Potensi
Konflik Pilkada
Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
UII Yogyakarta
|
KOMPAS,
12 Desember
2017
Penerapan dan pelembagaan demokrasi yang
tidak disertai dengan demokratisasi substansial di tingkat bawah (rakyat)
bisa menimbulkan masalah. Kultur masyarakat Indonesia dalam menyerap
prinsip-prinsip dasar demokrasi setidaknya dihadapkan pada dua hal. Pertama,
masih kuatnya pengaruh feodalisme di masyarakat maupun di pemerintahan
sehingga pola pikir yang tercipta adalah melayani penguasa/raja/atasan. Pada
tataran ini, kebebasan individu dihadapkan dengan kuasa atasan, biasanya
secara moral kuasa atasanlah yang akan lebih dominan. Padahal, esensi demokrasi
adalah melindungi kebebasan setiap warga menentukan pilihannya.
Kedua, kondisi masyarakat yang religius
(abangan maupun santri) menjadikan titah seorang pemuka agama adalah suatu
kewajiban yang harus diikuti. Praktiknya, hampir seluruh pimpinan agama itu
terlibat dalam setiap kontestasi pemilu dan pemilihan kepala daerah
(pilkada).
Kuatnya dua patronase di atas pada tataran
desa juga diperparah dengan kondisi genealogis masyarakat pedesaan. Ikatan
kekeluargaan, baik melalui hubungan darah maupun perkawinan, masih sangat
kental membentuk masyarakat pedesaan. Implikasinya, pilkada mau tidak mau
pasti dikaitkan dengan hubungan kekeluargaan yang ada. Setiap anggota
keluarga diwajibkan mendukung anggota keluarga lain (baik sebagai calon
maupun tim sukses) dalam pilkada. Oleh karena itu, tak jarang hubungan
kekeluargaan menjadi renggang pascapilkada.
Sejarah masa lalu Indonesia, baik dalam
penindasan penjajah hingga 350 tahun maupun kungkungan kerajaan-kerajaan
lokal yang tidak kalah feodal dan otoriter, menjadikan kultur masyarakat yang
harus kita akui tidak begitu akrab dengan demokrasi. Terutama prinsip-prinsip
demokrasi secara substansi, semisal persamaan, kebebasan, dan kedaulatan
rakyat. Maka, tidaklah mengherankan
jika duplikasi demokrasi Barat (dengan bumbu-bumbu lokal) menemui
banyak persoalan yang tidak mudah diselesaikan.
Mengubah budaya tak semudah mengamendemen
konstitusi atau mengubah undang-undang. Pengalaman negara lain menunjukkan,
butuh waktu yang tidak sebentar dan biaya tidak sedikit untuk mengubah
budaya. Oleh karena itu, upaya demokratisasi substansial masih terus
dibutuhkan.
Pada tahun 2018 mendatang, ada 171 daerah
yang akan menyelenggarakan pilkada. Tentu saja ini jumlah yang tidak sedikit,
dengan tingkat kerawanan konflik cukup besar. Politik uang, penggelembungan
suara, dan bentuk kecurangan-kecurangan lain dalam pilkada adalah masalah
klasik yang seharusnya sudah teratasi oleh penyelenggara dan pengawas
pilkada.
Namun, pada kenyataannya, bentuk
kecurangan-kecurangan gaya lama ini tidak pernah absen dalam setiap
kontestasi pemilu meskipun sudah dalam kuantitas yang tidak begitu besar.
Artinya, dibutuhkan pendekatan lain dari penyelenggara dan pengawas pemilu
untuk mengantisipasi masalah klasik itu.
Dua
potensi konflik
Namun, menurut penulis, ada dua potensi
konflik lain dalam pilkada 2018 mendatang. Jika tak diantisipasi dengan baik,
tidak saja akan merusak jalannya pilkada, tetapi juga merusak demokrasi dan
bukan tidak mungkin mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Potensi pertama adalah pemanfaatan agama
dalam ruang publik untuk keuntungan politik praktis. Pilkada Jakarta
meninggalkan bekas (baca: luka) yang memprihatinkan bagaimana agama
dimanfaatkan oleh kelompok tertentu. Pada pilkada 2018 mendatang, potensi
konflik yang terjadi akan semakin besar karena berbeda dengan di Jakarta
kemarin yang (secara umum) menghadapkan mayoritas Islam dengan non-Islam.
Pada 2018 ini justru akan menghadapkan golongan Islam dengan golongan Islam.
Potensi ini sudah dapat terbaca di beberapa daerah yang sudah mendeklarasikan
calon.
Potensi kedua adalah pemanfaatan kesukuan,
atau istilah lain yang belakangan ini kembali mencuat adalah pribumi dan
nonpribumi. Di Jakarta, isu pribumi dan nonpribumi tidak begitu kuat, tetapi
di daerah lain, terutama luar Jawa, masih sangat kental dengan potensi
konflik antarsuku yang cukup besar.
Oleh karena itu, menghadapi pilkada 2018
yang aman dan damai tidak cukup hanya mengandalkan peran penyelenggara dan
pengawas pemilu serta kepolisian. Jauh dari itu, peran tokoh adat, tokoh
agama, dan tokoh masyarakat sangat dibutuhkan.
Membiarkan mereka bergerak begitu saja
tentu bukan pilihan baik. Negara harus berperan aktif menginisiasi peran
tokoh-tokoh dalam pilkada mendatang. Setidaknya memunculkan kesadaran bahwa
memilih adalah hak asasi yang harus didasarkan pada nurani. Bagaimanapun,
pilkada hanya memunculkan pemimpin dalam lima tahun ke depan, sedangkan
persaudaraan kita sebagai manusia dan sebuah bangsa abadi selamanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar