Mempertaruhkan
Stabilitas Semenanjung Korea
Luki Aulia ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
21 Desember
2017
Siapa pun tak akan
melupakan Perang Korea 1950-1953 yang menewaskan 2,5 juta warga sipil dan
tentara dari Korea Selatan, Korea Utara, dan Amerika Serikat. Secara teknis,
perang itu belum berakhir karena tidak ada kesepakatan damai. Konflik serupa
dapat berulang jika ketegangan di Semenanjung Korea tak kunjung reda.
Situasi di Semenanjung
Korea terasa kian panas setelah Korea Utara menguji delapan rudal balistik,
termasuk rudal antarbenua. Hal ini dibalas dengan latihan militer bersama
antara Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang. Bahkan, pada latihan
terakhir, pekan lalu, dilibatkan hingga 230 pesawat, termasuk pesawat
pengebom milik AS.
Meski ketiga negara
menganggap latihan perang sebagai kegiatan rutin, tak bisa disangkal latihan
itu dipicu oleh uji coba rudal Korut dengan teknologi yang makin meningkat.
Kemajuan teknologi rudal Korut bisa dilihat dari daya jangkaunya yang semakin
jauh. Rudal antarbenua Korut mampu meluncur 933 kilometer dengan ketinggian
2.802 kilometer. Korut sesumbar dapat mencapai wilayah AS di Guam.
Jika sudah bisa sampai
Guam di Pasifik, Indonesia juga harus bersiap karena wilayah Pasifik Barat
berdekatan dengan wilayah-wilayah di Indonesia timur, seperti Sulawesi Utara,
Maluku Utara, dan Papua.
Jenis rudal Korut, seperti
Taepodong 2, bahkan dapat menjangkau 10.000 kilometer dan KN 08 dapat
mencapai Australia karena mampu menempuh 9.000 kilometer.
Belum ada yang tahu
mengapa teknologi rudal Korut dapat berkembang secepat itu, apalagi mengingat
ekonomi Korut terbatas akibat serangkaian sanksi dari Dewan Keamanan PBB
selama bertahun-tahun. Belum diketahui pula apakah Korut sudah menguasai
teknologi yang dapat membuat hulu ledak nuklir tetap utuh saat masuk kembali
ke atmosfer bumi. Namun, hal itu tampaknya tinggal tunggu waktu untuk
terwujud karena komitmen Pemimpin Korut Kim Jong Un sangat besar terhadap pengembangan
teknologi senjata.
Kim Jong Un, menurut The
New York Times, 15 Desember lalu, memberi ilmuwan rudal dan nuklir dengan
insentif tambahan bonus. Ia juga menaikkan status ilmuwan sebagai pahlawan
bangsa dan simbol kemajuan bangsa.
Seiring dengan hal itu,
Kim Jong Un terus menanamkan doktrin bahwa AS adalah ”setan” dan musuh
bangsa. Ia menjadikan sains sebagai alat propaganda rezim, berbeda dari
ayahnya, Kim Jong Il, yang memanfaatkan sinema serta seni sebagai alat
propaganda.
Meski terjerat dengan
berbagai sanksi, Korut terus berusaha mengembangkan teknologi senjata dengan
menggali ilmu negara lain seperti Jepang. Michael Madden, pengelola situs
Pengawasan Kepemimpinan Korut, menjelaskan, Korut selama ini belajar dari
makalah dan jurnal ilmiah Jepang. Korut juga rajin mengirim mahasiswa ke
China, India, dan Jerman. Ilmuwan dari negara-negara bekas Uni Soviet
direkrut dan digaji 10.000 dollar AS per bulan.
Menghitung
kekuatan
Berbekal itu, kekuatan
militer Korut tak bisa diremehkan. Guru Besar Politik di MIT dan Direktur
Studi Keamanan MIT Barry Posen menilai Korut memiliki 250 peluncur rudal
bergerak. Jika peluncur ini disebar, AS mungkin tak akan bisa menghancurkan
semuanya dengan cepat. Toh, selama ini AS juga tak selalu berhasil menemukan
dan menghancurkan peluncur rudal bergerak.
Meski mayoritas peranti
keras militernya termasuk kuno karena dibuat di era Soviet, Korut tetap
memiliki tank yang lebih banyak dibandingkan AS (3.500 tank di Korut dan
2.381 tank di AS). Militer Korut juga mengandalkan 1,2 juta tentara, termasuk
100.000 personel pasukan khusus yang terlatih untuk menyelinap masuk Korsel.
Seandainya AS tak mau
”kecolongan” lalu memutuskan menyerang untuk menghancurkan nuklir Korut,
pihak yang menjadi korban jelas warga sipil di Korsel. Hal ini terjadi karena
Kim Jong Un memilih untuk membalas serangan ke Korsel sebagai sekutu AS
terdekat.
Beberapa pengamat juga
mempertanyakan kemampuan AS menghadapi Korut. Selama setengah abad terakhir
ini, AS terlibat dalam peperangan besar, baik konvensional maupun
inkonvensional. Peperangan dengan Korut, jika terjadi, mungkin akan menjadi
kombinasi perang konvensional dan inkonvensional. The New Yorker edisi 6
September lalu, mengutip Direktur Eksekutif Institut Internasional Studi
Strategi di Washington, Mark Fitzpatrick, menilai perang tidak akan berakhir
dengan cepat setelah Korut kalah.
AS bisa saja akan
menghadapi situasi seperti Timur Tengah dan Asia Selatan. Pengikut setia Kim
Jong Un akan melanjutkan perlawanan dengan bergerilya. ”Korut tak akan jatuh
secepat rezim Saddam Hussein (kurang dari sebulan invasi AS) atau Taliban
(dua bulan). Ia akan bertahan lebih lama karena rakyat Korut dicuci otak
hingga meyakini dinasti Kim titisan dewa dan AS sumber segala kejahatan,”
ujar Fitzpatrick.
Scott Snyder dari Dewan
Hubungan Internasional AS bahkan memperkirakan Korut akan berakhir kacau
seperti Irak atau Libya. Kedua negara ini mengalami kekacauan setelah tak ada
lagi kediktatoran.
Berbagai prediksi yang tak
menyenangkan itu membuat semua pihak mengutamakan solusi lewat jalur
diplomasi, apalagi sanksi ekonomi dari Dewan Keamanan PBB juga tak mempan
untuk menghentikan ambisi Korut. AS mendesak China untuk menekan Korut dengan
menutup sebagian kerja sama dagangnya. Sebagian dituruti China, tetapi sebagian
tidak. China, kini juga Rusia, mendorong dialog dengan Korut sebagai solusi.
Di satu sisi, AS merasa
tidak puas jika hanya berdialog. Perlu ada sanksi lebih keras. Namun, Beijing
tak mau memberikan sanksi lebih tegas karena khawatir rezim Korut akan jatuh
yang kemudian memicu gelombang pengungsi dari negara itu ke China.
Hal itu juga yang menjadi
alasan China sampai saat ini menolak desakan penghentian pasokan minyak ke
Korut. Harian Global Times di China melaporkan, negara itu tak akan ikut
perang jika AS menyerang Korut. Namun, jika hal itu terjadi, menurut Anthony
Cordesman di Pusat Studi Strategi dan Internasional di Washington, pihak
China akan mencegah AS menggulingkan rezim Korut dan mengubah pola politik di
Semenanjung Korea.
Negosiasi
Sudah jelas, tak ada yang
menginginkan ada perang lagi di Semenanjung Korea. Untuk itu, pengamat China
dari Universitas Yonsei, Korsel, John Delury, menilai solusi paling realistis
adalah dialog, negosiasi, dan penyelesaian damai. Tanpa bicara dengan Kim
Jong Un atau para penasihat seniornya, tidak akan tercapai kesepakatan.
Negosiasi bisa mengurangi risiko, permusuhan, bahkan bisa membangun sedikit
kepercayaan.
Dalam dialog atau
perundingan itu, fokus AS harus jelas dan spesifik. Tim perunding perlu
mendorong moratorium uji rudal dan nuklir, pembekuan produksi senjata nuklir,
memperbolehkan inspeksi nuklir, dan meningkatkan transparansi. Korut juga
didorong menyetujui nonproliferasi.
Agar bersedia menyetujui
syarat itu, AS harus mengakui Korut dengan menjalin hubungan diplomatik dan
perdagangan, serta membantu pembangunan Korut. Hal ini bisa dilakukan bersama
China, Rusia, Inggris, dan Uni Eropa. Tak ada jaminan Korut akan bersedia
menerima tawaran negosiasi ini. Bahkan, Pemerintah AS juga belum tentu mau
menerima usulan dari berbagai ahli dan pengamat itu.
Memang tidak akan ada
silver bullet atau solusi sederhana untuk persoalan yang rumit seperti di
Semenanjung Korea. Namun, paling tidak harus ada upaya dari semua pihak untuk
tetap membuka jalur komunikasi dan dialog dengan Korut demi menghindari
perang Korea kedua. Jika perang terjadi, semua pihak berada di posisi kalah.
Warga sipil, lagi-lagi, menjadi pihak yang paling menderita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar