Masjid
dan Ajaran Toleransi yang Terlupakan Idham Cholid ; Ketua Umum Jayanusa; Pembina Gerakan Towel Indonesia |
TEMPO,
17 Maret
2021
“Kita
tunjukkan umat muslim Indonesia adalah muslim yang toleran dengan seluruh
umat beragama.” Pesan Ketua DPR-RI, Puan Maharani, tersebut
cukup menarik. Apalagi dia sampaikan itu di Masjid Istiqlal, saat memberi
sambutan pada acara Gerakan Nasional Mengisi Masjid dengan Satu Juta Sajadah,
11 Maret lalu, bahkan ditegaskan pula agar tidak hanya umat muslim yang
dibolehkan datang ke masjid tersebut. “Semua umat beragama harus boleh datang ke
Istiqlal untuk melihat bahwa Indonesia mempunyai masjid indah dan terisi
dengan kajian Islam yang moderat,” tegasnya. Menjadikan masjid sebagai ruang “terbuka”
bagi seluruh umat beragama, tentu menarik dikaji. Di satu sisi, ini tak lepas
kaitannya dengan kedudukan masjid itu sendiri, serta kebutuhan menghadirkan
Islam ramah di mana masjid menjadi centrum pembudayaan nilai-nilai beradab,
pada sisi yang lain. Tiga
Pandangan Tentang kedudukan masjid sebagai area suci,
kita semua tentu sepakat. Masjid adalah baitulLah, rumah Tuhan, yang memang
harus dijaga kesuciannya. Bahwa boleh tidaknya nonmuslim memasuki area suci
tersebut, tak lepas dari berbagai pandangan berdasarkan dalil berikut: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya
orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram
sesudah tahun ini.” (Qs.9:28). Terkait hal itu, ada tiga pandangan yang
menjadi pegangan umat Muslim selama ini. Pertama, pandangan yang melarang secara
mutlak. Pandangan ini terutama dari kalangan madzhab Maliki dan sebagian
kalangan madzhab Hambali. Lebih-lebih memasuki Masjidil Haram dan Masjid
Nabawi, seluruh masjid juga dilarang. Selain dalil di atas, pandangan dari
kalangan ini juga mendasarkan pada “perintah” supaya mengagungkan dan
menyebut nama-Nya di rumah Allah (Qs.24:36). Sementara masuknya nonmuslim ke
sana, telah dianggap, bertentangan dengan perintah tersebut. Dalil-dalil lain
bersumber dari atsar para sahabat Nabi Saw. Kedua, pandangan madzhab Hanafi yang justru
sebaliknya, membolehkan secara mutlak. Tidak hanya masjid pada umumnya,
bahkan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi juga diperbolehkan. “Tidak ada di atas bumi ini bekas najis
manusia, sesungguhnya najis manusia itu adanya di dalam diri mereka sendiri.”
(Hr. Imam Bukhari). Atas dasar itu, kalangan ini menafsirkan
ayat tentang “najisnya orang musyrik” tersebut secara esensial sebagaimana
pandangan Ibnu Abidin (w.1836 M), ulama terkemuka madzhab Hanafi. Menurutnya, najisnya itu jika mereka masuk
masjid dengan sikap sombong, bermaksud menguasai, dan atau bertelanjang
seperti tradisi pada masa jahiliyah atau pra Islam. “Jika tidak, maka tidak
ada larangan bagi mereka,” tegasnya. Ketiga, pandangan yang membolehkan dengan
“catatan”, atau ada syarat dan ketentuan yang diberlakukan, baik adab,
kesantunan maupun soal pakaian. Pandangan yang dianut kalangan madzhab
Syafi'i dan sebagian kalangan madzhab Hambali ini dinilai lebih moderat. Pandangan tersebut mendasarkan pada
pendapat Abu Abdullah Muhammad bin Idris as-Syafi'i al-Mutthalibi al-Qurasyi
yang lebih masyhur dengan Imam Syafi'i (w.820 M). Menurutnya, “Tidak apa-apa
orang musyrik masuk seluruh masjid, kecuali Masjidil Haram.” Sekali lagi, pandangan yang ketiga itu
dinilai lebih kompromistik, antara yang melarang secara mutlak, atau
sebaliknya. Secara elaboratif, sebagaimana Abu Zakaria Muhyidin an-Nawawi,
yang masyhur dengan Imam Nawawi (w.1277 M), menegaskan: “Orang kafir tidak
diperbolehkan memasuki tanah haram Makkah dalam keadaan apapun, baik pada
masjid maupun lainnya. Namun, bagi mereka, boleh memasuki masjid lainnya
dengan izin orang Islam.” Pandangan itulah yang banyak dianut kalangan
Muslim di seluruh dunia, tanpa kecuali Indonesia. Pesan
Toleransi Memasuki masjid dengan protokol khusus
(ijin dan ketentuan berpakaian, misalnya), terutama bagi nonmuslim, selama
ini telah berlaku. Bahkan tidak hanya di masjid Istiqlal. Mungkin, jika masih ada, hanya beberapa
masjid saja yang pengelolaannya memang eksklusif. Jangankan untuk nonmuslim,
sesama Muslim pun malah dicurigai. Di masjid Istiqlal sendiri sebenarnya tidak
sedikit dari kalangan nonmuslim yang telah mengunjungi. Tercatat beberapa
tokoh penting dunia, antara lain: Bill Clinton (1994), Pangeran Charles
(2008), Barack dan Michelle Obama (2010), Angela Merkel dari Jerman (2012),
Mike Pence Wapres USA saat itu (2017), juga Presiden Austria Heinz Fisher
pada akhir 2017. Dalam kapasitas tugas kenegaraan, tentu
kunjungannya itu membawa dampak yang tak sederhana. Tidak hanya menyangkut
penilaian tentang keberadaan masjid Istiqlal saja, namun berkaitan juga
pandangan terhadap relasi keberagamaan di Indonesia pada umumnya. Karena, bagaimanapun,
masjid Istiqlal telah menjadi simbol bagi bangsa Indonesia. Masjid terbesar di Asia Tenggara dan Asia
Timur itu, sebagaimana kita tahu, sejatinya membawa pesan toleransi yang
sangat mendalam. Ini tak semata karena letaknya berdampingan dengan Gereja
Katedral. Namun proses pembangunan masjid yang dimulai pada 1961 itu, desain
arsitekturnya dibuat oleh seorang Nasrani, yaitu Frederich Silaban (w.1984).
Dia juga yang mendesain Stadion Utama Gelora Bung Karno (GBK) dan Monumen
Nasional (Monas). Yang menarik, sang arsitek itu mengerjakan
tugasnya bukan karena ditunjuk oleh Presiden yang juga Ketua Dewan Juri
Sayembara Maket Masjid Istiqlal saat itu. Tetapi dia mengikuti lomba yang
diadakan secara terbuka, diikuti oleh banyak peserta baik perorangan maupun
kelembagaan. Motif apa lagi selain kesadaran toleransi
yang telah nyata diteladankan arsitek Nasrani itu. Kesadaran yang menurut
saya penting digelorakan saat ini di saat bangsa kita tengah mengalami
defisit kerukunan dan persaudaraan kebangsaan. Sadar atau tidak, kesadaran untuk
menghargai setiap perbedaan primordial semakin luntur akhir-akhir ini, justru
karena “toleransi” berlebihan kita terhadap berbagai kepentingan pragmatis
memenuhi ambisi kekuasaan. Lebih parah lagi, ketika masjid sebagai area suci
pun dieksploitasi sedemikian rupa untuk memenuhi berbagai kepentingan itu. Masjid pada akhirnya tidak lagi dipahami
sebagai rumah Tuhan di mana kerukunan, kedamaian dan persaudaraan disemaikan.
Ia hanya ditampilkan sebagai tempat “kebenaran” milik sebagian golongan, di
mana caci maki dan kebencian seakan diabsahkan atas nama Tuhan. Saatnya kita, umat Muslim, mengembalikan
fungsi masjid dengan benar. Selain sebagai tempat ibadah dalam arti sempit,
yakni ibadah mahdlah, yang telah ditetapkan syarat rukunnya; juga ibadah
dalam arti luas. Ibadah dalam makna substansial, sebagai wujud penghambaan
dan penyerahan kehambaan kepada Tuhan. Memuliakan sesama adalah ibadah sangat
nyata. Inilah sebenarnya inti ajaran toleransi yang diajarkan Islam itu
sendiri. Dari masjid kita harus memulainya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar