Perlindungan
Konsumen di Era Digital Agus Sugiarto ; Kepala OJK Institute |
KOMPAS,
22 Maret
2021
Masalah perlindungan konsumen sekarang ini
menjadi semakin penting sejalan dengan munculnya adopsi teknologi digital di
berbagai aspek kehidupan manusia. Kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi yang menjadi cikal bakal teknologi digital telah mengubah perilaku
masyarakat dalam melakukan berbagai kegiatan sehari-hari. Perilaku masyarakat yang berbasis teknologi
digital menyebabkan produsen barang dan jasa juga ikut menyesuaikan diri
dengan menyediakan barang dan layanan jasa yang juga berbasis digital. Di samping itu, munculnya teknologi digital
tersebut juga mengakibatkan karakteristik layanan menjadi berubah, faktor
physical contactless menjadi semakin sering terjadi dalam layanan barang dan
jasa. Dengan melihat perkembangan di atas, kita
juga perlu melihat lebih jauh bagaimana perlindungan konsumen Indonesia di
era digital, apakah sudah mengakomodasi perubahan-perubahan yang tersebut. Perilaku
digital menjadi budaya Pengguna internet di Indonesia telah
mencapai sekitar 202 juta orang di awal tahun 2021, atau hampir 75 persen
dari seluruh penduduk Indonesia yang jumlahnya 270 juta jiwa. Artinya, dari
setiap sepuluh orang, terdapat berkisar 7-8 orang yang telah memanfaatkan
internet untuk berbagai keperluan. Oleh sebab, itu potensi pasar barang dan
jasa yang berbasis teknologi digital sangatlah besar sehingga tidaklah
mengherankan para produsen barang maupun jasa berlomba-lomba menyediakan
berbagai aplikasi digital. Teknologi digital tidak hanya memberikan
kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat, tetapi juga menciptakan efisiensi
dalam proses produksi maupun delivery channel barang dan jasa. Sebagai contoh di lapangan kita bisa
melihat semakin banyak masyarakat yang melakukan transaksi pembayaran melalui
berbagai kanal digital, seperti internet banking, tekfin pembayaran seperti
OVO, GoPay dan Dana, maupun aplikasi digital lainnya. Demikian juga pembelian
barang-barang melalui berbagai situs e-commerce, seperti Bukalapak,
Tokopedia, Shopee, dan lain-lain juga semakin meningkat. Risiko
digitalisasi Di balik kemudahan dan kenyamanan dalam
melakukan transaksi yang berbasis teknologi digital, ternyata juga menyimpan
suatu risiko yang tidak kecil. Fakta menunjukkan bahwa serangan digital
terhadap berbagai aplikasi digital justru semakin bertambah. Data dari Badan Siber dan Sandi Negara
(BSSN) memperlihatkan bahwa selama tahun 2020 di Indonesia terjadi 495 juta
serangan siber. Bahkan, Indonesia diklaim sebagai negara dengan serangan
siber yang tertinggi di dunia. Serangan siber yang semakin gencar itu
diikuti dengan bobolnya data konsumen yang memanfaatkan aplikasi digital sehingga
risiko tercurinya data konsumen menjadi semakin mudah dan sangat
mengkhawatirkan. Menurut Lohrmann (2020), setiap jam ada
270.000 data yang hilang tercuri sehingga risiko penggunaan teknologi digital
dalam berbagai sektor kehidupan manusia tak bisa diremehkan begitu saja. Berbagai modus pencurian data secara
digital sering tejadi tanpa diketahui dan disadari oleh konsumen sehingga
diperlukan upaya perlindungan konsumen yang lebih baik di era digital. Perlindungan
konsumen ke depan Untuk melindungi hak-hak dan kerahasiaan
data konsumen di era digital, diperlukan berbagai pembenahan di dalam
ekosistem perlindungan konsumen itu sendiri. Salah satunya adalah perbaikan
dan pembenahan di sektor regulasi yang menjadi aspek penting perlindungan
konsumen. Pertama, Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen memiliki berbagai kelemahan dan sudah
tidak sesuai lagi dengan era digital sekarang ini. Salah satu contohnya
adalah definisi pelaku usaha di dalam UU tersebut hanya mengacu kepada pelaku
usaha yang menjalankan kegiatannya di Indonesia saja, padahal dengan aplikasi
digital sekarang ini konsumen bisa membeli barang atau jasa dari pelaku usaha
dari mana saja termasuk luar negeri. Akibatnya, aspek perlindungan hukum bagi
konsumen menjadi lemah. Selain itu, fitur dari transaksi perdagangan yang
bersifat digital tentunya berbeda dengan yang bersifat konvensional sehingga
implikasi hukumnya akan berbeda. Pada saat UU tersebut dibuat tentunya belum
mengakomodasi transaksi perdagangan yang berbasis digital. Kelemahan lain dari UU tersebut adalah
tidak adanya kewajiban bagi setiap pelaku usaha untuk memiliki unit ataupun
fungsi perlindungan konsumen. Dengan adanya klausul tersebut, diharapkan
aspek perlindungan konsumen akan menjadi lebih fokus dan tak diremehkan para
pelaku usaha. Sayang sekali tidak semua sektor industri
di Indonesia memiliki ketentuan khusus yang mengatur aspek perlindungan
konsumen secara detail, khususnya yang terkait dengan penyediaan unit atau
fungsi yang melayani perlindungan konsumen. Khusus untuk sektor jasa keuangan telah
memiliki Peraturan OJK No 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor
Jasa Keuangan, yang salah satunya adalah mewajibkan setiap lembaga jasa
keuangan mempunyai unit atau fungsi perlindungan konsumen. Ketentuan ini
tentunya bisa direplikasi ke industri-industri lain untuk memperkuat fungsi
perlindungan konsumen. Kedua, pemanfaatan data pribadi konsumen
oleh produsen atau pihak lain tanpa sepengetahuan dan seizin konsumen sangat
sering terjadi dan berpotensi merugikan konsumen. Di sisi lain, di Indonesia belum ada UU
perlindungan data pribadi yang dapat menjadi payung hukum guna melindungi
data pribadi konsumen dan juga masyarakat luas. Semakin lama UU tersebut keluar, maka
semakin banyak jumlah konsumen dan masyarakat luas yang menjadi korban
pemanfaatan data pribadi mereka oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab. Oleh sebab itu, pemerintah perlu segera
menyelesaikan UU kerahasiaan data pribadi sebagai salah satu prioritas utama.
Kehadiran UU perlindungan data pribadi tersebut tentunya sangat ditunggu oleh
semua pihak, mengingat kerahasiaan data pribadi adalah bagian dari hak asasi
manusia, yang harus dihormati dan dilindungi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar