Wacana
Revisi Pasal Karet UU ITE Eddy OS Hiariej ; Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM, Wakil Menteri
Hukum dan HAM RI |
KOMPAS,
24 Maret
2021
“Semangat awal Undang-Undang ITE adalah
untuk menjaga agar ruang digital Indonesia bersih, sehat, beretika dan
produktif. Kalau implementasinya menimbulkan rasa ketidakdilan, maka undang-undang
ini perlu direvisi. Hapus pasal-pasal karet yang multitafsir, yang mudah
diinterpretasikan secara sepihak”. Demikian arahan Presiden Joko Widodo dalam
Rapat Pimpinan TNI/Polri di Istana Negara, Jakarta, Senin, 15 Februari 2021.
Pada kesempatan yang sama, Presiden pun menegaskan agar Polri lebih selektif
dalam menangani kasus-kasus terkait pasal-pasal karet tersebut. Dalam doktrin hukum pidana, suatu norma
yang disebut sebagai pasal karet atau pasal yang multitafsir pada hakikatnya
adalah aturan yang tidak memenuhi persyaratan asas legalitas bahwa suatu
ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen, nulla poena sine lege certa)
sehingga tidak menimbulkan berbagai interpretasi yang sangat berbahaya bagi
kepastian hukum. Secara umum semua ketentuan pidana dalam
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dapat dikatakan
sebagai cyber crime atau kejahatan dunia maya. Pemahaman
kejahatan dunia maya Dalam konteks global, istilah kejahatan
dunia maya pertama kali dimunculkan dalam dokumen Kongres Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai The Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders di Havana, Kuba, pada tahun 1990. Ada dua istilah yang dikenal:
cyber crime dan computer related crime. Penjelasan lebih lanjut terdapat
dalam naskah pengantar (back ground paper) untuk lokakarya Kongres PBB X/2000
di Wina, Austria. Istilah cyber crime dibagi dalam dua
kategori. Pertama, cyber crime dalam arti sempit (in a narrow sense) disebut
sebagai computer crime. Kedua, cyber crime dalam arti luas (in a broader
sense) disebut computer related crime. Masih menurut back ground paper, kejahatan
dunia maya secara luas meliputi: 1) dalam sistem atau jaringan komputer (in a
computer system or network), 2) terhadap sistem atau jaringan komputer
(against a computer system or network) dan 3) menggunakan sarana-sarana dari
sistem atau jaringan komputer (by means of a computer system or network). Setahun kemudian, pasca-Kongres PBB di
Wina, Austria, Majelis Eropa (Council of Europe) mengadakan Konvensi tentang
Kejahatan Siber di Budapest, Hongaria pada tahun 2001. Konvensi tersebut menghasilkan lima kata
kunci sebagai inti dari cyber crime. Pertama, illegal access, yaitu sengaja
memasuki atau mengakses sistem komputer tanpa hak. Kedua, illegal interception, yakni sengaja
dan tanpa hak mendengar atau menangkap secara diam-diam pengiriman dan
pemancaran data komputer yang tidak bersifat publik ke, dari atau di dalam
sistem komputer dengan menggunakan alat bantu teknis. Ketiga, data interference, diartikan
sebagai sengaja dan tanpa hak melakukan perusakan, penghapusan atau perubahan
data komputer. Keempat, system interference, yaitu sengaja melakukan gangguan
atau rintangan serius tanpa hak terhadap berfungsinya sistem komputer.
Kelima, misuse of devices, yakni penyalahgunaan perlengkapan komputer
termasuk program komputer, password komputer, kode masuk. Bila merujuk pada risalah pembentukan UU
ITE, sebenarnya undang-undang a quo hanya dimaksudkan untuk mengatur segala
sesuatu yang berkaitan dengan informasi dan transaksi elektronik. Oleh karena
itu kriminalisasi terhadap berbagai perbuatan hanya dimaksudkan yang berkaitan
dengan sistem atau jaringan komputer (in a computer system or network) dan
terhadap sistem atau jaringan komputer (against a computer system or
network). Hal ini terlihat jelas dalam undang-undang
a quo yang mengadopsi lima kata kunci dalam konvensi kejahatan siber di
Budapest, Hongaria. Multitafsir
dan urgensi revisi Namun dalam perkembangan pembahasan
undang-undang a quo, ada pemikiran untuk memasukkan berbagai kejahatan dalam
buku kedua Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menggunakan dunia
maya sebagai media dalam UU ITE. Artinya, yang diatur tidak hanya cyber
crime dalam arti sempit atau computer crime melainkan juga cyber crime dalam
arti luas atau computer related crime dengan menggunakan sarana-sarana dari
sistem atau jaringan komputer (by means of a computer system or network).
Tegasnya, komputer atau cyber space atau internet network berfungsi sebagai
instrumentum delicti atau alat/sarana yang digunakan untuk melakukan
kejahatan. Celakanya adalah ketika berbagai kejahatan
yang tersebar di beberapa bab dalam KUHP (pelanggaran kesusilaan, perjudian,
penghinaan/pencemaran nama baik, pemerasan/pengancaman, menimbulkan rasa
permusuhan atau kebencian individu atau kelompok berdasarkan SARA, ancaman
kekerasan atau menakut-nakuti) dimasukkan ke dalam UU ITE (Pasal 27, Pasal 28
dan Pasal 29) tanpa disertai dengan bestandeelen delict (unsur-unsur delik)
yang jelas dan tegas. Sebagai misal, Pasal 27 UU ITE tentang
penghinaan/pencemaran nama baik. Penjelasan menurut undang-undang a quo sudah
jelas. Beberapa tahun kemudian terjadi perubahan UU ITE terhadap pasal a quo
diberi penjelasan bahwa yang dimaksud dengan penghinaan adalah sebagaimana
terdapat dalam Pasal 310 KUHP tentang menista dan Pasal 311 KUHP tentang
fitnah. Padahal, penghinaan dalam KUHP tersebar
dalam Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP. Artinya, yang diakomodasi oleh
UU ITE hanyalah menista dan memfitnah sebagaimana dalam penjelasan, padahal
masih ada bentuk penghinaan lainnya seperti penghinaan ringan, melapor secara
memfitnah dan menuduh secara memfitnah. Penjelasan pasal a quo justru membuat
runyam substansi penghinaan itu sendiri. Selain itu, Pasal 27 UU ITE yang
terdiri dari empat ayat, antara ayat satu dengan ayat yang lain memiliki
sifat pembagian delik yang berbeda. Penghinaan adalah delik aduan, sedangkan
perjudian bukanlah delik aduan. Selanjutnya terkait Pasal 28 Ayat (2) UU
ITE. Pasal a quo bersumber dari pasal-pasal penyebar kebencian (haatzai
artikelen) yang terdapat pada Pasal 154 sampai dengan Pasal 157 KUHP. Menurut
sejarahnya, pasal-pasal tersebut berasal dari Code British yang diberlakukan
oleh penjajah Inggris di India. Ketika Inggris menguasai Belanda berdasarkan
Traktat London, pasal-pasal itu kemudian diadopsi oleh Belanda dan diterapkan
secara concordantie beginselen di daerah jajahannya, Indonesia. Dalam perkembangannya, pasal-pasal tersebut
ada yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga menimbulkan
komplikasi hukum tersendiri. Di satu sisi Pasal 28 UU ITE masih berlaku,
namun di sisi lain sumber dari pasal tersebut dalam KUHP ada yang sudah
dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan pemaparan di atas, revisi pasal
karet dalam UU ITE menjadi suatu keniscayaan. Namun perlu juga diingat bahwa
saat ini, pemerintah sedang menyosialisasikan Rancangan KUHP yang sudah
berlangsung sejak 23 Februari 2021 dengan harapan dapat segera disahkan. Dalam Rancangan KUHP, berbagai kejahatan
dunia maya yang termuat dalam UU ITE sudah dimasukkan ke dalam Rancangan
KUHP. Artinya, ketika Rancangan KUHP disahkan, maka dengan sendirinya
berbagai ketentuan pidana dalam UU ITE tidak lagi berlaku. Bahkan, ancaman pidana dalam Rancangan KUHP
yang berkaitan dengan kejahatan dunia maya telah disesuaikan dengan sanksi
pidana pada umumnya, sehingga tidak terjadi disparitas antara ketentuan yang
satu dengan ketentuan yang lain. Alasannya, pidana penjara dalam Rancangan
KUHP bukanlah pilihan utama, namun masih ada alternatif pidana lainnya
seperti pidana denda, pidana pengawasan dan pidana kerja sosial. Pedoman
pelaksanaan Sembari menunggu revisi UU ITE atau
pengesahan Rancangan KUHP, hal penting yang harus dilakukan adalah perlunya
pedoman pelaksanaan pasal-pasal a quo yang dikeluarkan oleh Polri. Ini untuk
menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo bahwa Polri harus selektif dalam
menangani kasus-kasus ITE. Arahan tersebut mengandung kedalaman makna.
Pertama, harus ada standar yang sama termasuk penafsiran terhadap pasal-pasal
tersebut. Kedua, jangan ada tebang pilih dalam menangani kasus-kasus ITE.
Ketiga, sedapat mungkin kasus-kasus ITE dapat diselesaikan tanpa proses
hukum. Polisi virtual yang dicanangkan oleh
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo perlu diapresiasi sebagai
pengejawantahan arahan Presiden Joko Widodo. Polisi virtual tidak hanya
mengedepankan aspek pencegahan, tetapi juga mediasi bilamana kasus-kasus
tersebut telah masuk pada proses hukum. Hal ini sesuai dengan semboyan Kapolri
Sigit yakni Polri yang PreSiSi: Prediktif, responsibilitas dan transparansi
berkeadilan. Berkaitan dengan kasus-kasus ITE, Polri harus lebih bisa
memprediksi berbagai kemungkinan kejahatan dunia maya, merespons berbagai
kasus tersebut dan menyelesaikan secara adil dan transparan dengan memediasi
pelaku dengan korban. Hal ini pun sesuai dengan paradigma hukum
pidana modern yang berorientasi pada keadilan korektif, keadilan
rehabilitatif dan keadilan restoratif. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar