian Indonesia. Lebih
dari 56 persen pertumbuhan ekonomi dikontribusikan kegiatan konsumsi
masyarakat. Oleh karena itu, mestinya tidak terlalu sulit menjaga stabilitas
perekonomian asalkan konsumsi rumah tangga terjaga. Sebaliknya, berbagai
kebijakan stimulus ekonomi akan tetap majal jika tidak mampu mendongkrak
ketahanan konsumsi rumah tangga. Sayangnya, mendorong konsumsi rumah tangga
tidak bisa dilakukan dengan cara instan. Apalagi hanya sekadar melalui
imbauan cinta produk dalam negeri dan benci produk impor. Sebab, penentu
utama untuk mendorong kemampuan konsumsi adalah daya beli masyarakat, yaitu
kecukupan pendapatan yang siap dibelanjakan. Sementara pundi-pundi pendapatan
masyarakat jelas sangat bergantung pada tersedianya lapangan kerja yang
memadai. Persoalannya, ketika menghadapi masa
pandemi, siklus tersebut menjadi tidak lagi normal. Hampir seluruh kegiatan
ekonomi masyarakat terganggu, bahkan justru menyebabkan gelombang pemutusan
hubungan kerja (PHK) secara massal. Kendati tidak mengalami PHK, jelas
sebagian besar mengalami penurunan pendapatan. Tidak terkecuali kelompok
pendapatan kelas menengah atas. Di sisi lain, masa pandemi sudah
berlangsung setahun. Tabungan yang diandalkan masyarakat pasti semakin
menipis, bahkan sudah ludes. Sementara pemulihan ekonomi belum ada kepastian
menuju titik terang. Pasalnya, berbagai kegiatan sektor produktif dan
pertumbuhan investasi masih tertekan. Bahkan, sampai dengan triwulan I-2021,
kemungkinan besar pertumbuhan ekonomi masih mengalami kontraksi. Kondisi tersebut yang pada akhirnya
memengaruhi perilaku, preferensi, keputusan, dan terutama kemampuan konsumen
berbelanja. Konsumen tetap berhati-hati dan selektif dalam membuat skala
prioritas. Pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari menjadi paling utama,
termasuk alokasi anggaran kesehatan yang masuk dalam menu kebutuhan pokok.
Adapun pengeluaran rumah tangga yang bersifat investasi tentu masih banyak
yang menunggu kepastian prospek perekonomian. Oleh karena itu, kebijakan memprovokasi
konsumen melalui relaksasi kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan
bermotor (KKB) bisa jadi justru rentan berujung polemik. Bank Indonesia telah
melonggarkan rasio pinjaman terhadap aset (loan to value) KPR serta
melonggarkan uang muka KKB menjadi paling sedikit nol persen. Konsumen dapat
membeli rumah atau kendaraan bermotor baru melalui fasilitas pembiayaan
kredit tanpa uang muka atau uang muka 0 persen. Relaksasi KPR dan KKB tanpa uang muka
tersebut diharapkan dapat mendorong konsumsi masyarakat melalui peningkatan
pembelian properti atau kendaraan baru. Bahkan, pemerintah menambah insentif
penghapusan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) kendaraan bermotor
baru. Tepatnya, tarif PPnBM akan diturunkan bertahap mulai 1 Maret 2021
hingga akhir tahun 2021. Tahap pertama PPnBM akan turun 100 persen dari tarif
yang diberikan, tahap kedua menjadi 50 persen dari tarif, dan tahap ketiga 25
persen dari tarif. Berpotensi
mandul Dalam kondisi normal, berbagai kemudahan
dan relaksasi kredit tersebut tentu akan sangat menggairahkan minat konsumsi
masyarakat. Apalagi di bidang properti, backlog atau kesenjangan antara rumah
yang dibangun dan dibutuhkan masyarakat masih tinggi. Persoalannya, ketiadaan
akses masyarakat memiliki rumah hunian masih sangat besar, terutama kelompok
masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Sejatinya, permintaan terbesar skema KPR
adalah rumah hunian segmen kelas menengah dengan kisaran harga Rp 500 juta-Rp
2 miliar. Permintaan rumah hunian (end user) tersebut besar dan masih tumbuh,
tetapi terkendala daya beli. Maka, sekalipun tanpa uang muka, belum tentu
mampu diakses masyarakat karena limit KPR menjadi lebih besar.
Konsekuensinya, pembayaran angsuran juga lebih besar. Apalagi, meskipun suku
bunga acuan sudah turun, suku bunga KPR masih tinggi. Suku bunga dasar kredit
(SBDK) KPR masih 9,8 persen. Dapat dimaklumi jika rata-rata suku bunga KPR
masih dua angka. Sebaliknya, sejalan dengan dinamika
pelemahan perekonomian, penetrasi pasar properti juga berubah. Sebelumnya, 60
persen permintaan properti untuk keperluan investasi dan hanya 40 persen
untuk rumah hunian. Namun, sejak sebelum pandemi, pasar properti telah
cenderung mengalami gelembung (bubble). Penyebabnya, kenaikan harga properti
secara drastis yang dipicu faktor spekulasi, bukan kenaikan daya beli.
Akibatnya, ketika terjadi stagnasi, bahkan kontraksi perekonomian, permintaan
properti untuk investasi juga turun drastis. Pada 2019, kebijakan relaksasi serupa gagal
memprovokasi pembelian properti. Pemerintah memangkas tarif Pajak Penghasilan
(PPh) hunian mewah dari 5 persen menjadi 1 persen. Selain itu, batasan nilai
hunian mewah yang kena PPh dinaikkan dari Rp 5 miliar-Rp 10 miliar menjadi Rp
30 miliar. Obral insentif tersebut gagal menarik investor yang tetap menahan
investasi. Sementara itu, di tengah daya beli yang
rendah, perbankan akan menghadapi potensi risiko kredit bermasalah (NPL).
Risiko lain, ketiadaan uang muka memicu menimbulkan moral hazard, yakni
nasabah dengan mudah melepas kredit karena uang muka yang dikeluarkan tidak
ada. Jika tidak hati-hati, risiko kredit bermasalah dapat memicu risiko
sistemik di sektor keuangan. Risiko yang sama juga dapat terjadi sebagai
dampak relaksasi dan insentif pembelian kendaraan bermotor. Alih-alih mendongkrak
penjualan kendaraan bermotor secara signifikan, pemerintah berpotensi semakin
kebobolan dalam penerimaan negara. Pasalnya, konsumsi kendaraan bermotor
untuk pemenuhan kebutuhan. Biaya pemeliharaan kendaraan yang tinggi tidak
akan menjadikan kendaraan bermotor sebagai instrumen investasi. Padahal, di
tengah pandemi, kebutuhan mobilitas masyarakat terbatas. Selain itu,
pascapandemi, mestinya kebijakan pemerintah tetap konsisten mendorong
transportasi publik. Pada prinsipnya, kreativitas mendorong
konsumsi rumah tangga merupakan keharusan dalam upaya pemulihan ekonomi.
Namun, setiap kebijakan ekonomi bak pisau bermata dua sehingga mesti
dikalkulasi secara cermat efektivitasnya. Cara paling praktis mendongkrak
konsumsi rumah tangga tanpa menimbulkan risiko melalui kecintaan mengonsumsi
produk dalam negeri. Ada korelasi kuat dan langsung antara peningkatan
konsumsi dan investasi. Sebab, jika produksi dalam negeri tidak dibeli, tidak
akan ada investasi masuk. Persoalannya, determinan utama preferensi kecintaan
konsumen adalah harga dan kualitas barang. Jika harga murah dan kualitas
bagus, kecintaan dan loyalitas konsumen pasti tumbuh. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar