Prostitusi
dan PSK di Hari Perempuan Sedunia Frans Pascaries ; Penulis dan penerjemah, tinggal di Jakarta |
TEMPO,
12 Maret
2021
Seorang pekerja seks komersial (PSK)
berusia 21 tahun berinisial TL terjaring razia di Tasikmalaya, Jawa Barat
pada dini hari 1 Maret lalu. Tentu TL bukan satu-satunya, bukan pula PSK
pertama, yang ketiban sial lantaran tertangkap petugas Satuan Polisi Pamong
Praja. Tapi, jauh lebih sialnya, perempuan seperti TL kerap kali menjadi
korban dengan hukuman berkali-kali. Satu yang bikin saya tersentak dan amat
sedih, adalah karena saat ditangkap di depan sebuah hotel di Tasikmalaya, TL
sedang hamil tujuh bulan. Dia juga punya dua anak lain yang berusia empat dan
2 tahun. TL mengaku, ibunya tahu ia bekerja sebagai PSK. “Suami kabur entah
ke mana. Gimana lagi saya soalnya kepala keluarga. Saya enggak bisa kerja
apa-apa lagi selain begini,” kata TL di ruang interogasi Pol PP Kota
Tasikmalaya. TL mengaku setiap malam selama pandemi ini
hanya mendapatkan Rp 100.000 sampai Rp 150.000. Ia mengaku sedang sepi
pelanggan karena masa pandemi. Tak banyak pria yang lalu-lalang di wilayah
perkotaan karena aturan ketat pencegahan Covid-19. Ia mengaku segera pulang
setelah mendapatkan uang dari satu atau dua pelanggan, dan membawa sejumlah
uang. Uang tersebut akan digunakan untuk makan
dan jajan anak-anaknya. “Saya enggak berpikir besar atau kecilnya dapat uang.
Setelah saya dapat uang untuk bekal anak-anak meski satu kali melayani, saya
langsung pulang. Yang penting saya ada buat jajan dan makan anak-anak,” kata
TL yang baru menjalani profesi ini sejak enam bulan silam setelah
perceraiannya. “Saya enggak mikir apa-apa lagi, bagaimana caranya anak-anak
saya bisa makan besok,” tambahnya. Kita tak jarang dijejali berita semacam
ini, sehingga TL tentu hanya satu dari begitu banyak perempuan di
Tasikmalaya, di Jawa Barat, di Pulau Jawa, di Indonesia, bahkan di dunia,
yang menjadi PSK. Perputaran uang dari bisnis ini juga tentu tak kecil. TL
‘hanya’ mendapat uang dengan kisaran Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribu, dan
bekerja tanpa muncikari, alias mandiri. Kalau seumpama ada 100 PSK seperti TL di
seluruh Tasikmalaya yang luasnya sekitar 183 kilometer persegi itu, artinya
ada setidaknya satu PSK di setiap dua kilometer persegi wilayah itu. Jika
dalam semalam 100 PSK itu bekerja dan membawa pulang uang sekitar Rp 150 ribu
saja, dalam semalam akan ada perputaran uang Rp 15 juta dari bisnis ini di
Tasikmalaya. Anda kalikan angka itu dengan 30 hari, maka akan keluar angka Rp
450 juta. Itu baru pengandaian dan perhitungan minimalis di Tasikmalaya. Karena di Jawa Barat ada 18 kabupaten dan
sembilan kota, coba Anda kalikan angka Rp 15 juta tadi dengan 27. Akan keluar
angka sekitar Rp 405 juta. Lantas, bagaimana kalau kita kalikan dengan 34
provinsi di seluruh Indonesia? Hasilnya tak kecil, saudara-saudara: Rp 13,7
miliar! Ini baru fenomena prostitusi kalangan
menengah ke bawah. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita dihebohkan dengan
terkuaknya praktik prostitusi yang melibatkan sejumlah perempuan dan para
konsumen jasa layanan seksual kelas atas. Ada yang melibatkan beberapa artis
dan perempuan selain artis, yang diamankan bersama sejumlah tersangka kasus
korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi. Tarif mereka, Anda silakan cek sendiri di
Google. Kisarannya bisa mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah. Kalau
dari PSK kelas bawah di Tasikmalaya bisa dihasilkan setidaknya Rp.450 juta
dalam sebulan, Anda bisa bayangkan berapa besar uang yang berputar dari
prostitusi kelas atas ini setiap 30 hari. Rasanya uang sebesar itu bisa
dipakai untuk memperbaiki atau membangun banyak gedung sekolah di republik
ini. Bisa pula dipakai untuk menambah modal para pebisnis kecil yang lesu
lantaran dihantam pandemi. Sekrup
kecil Dalam struktur masyarakat di manapun,
utamanya di Indonesia, para PSK seperti TL ini seperti sekrup kecil dari
sebuah mesin besar. Perempuan seperti TL kerap berada atau diposisikan dalam
situasi tak berdaya. Saat ia mencari uang di jalanan, yang ia pikirkan tak
perutnya yang lapar. Ia juga memikirkan setidaknya tiga anak, termasuk satu
bayi yang masih berada dalam rahim, yang tak bisa terlalu lama menahan lapar. Seperti saya sebut di atas, perempuan
seperti TL kerap kali menjadi korban dengan hukuman berkali-kali. Bermacam
penghakiman, sumpah serapah, pun khotbah moralis bisa dan biasa terlontar
dari masyarakat dan pemuka agama. Tentu bisa pula dibayangkan bagaimana
tatapan nyinyir tetangga kiri-kanan yang mengetahui pekerjaan TL, dan perempuan-perempuan
lain di manapun itu. Tapi, apalah artinya perempuan seperti TL
dalam struktur masyarakat kita ini? Saat mendengar berita terungkapnya sebuah
jaringan prostitusi artis, atau tertangkapnya perempuan seperti TL ini, kita
juga jamak mendengar bahwa ada saja orang yang mengarahkannya persoalan moral
keagamaan. “Ya, itu kalau agamanya kuat nggak bakal
kayak gitu,” kata si A. “Ah, perempuannya juga mau. Udah enak,
dapat duit lagi dia,” kata si B. “Memangnya harus jadi PSK? Kayak nggak ada
kerjaan lain aja,” kata C. Daftar cibiran semacam begitu bisa
diperpanjang dengan sedikit saja pengamatan di sekeliling kita. Ini terjadi, karena masyarakat kita sering
mereduksi persoalan prostitusi ini sebagai domain moral. Otomatis, agama
dengan berbagai perangkatnya dianggap sebagai obat pelipur lara atas fenomena
prostitusi ini. Kita tak jarang lupa, abai, tak paham, atau tak mau tahu
bahwa ada silang permainan kekuasaan dan perputaran uang dalam jumlah
fantastis di setiap praktik prostitusi. Entah dalam prostitusi dengan bayaran
Rp.150.000, bahkan di bawah itu, hingga yang puluhan juta rupiah, selalu ada
penguasa setempat yang bermain dan memainkan ini. Perempuan seperti TL, demikian juga banyak
perempuan lain di Indonesia, tak harus menjadi PSK kalau pemerintah bisa
menyediakan lapangan pekerjaan memadai bagi warganya. Memang, kita sedang
dalam masa pandemi di mana pekerjaan-pekerjaan begitu sulit didapat, bahkan
gelombang pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana. Tapi, sebelum
pandemi ini menghajar kita, toh masalah lapangan pekerjaan ini pun sudah ada
di mana-mana. TL, sebagaimana para perempuan lain di
belahan dunia manapun, tentu tak pernah bercita-cita untuk menjadi PSK.
Persoalan hidup yang begitu kompleks yang memaksa seorang perempuan seperti TL
mau memilih profesi itu. Jadi, TL hanya satu dari entah berapa juta perempuan
di dunia yang secara struktural dan kultural menjadi korban. Persoalan macam
ini tak bisa diselesaikan dengan khotbah keagamaan, imbauan, atau hujatan dan
penghakiman. Jahatnya lagi, ada satu pola yang sama:
nyaris tak satupun pengguna jasa layanan seksual itu yang terungkap. Kalaupun
ada, itu hanya segelintir. Operator ‘lapangan’ juga sesekali ada yang
tertangkap. Tapi, mereka ini juga tak lebih dari sekadar bagian dari mereka
yang dikorbankan. Hal ini tak lain adalah cermin sebuah
masyarakat misoginis yang menempatkan perempuan dalam posisi rendah dalam
lingkaran setan bisnis ini. Perempuan
ditangkapi Buku terjemahan saya, karya penulis Meksiko
Lydia Cacho, yang a Bisnis Perbudakan Seksual: Menelusuri Perdagangan
Perempuan dan Anak-Anak Internasional , Februari lalu diterbitkan penerbit
Marjin Kiri. Meski bukunya tersebut tidak menyinggung
kasus-kasus di Indonesia, Lydia Cacho membantu kita agar bisa secara lebih
kritis menyikapi fenomena ini. Lydia mempertanyakan mengapa polisi menangkap
para perempuan yang menjalani prostitusi itu? Kenapa juga kebanyakan dari
kasus-kasus itu muncikari dan para pelanggan bebas begitu saja? Jawabannya
jelas: hal ini terjadi hampir di semua tempat di dunia karena diskriminasi
terhadap perempuan, disertai dengan kebiasaan permisif seksual para pria,
dengan cara undang-undang tentang perdagangan untuk eksploitasi seksual
dielaborasi dan ditulis, dan oleh prasangka dan wacana ganda yang mendasari
bahasa mereka dan kebijakan publik yang menyertai penerapannya. Lydia juga mengkritik sebagian kalangan
feminis yang menganggap bahwa penangkal terbaik bagi perdagangan perempuan
dan anak bawah umur untuk eksploitasi seksual adalah dengan melegalkan prostitusi.
Ini juga mengingatkan kita pada seorang gubernur di Jakarta yang puluhan
tahun silam melegalkan prostitusi demi pundi-pundi anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD). Tapi, Cacho dalam buku –yang menelusuri prostitusi di
Turki, Israel, Palestina, Jepang, Kamboja, Burma, Argentina dan Meksiko–
menunjukkan bahwa legalisasi bisa membuka pintu bagi mafia dan memudahkan
perbudakan. Perempuan
sedunia TL punya dua anak, dan beberapa bulan lagi
akan bertambah satu. Kita tak pernah tahu jalan hidup manusia. Bukan tak
mungkin satu, atau ketiga-tiganya, bakal jadi orang yang berguna bagi
masyarakat dengan jadi pejuang hak asasi manusia, pegiat antikorupsi, penegak
hukum yang berwibawa, pengusaha yang dermawan, pendidik yang cerdas, atau apa
pun. Mungkin saja, TL sudah dan akan membesarkan (para) calon pemimpin yang
sekian puluh tahun ke depan mengentaskan kemiskinan para PSK, serta
menyejahterakan keturunan para konsumen mereka kelak. Saya tak membenarkan prostitusi. Tapi, saya
juga tak mau menghakimi TL atau PSK lain yang berusaha mengais rezeki demi
bertahan hidup. Kemarin media sosial di Indonesia dipenuhi
entah berapa banyak ucapan Hari Perempuan Sedunia. Anda tentu bisa bayangkan,
bahwa ucapan itu biasanya hanya terlontar dan diterima para perempuan kelas
menengah ke atas. Perempuan seperti TL, dan entah berapa juta PSK di
Indonesia, bahkan di dunia, mungkin tak pernah tahu soal hari perempuan
sedunia itu. Tentu sah-sah saja merayakan hari perempuan
sedunia. Tapi, kita sepantasnya tak lupa, bahwa di antara gegap gempita itu,
juga ada TL dan perempuan-perempuan lain, yang berjuang di antara hidup dan
mati, untuk sekadar memberi makan beberapa mulut di rumahnya dengan jalan
menjajakan tubuh mereka. TL mungkin tak tahu, dan tidak tertarik untuk tahu soal
hari perempuan sedunia kemarin. Tapi, sungguh layak dan sepantasnya kita
hormati kemanusiaannya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar