Robohnya
Surau Kami dan A.A. Navis yang Dianggap Mengejek Islam Fadrik Aziz Firdausi ; Wartawan Tirto |
TIRTO,
22 Maret
2021
Menurut seorang sahibul hikayat, di sebuah
kampung hiduplah seorang penjaga surau yang oleh orang-orang setempat
dipanggil Kakek. Ia dikenal sangat taat dalam ibadah. Hampir-hampir seluruh
waktunya dihabiskan untuk mengagungkan nama Allah. Kakek diketahui pandai mengasah pisau,
tetapi itu bukanlah pekerjaannya. Ia hidup dari sedekah jemaah dan panen ikan
mas yang dipelihara di kolam depan surau. Sepenuh hidupnya ia baktikan untuk
beribadah dan merawat surau. Tiada ia beranak-istri. Rumah pun tidak. “Segala kehidupanku, lahir batin,
kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala [...] Tak kupikirkan hari esokku,
karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih penyayang kepada umat-Nya yang
tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan
manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap
waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya,” demikian menurut kata-kata
Kakek sendiri. Kakek begitu yakin dengan iman dan
ibadahnya sampai Ajo Sidi datang dengan sebuah cerita yang menggoyahkan semua
itu. Ajo Sidi memang tukang cerita. Pembual lebih tepatnya. Tetapi bualannya
selalu memikat orang dan sering jadi pameo. Kepada Kakek, Ajo Sidi bercerita tentang
seorang bernama Haji Saleh saat dihisab Tuhan di akhirat. Hanya satu
pertanyaan Tuhan kepadanya, “Apa kerjamu di dunia?” Dan bagi Haji Saleh itu
adalah pertanyaan mudah. Dijawabnya pertanyaan Allah itu dengan
rincian amal ibadah yang telah dilakukannya semasa hidup. Setiap Haji Saleh
selesai menyebut amal ibadahnya, selalu Allah bertanya, “Lain lagi?” Hingga
ia kehabisan kata. Tetapi, bukan surga yang akhirnya ia masuki, melainkan
neraka. Di neraka ia bertemu dengan orang-orang
yang diketahuinya tak kalah darinya soal ibadah. Maka itu, mereka merasa
Allah berlaku tak adil. Lalu proteslah Haji Saleh dan orang-orang itu kepada
Allah. Mereka merasa telah melakukan segala perintah dan menjauhi larangan
Allah sehingga semestinya surgalah tempat mereka. Atas protes makhluk-makhluk-Nya itu, Tuhan
balik bertanya, “Kalian tinggal di mana di dunia?” Mereka menjawab:
Indonesia, suatu negeri kaya sumber daya tetapi melarat penduduknya. Negeri
yang lama dijajah dan kacau oleh konflik sesama warganya, sehingga anak-cucu
mereka ikut melarat. Kepada para pendemonya, Tuhan berkata,
“kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
[...] Aku beri kau negeri yang kaya-raya, tapi kau malas. Kau lebih suka
beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting
tulang [...] Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga
kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja.” Pada akhirnya mereka semua tetap masuk
neraka. Tetapi, Haji Saleh masih juga sempat bertanya, “Salahkah menurut
pendapatmu, kalau kami menyembah Tuhan di dunia?” “Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau
terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau
taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan anak istrimu sendiri,
sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya [...] Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit
pun,” jawab Tuhan. Bagi Kakek, cerita Ajo Sidi itu adalah
sebuah ejekan yang menyakitkan. Seakan-akan jalan hidupnya selama ini adalah
kesia-siaan. Sialnya, karena tak tahan atas sindiran itu, Kakek bunuh diri
esok harinya. Proses
Kreatif Itulah cerpen Robohnya Surau Kami (RSK)
yang dikarang Ali Akbar Navis dan terdokumentasi dalam Antologi Lengkap
Cerpen A.A. Navis (2005: 171-181). RSK pertama kali diterbitkan dalam majalah
Kisah pada 1955. Sebelumnya, sejak awal 1950-an, Navis lebih dulu rajin
mengirim kritik sastra ke majalah yang diasuh H.B Jassin itu. Dalam Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan
Suara Kritis dari Daerah (1994: 3) Navis mengaku, “Cerpen saya yang pertama
kali di-acc untuk dimuat majalah Kisah adalah cerpen ‘Pada Pembotakan
Terakhir’. Tapi yang lebih dulu dimuat dan langsung menggaet Hadiah Sastra
Majalah Kisah justru cerpen ‘Robohnya Surau Kami’.” Berkat RSK pula nama Navis kemudian tenar
di belantara sastra Indonesia. Padahal ketika itu, menulis cerpen adalah
pekerjaan yang nisbi baru bagi Navis. Memang, ia telah aktif berkesenian
sejak remaja. Namun, minat awalnya adalah pada musik dan seni rupa. Sejak 1952 Navis bekerja sebagai kerani di
Jawatan Kebudayaan Sumatra Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi. Di situ
ia banyak terlibat mengelola pameran dan pertunjukan seni. Juga terbuka
kesempatan bertukar pikir dengan seniman-seniman lain di luar Sumatra. Tulisan-tulisan kritik seni Navis rutin
terbit di majalah-majalah lokal Sumatra seperti majalah Waktu dan Pelangi
(Medan), koran Haluan (Padang), dan Nyata (Bukittinggi). Juga di
majalah-majalah seni terbitan ibu kota seperti Aneka, Siasat, hingga Mimbar
Indonesia. Ketika H.B. Jassin menerbitkan majalah
Kisah, ia mulai mencoba menulis cerpen. Pria kelahiran Padangpanjang, 17
November 1924 itu punya banyak waktu luang karena dikucilkan atasannya di
Jawatan Kebudayaan. Ia tak diberi pekerjaan sebagai buntut dari seringnya ia
berselisih paham dengan sang bos. “Daripada saya keluar kantor, yang nanti
boss saya bertambah marah dan daripada saya duduk termenung-menung nganggur
sambil melihat teman sejawat sibuk dan hati sakit sendiri, saya ambil mesin
ketik, saya menulis dan menulis terus,” akunya seperti termuat dalam Proses
Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang vol. 2 (1982: 58) suntingan Pamusuk
Eneste. Suatu kali datanglah ke kantor Jawatan
Kebudayaan seorang bernama Syafei untuk menemui atasan Navis. Ia sempat
mencuri dengar percakapan keduanya di kantor. Ada satu lelucon Syafei yang
kemudian menerbitkan ide untuk menulis cerpen. Lelucon itu sederhana saja: Di akhirat
Tuhan bertanya pada beberapa orang, “Kamu orang mana?” Seseorang menjawab
dari Rusia dan masuklah ia ke surga. Begitu juga orang Amerika, Inggris, dan
Belanda semua masuk surga. Namun ketika giliran orang Indonesia, ia malah dijebloskan
ke neraka. “Kenapa? Karena orang Indonesia tidak
memanfaatkan alam yang diberikan Tuhan,” ungkap Navis dalam otobiografinya
(hlm. 79). Lain waktu Syafei
memberi tahu Navis bahwa lelucon itu ia dapat dari Syekh Ahmad Surkati, ulama
asal Pakistan yang juga pendiri Al-Irsyad. Sambil berjalan
pulang ia merenungkan lelucon itu. Di tengah jalan ia melewati sebuah surau
hampir runtuh yang diingatnya sebagai tempat ia mengaji dulu. Dari seorang
perempuan yang tinggal di dekat surau diketahuinya bahwa garin alias penjaga
suraunya sudah meninggal dan tak ada lagi yang meneruskan. Kejadian itu lantas
ia ceritakan dalam sebuah suratnya kepada H.B. Jassin. Navis menulis,
“Menurut penjelidikan saja, kakek (garin) itu mati karena kelaparan. Di
negeri jang kaja ini kalau ada orang jang mati karena lapar, menurut saja
pada hakikatnja sama dengan bunuh diri. Surau itu tempat saja mengadji
dulunja. Karena kerobohannja hati saja sangat terharu. Kisah surau itu saja
buat sebagai introduction sedangkan jang (tokoh) pokoknya ialah Hadji Saleh,
jang sudah lama ada di dalam kepala saja.” Begitulah mula
ditulisnya magnum opus penerima penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan
Thailand 1992 itu. Tetapi, lebih dari sekadar aktivitas waktu sela, RSK juga
membawa visi Navis soal keberagamaan kita. Visi itulah yang tetap relevan
hingga kini. Klasik
dan Selalu Relevan Cerpen RSK ternyata
melekat benar di benak beberapa tokoh masyarakat Sumatra Barat. Suatu kali di
sebuah desa di Kabupaten Solok diadakan peresmian sebuah surau yang baru
selesai dibangun. Saat itu naiklah ke atas mimbar salah seorang penyandang
dana pembangunan untuk berpidato. Suwardi Idris, sastrawan Sumatra Barat,
yang ikut hadir dalam peresmian itu mengingat benar satu kalimat yang
diucapkan si tokoh. “Kalau A.A. Navis
menulis cerpen ‘Robohnya Surau Kami’, sekarang marilah kita menulis cerpen
lain dengan judul ‘Bangkitnya Surau Kita’,” tulis Suwardi dalam “A.A. Navis
dan Cerpen Dunia Akhirat” yang menjadi bagian dari otobiografi Navis (hlm.
388). Seorang pembicara
lainnya juga ikut berpesan, “Marilah kita gunakan surau ini untuk beribadah
secara benar sehingga Ajo Sidi tidak usah datang ke sini menyindir kita.” Suwardi heran akan
pesan kedua pembicara itu. Pasalnya, sepengetahuan Suwardi keduanya adalah
sarjana ekonomi. Pekerjaan mereka di bidang pembangunan dan perbankan juga
sama sekali tak memiliki kaitan dengan sastra. “Ketika ditanya dari
mana ia mendapatkan cerita yang ditulis A.A. Navis itu, keduanya menjelaskan
bahwa di SMA dahulu mereka sudah membacanya. Karena menariknya, cerita itu
rupanya menetap dalam ingatan mereka,” catat penulis novel Dari Puncak Bukit
Talang itu. Seperti tokoh
Kakek, saat itu memang ada sekalangan pembaca yang merasa diejek oleh Navis.
Anak-anak muda umumnya setuju akan pesan cerpen itu. Di Malang, para
mahasiswa mengadakan seminar membahas RSK. Lalu di Yogyakarta, kader HMI UGM
mementaskan cerpen itu sebagai pertunjukan monolog. Kalangan tua dan ulama
tarekatlah yang umumnya tersulut marah. “Di Bukittinggi tak
ada reaksi resmi. Namun di kota ini ada yang bilang saya komunis atau Murba.
Padahal sebenarnya saya tak berpartai,” tulis Navis dalam otobiografinya
(hlm. 77). RSK memang diakui
Navis sebagai cerpen dengan visi keislaman. Idenya ia renungkan dari realitas
pemikiran dan masyarakat Islam di tanah kelahirannya, Minangkabau. Nadanya
yang sinis—selain karena memang stilistika khasnya—sengaja ia munculkan untuk
mewacanakan pembaruan. Kritik utama ia
tujukan kepada kaum ulama tua dan tarekat yang cenderung dogmatis dan
dipenuhi takhayul. Tak ada kritisisme di kalangan mereka yang dipandang Navis
sebagai sebab tak majunya umat kala itu. Mereka sibuk dalam zikir tetapi
kepedulian sosialnya tumpul. Lain hal di luar ibadah mereka pandang sebagai
kegiatan duniawi belaka yang tak perlu dikejar. Ulama-ulama kolot
juga senantiasa curiga dengan kaum intelektual yang punya minat pada sains.
Bahkan tuduhan seperti “itu sekuler!” kerap terlontar. Juga diamatinya ada
semacam kampanye untuk menekan kerja-kerja intelektual itu. Padahal,
menurutnya, umat Islam bisa maju justru jika ajarannya diperdalam,
diperbandingkan, dan dikritisi. “Pemikiran dan
gerakan Islam di Sumatra Barat tidak berkembang, kadangkala malah menghambat
iklim kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat—sehingga seolah-olah justru
anti pembaruan,” tulis sastrawan lulusan INS Kayutanam 1943 itu (hlm. 84). Hal lain yang
membuat karya ini klasik adalah kebaruannya. Menurut H.B. Jassin dalam
Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei III (1985), sebelum
terbitnya RSK, nisbi belum ada penulis Islam yang membenturkan jiwa keagamaan
dengan soal-soal duniawi. H.B. Jassin membandingkan
RSK dengan Di Bawah Lindungan Kaabah karya Hamka. Tokoh-tokoh dalam novel itu
lahir-besar sebagai Islam dan hidup di lingkungan Muslim. Tak ada pergolakan
jiwa keagamaan di situ. Konflik lebih terpusat pada soal cinta kelamin
berlatar tradisi adat yang kolot. Karenanya, karakter dalam novel itu jadi
tampak monoton saja. Itulah yang
membikin RSK jadi penting. Sejauh amatan Jassin pula, sejak sebelum Indonesia
merdeka hingga saat itu, hampir tak ada penulis Islam yang membenturkan elan
keagamaan dengan soal-soal duniawi. Umumnya para penulis itu memang penganut
Islam yang taat dan tak kenal konflik semacam itu. “Maka itu, adalah
sangat menarik persoalan-persoalan yang dicoba kupas oleh Navis dalam
kumpulan ceritanya Robohnya Surau Kami, dengan penyelesaian yang tidak selalu
cocok dengan ajaran ortodoks, karena keberaniannya menempuh jalan pikiran
sendiri,” tulis sang Paus Sastra (hlm. 127). Sekitar dua tahun
kemudian, Navis menulis lagi cerpen dengan tema serupa berjudul Man Robbuka?.
Cerpen yang terbit di harian Nyata, Bukittinggi, itu mendapat reaksi keras
dari masyarakat Minang. Alasannya sama belaka dengan penolakan terhadap RSK:
mengejek Islam. Hingga akhirnya harian itu terpaksa menurunkannya. Beberapa waktu
kemudian cerpen itu terbit ulang di mingguan Siasat di Jakarta. Agaknya nama
Navis kala itu telah dikenal sebagai penulis yang sinis dan sarkas sehingga
mingguan itu bernasib sama dengan Nyata. Redaksi terpaksa mengumumkan bahwa
cerpen itu agar dianggap tak pernah terbit. Soal itu, dalam
otobiografinya Navis menulis, “Bayangkan kalau cerpen itu terbit dewasa ini.
Pasti kantor redaksi diobrak-abrik massa dan saya dipenjarakan. Seperti kita
lihat perilaku massa seperti itu masih muncul kembali dalam kehidupan sosial
kita di Indonesia dan entah kapan berakhirnya (hlm. 78).” Merasa familiar
dengan pernyataan Navis itu? ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar