Anemia
dalam Taktik Biden tentang China (1) Simon Saragih ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS,
24 Maret
2021
Pengantar
redaksi : Diplomasi
AS di bawah Presiden Joe Biden terhadap China mengandalkan kekuatan dan
sekutu. Diplomasi AS juga diwarnai arogansi, gaya menggurui. Saat taktik ini
diterapkan terhadap China sekarang, jawabannya adalah perlawanan, khususnya
jika AS mengusik kedaulatan wilayah dan hak-hak China. Mengapa demikian, dan bagaimana
solusi terhadap relasi dunia negara utama di dunia yang relatif panas itu?
Berikut ulasannya dalam dua rangkaian tulisan. Politik luar negeri menjadi salah satu isu
yang menentukan popularitas presiden AS. Akan tetapi, politik luar negeri itu
hanya menarik jika AS sedang berperang. AS tidak sedang berperang secara
konvensional. Relasi AS dengan China juga tidak masuk kategori penting
sebagai penentu kemenangan pemilu AS 2020. Demikian dikatakan Profesor John
Mark Hansen dari University of Chicago pada 7 Oktober 2020 saat memaparkan
analisisnya tentang pemilu 2020 di hadapan para alumni universitas itu. AS dan China malah menjadi dua kekuatan
ekonomi yang saling memakmurkan. AS tertolong secara ekonomi, antara lain,
karena China membeli satu triliun dollar AS lebih obligasi terbitan
pemerintah setiap tahun. Konsumen AS tertolong dengan produk murah dari
China. Korporasi AS tertolong dengan penjualan di pasar China. Tentu, China
juga tertolong ketika AS menjadi pasar utama bagi produk ekspor di awal
reformasi ekonomi hingga sekarang. China dan AS, dua kekuatan yang saling
melengkapi. Ini fakta yang tidak terbantahkan. Oleh sebab itu, dari tahun ke tahun
Presiden China Xi Jinping hingga pejabat dan pakar China selalu berseru,
China-AS memiliki kesempatan hidup berdampingan dan saling berbagi.
Pernyataan konstan ini terus diajukan merespons sikap bermusuhan dari AS
terhadap China. Sikap permusuhan dari AS inilah juga yang
menjadi pemikiran dua pakar tentang AS-China, bagaimana agar relasi bilateral
berkembang baik. Dua pakar itu adalah Kenneth Lieberthal dari The Brookings
Institution (AS) dan Wang Jisi, Presiden Institute of International and
Strategic Studies, Peking University (China). Pada Maret 2012 mereka berduet
menuliskan kiat agar relasi AS-China langgeng dan menjauh dari konflik. Diskusi dan komunikasi di antara dua negara
adalah saran penting dari mereka. Dua pakar ini melanjutkan, jika cekcok
bilateral tetap terjadi, mininal kedua negara tetap bersedia berpikir ulang
dan berpikir keras, kiat apa lagi kiranya yang bisa membuat dua negara menuju
titik temu. Namun, amat disayangkan, waktu berjalan,
hubungan pemerintahan kedua negara tidak juga lebih baik, demikian Wang Jisi
menuliskan lagi pada 11 Maret 2021 dengan judul ”The Understanding Gap” di
situs Chinausfocus.com. Jebakan
Thucydides Mengapa AS-China terus-menerus menunjukkan
situasi bermusuhan, terutama dari pihak AS? Wang menuliskan, memang dalam
politik dan relasi internasional, sebagaimana halnya dalam relasi pribadi,
sulit ditemukan sikap saling percaya dan menerima. Wang melanjutkan, di dalam
negeri AS saja terjadi sikap saling curiga di antara Partai Demokrat dan
Republikan, bagaimana pula AS bisa memercayai China begitu saja. ”Jebakan Thucydides” kembali menjadi teori
dasar yang paling bisa menjelaskan pertikaian tak berkesudahan AS-China dan
bahkan semakin sengit itu. Kekuatan lama (AS) merasa tertantang dan tidak
rela dengan kehadiran penantang baru. Hal ini secara refleks memunculkan
perlawanan terhadap penantang baru (China). Inilah bagian dari ”jebakan
Thucydides”. Teori tentang ”jebakan Thucydides” ini
tergambar juga dari hasil jajak pendapat Pew Center (Most Americans Support
Tough Stance Toward China on Human Rights, Economic Issues | Pew Research
Center). Jika respondennya adalah kaum Republikan, segala hal tentang China
adalah keburukan, ketidakpercayaan, ancaman, dan ketidakbecusan. Donald Trump
dari Republikan memainkan isu ini secara brutal. Tiada hentinya Trump menekan
China sebab pendukungnya senang jika China ditekan. Hanya, ketika ditanyakan seluruh elemen
warga AS, mayoritas (55 persen) mengatakan bahwa China adalah pesaing. Hanya
sebanyak 34 persen responden yang menyebutkan China adalah musuh dan 9 persen
menyatakan China adalah mitra. Ada optimisme, sebab mayoritas warga AS tidak
melihat China sebagai musuh. Namun, persoalannya, kata Wang Jisi,
bagaimana agar kelompok yang menilai China sebagai musuh, tidak bertambah,
apalagi jika opini mereka sampai menimbulkan perang. Jajak pendapat yang
dilakukan Pew Center memperlihatkan peningkatan persentase warga AS yang
melihat China sebagai musuh. Mengapa demikian? Padahal, di sisi lain
China sudah berkali-kali menepis agar AS membuang saja teori tentang ”jebakan
Thucydides”, bahwa China tidak bermaksud menantang AS. Dubes China untuk AS,
Cui Tiankai, sudah berkali-kali mengingatkan itu. Mengikuti
populisme Trump Nah, persoalan baru adalah fenomena tentang
munculnya pemimpin oportunis dengan memanfaatkan isu populis, seperti Trump.
Ada sekelompok warga yang sedang menggerutu tentang takdirnya dan
menginginkan jalan pintas untuk mengakhiri persoalan walau tidak ada
sebenarnya solusi yang tepat bagi krisis hidupnya. Pada saat bersamaan, rasa nasionalisme di
AS sedang bergelora, meski tidak mayoritas yang bersikap demikian. Donald
Trump dengan jargon-jargon populis anti-china telah membuai sebagian warga AS
yang memilihnya. Trump menjanjikan China harus dicap sebagai pemanipulasi
kurs renminbi untuk keuntungan ekspor ke AS. Trump juga menjanjikan, China
akan dihukum dengan tarif impor jika tidak menuruti aturan main dalam
perdagangan internasional. Trump menjanjikan, China harus menghentikan
pencurian tekonologi AS. Salah satu tujuan dari jargon-jargon Trump
terkait China adalah mengembalikan investasi global dari China ke AS. Sebab
menurut Trump, lewat isu yang dia pelintir, China telah merampas hak pekerja
AS. Tentu AS juga menyerang China dari segi isu genosida di Xinjiang,
demokrasi di Hong Kong, Taiwan, kebebasan navigasi di Laut China Selatan dan
masih banyak lagi isu lainnya. Kemenangan Trump pada Pemilu 2016
memunculkan jejeran teknokrat dan secara ekstrem membenci China. Mereka,
antara lain, adalah Peter Navarro seorang penasihat perdagangan bagi Trump,
Kepala Perwakilan Dagang AS Roberth Lighthizer, Penasihat Keamanan Nasional
John R Bolton. Kelompok supremasi kulit putih, yang juga pendukung kuat
Trump, ada di balik kebencian terhadap China. Logis atau tidak logis,
pokoknya para teknokrat ekstrem dan populis ini tiada hentinya menekan China. Pada tingkat tertentu, Biden juga terjebak
pada populisme, yang dia ucapkan dalam debat menjelang pemilu November 2020.
Biden juga melanjutkan kebijakan Trump, yang agresif terhadap China,
ketimbang mengikuti arah kebijakan Presiden Obama. Tambahan pula, Biden
melakukan ini di tengah tuduhan kaum Republikan bahwa Biden terlalu lemah
terhadap China. Biden turut terseret sentimen domestik
anti-China warisan Trump. Ini destruktif dan menyulitkan Biden menjalankan
kebijakan secara independen. Posisi dari Partai Demokrat, penyebar
demokratisasi ke seluruh dunia, menjadi beban tambahan bagi Biden. Di atas
semua itu, intinya adalah isu China di AS adalah isu populis, melupakan sisi
positif yang begitu banyak di antara AS dan China. ”Politik populisme akan tertakdir gagal,”
kata Andrew Moravcsik dari Princeton University pada konferensi tentang
keamanan di Praha, Ceko, 2017. Moravcsik menjelaskan mengapa jargon dan
politik populis gagal. Jargon populis hanya memenuhi aspirasi orang yang
sedang kecewa, sedang menggerutu. Program populisme tidak memiliki legitimasi
serta berhadapan dengan kepentingan mayoritas warga yang rasional dan tidak
terjebak perangkap populisme. Hak
dan kedaulatan China Program populisme tidak realistis bahkan
dari sisi AS itu sendiri. Perusahaan-perusahaan AS, terutama bidang
teknologi, menemukan pasar China sebagai sumber keuntungan atas jerih payah
mereka di bidang inovasi. ”AS melakukan inovasi tetapi penjualannya ada di
pasar China,” kata seorang konsultan dan pakar AS tentang perekonomian China,
Deborah Lehr. Ada banyak pihak di AS yang melihat China
sebagai mitra. Kelompok ini menjadi pihak yang membenci kebijakan populis
Trump. Hal seperti inilah yang membuat program populis sulit dijalankan,
demikian Moravcsik mengingatkan. Unsur populisme yang gagal itu juga
berhadapan dengan China yang menekankan hak, kedaulatan negara dan martabat
bangsa. Bagi China, adalah hak mereka untuk mengembangkan perekonomian,
mengembangkan teknologi, inovasi, apa pun tuduhan AS soal pencurian
teknologi. Adalah hak China mempertahankan kedaulatan wilayah. Adalah hak
China mempertahankan karakter kediktatoran sosialis, jika dikaitkan dengan
isu Xinjiang, Hong Kong, Taiwan. Bagi China adalah martabat dan kedaulatan
atas segala isu yang terkait dengan Laut China Selatan, Senkaku (Diaoyu).
Mengapa pula AS harus sibuk mengurusi wilayah sekitar China, yang menjadi hak
China, sementara China tidak sibuk mengurusi wilayah Benua Amerika, demikian
seorang kolonel China, Zhou Bo, yang juga menjadi think-tank di Center for
International Strategy and Security, Tsinghua University (CGTN, 11 Maret
2021). Lebih bagus China bernegosiasi dengan negara-negara terlibat sengketa
wilayah, demikian selalu kemauan China. Sementara AS sulit menerima kenyataan bahwa
China kuat. Biden sulit bersikap mandiri seperti Obama dan malah melanjutkan
sikap benci pada China, mengikuti Trump, setidaknya demikian di permukaan.
Oleh sebab itu, Konsulat Jenderal China di Los Angeles, Zhang Ping
mengatakan, butuh nyali dari sisi AS untuk menyadari situasi itu. Dalam arti,
butuh nyali bagi pemangku jabatan di AS untuk menyadari sikap anti-China,
sementara China selalu menegaskan tidak akan mundur pada tekanan AS. (Baca
tulisan bersambung berikutnya berjudul ”Utusan Biden dan Xi Beradu Kata-Kata
’Pahit’” di Alaska). Jika Biden terus melanjutkan cara Trump,
tampaknya akan tertakdir gagal. AS mengalami anemia dalam politik domestik
yang diwarnai perpecahan dan kebijakan internasional. Karena anemia, AS
gencar mengajak negara sekitar berkoalisi. Hanya saja AS tidak akan mampu
menghadapi China sendirian. Akan tetapi, Victor Cha, pejabat pada era
Presiden George W Bush, ragu juga dengan kekuatan koalisi AS. AS itu dikenal
sangat sepihak dalam bernegosiasi dengan negara-negara sekutunya, dan
meremehkan opini negara lain, menurut Cha, seperti dikutip harian The New
York Times, 14 Maret 2021. Pakar soal China dari Australia, Hugh
White, yang juga profesor di Australian National University mengutarakan
opininya. Secara militer, kata White, sulit bagi AS menaklukan China di kawasan
dekat China. Tentu China sejauh ini tidak memiliki kekuatan jika pertarungan
terjadi di luar wilayah China. Akan tetapi, China memang fokus pada dirinya
dan ekspansi non-militer ke seberang. China, menurut White, memiliki kekuatan
yang melampaui Kekaisaran Jerman, Nazi Jerman, Jepang, dan Uni Soviet yang
pernah ditaklukkan oleh AS. Demikian juga pendapat Paul Kennedy dari
Yale University, secara militer dan ekonomi, AS yang sudah didera utang
besar, sulit membayangkan AS bisa menaklukkan China. Presiden The Asia
Society Kevin Rudd menyatakan, waktu sedang berpihak pada China soal kekuatan
ekonomi dan militer. Namun, John Mearsheimer dari University of
Chicago menyatakan meski kekuatan AS menipis sekalipun, gangguan terhadap
China dari sisi AS akan terus ada. Bagi Mearsheimer, AS masih sangat perkasa.
Masih banyak warga di AS yang berpandangan serupa. Sementara itu, memerangi China yang
memberikan kemakmuran global, bukan ekspansionis seperti kekuatan-kekuatan
sebelumnya, adalah hal yang sulit dilakukan oleh AS. Sulit bagi AS berkoalisi
kuat dengan banyak negara berbasiskan tuduhan-tuduhan tak terlalu valid
terhadap China. Tentu ada ketakutan, seperti dicuatkan AS, China sekarang dan
kelak kemudian hari akan memakai kekuatan ekonomi untuk menekan negara-negara. Bahwa kelak, jika China semakin kuat, tidak
tertutup kemungkinan menekan seluruh dunia. Jika ini juga terjadi kelak,
dunia tidak heran sebab sudah mengalami perlakuan AS yang seperti itu,
seperti Perang Irak berdalilkan demokrasi dan hak asasi manusia. AS mungkin bisa mencoba resep dari China,
berupa ajakan berdiskusi bukan berkonfrontasi dan membuangkan teori jebakan
Thucydides. Obama melakukannya. Pelik, tetapi menarik untuk diamati
setidaknya hingga empat tahun ke depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar