Korupsi
dan Rontoknya Ideologi Negara
Eduardus Lemanto ; Mahasiswa Pre-faculty Program Doktoral Filsafat
Politik, Peoples’ Friendship University of Russia, Moskwa
|
KOMPAS,
18 Desember
2017
Orang mengatakan bahwa karena saat ini
tidak ada gangguan dalam kehidupan bermasyarakat, revolusi dianggap masih
jauh. Tuan-tuan, izinkan saya menyatakan bahwa Anda sekalian sedang menipu
diri sendiri. Saya yakin, saat ini kita sedang tidur di atas gunung berapi….”
(Alex de Tocqueville, On Democracy, Revolution, and Society: 1980).
Kita perlu memakai pidato Tocqueville di
depan Dewan Konstitusi Nasional (Assemble Nationale Constituante), Perancis.
Pada 1848 itu, ia mengingatkan Rezim Orleanis bahwa Perancis tidak sedang
baik-baik saja. Peringatan yang sama berlaku bagi perpolitikan Indonesia saat
ini bahwa negara ini sesungguhnya tidak sedang dalam keadaan normal dan
dilanda guncangan politik yang luar biasa. Mengapa?
Episentrum
persoalan
Bangsa ini terus diguncang skandal-skandal
korupsi pascareformasi. Selain skandal korupsi raksasa KTP-el, ada berbagai
kasus rasuah yang pelakunya tertangkap tangan dalam operasi KPK. Pertanyaan
yang perlu kita ajukan adalah: apakah kecemasan kita sebagai anak bangsa
terbatas pada lenyapnya uang negara yang dirampas koruptor?
Jawabannya, tidak. Episentrum masalah bukan
semata kerugian finansial negara. Betul, kerugian finansial menjadi salah
satu masalah pokok karena terjadi ketidakadilan, di mana ada satu atau dua
orang kuat dan berkuasa kenyang, sementara jutaan rakyat kelaparan. Namun,
jika kita serius menyelami, fokus utama yang jadi keharusan bagi elite bangsa
terletak pada relasi sebab-akibat antara korupsi dan eksistensi negara.
Muatan utama refleksi tidak lagi semata korupsi dan kerugian negara, tetapi
permasalahan korupsi ideologis (ideological corruption).
Dalam korupsi uang negara, ada ancaman
bahaya terselubung, yakni pembunuhan ideologi kenegaraan dan ideologi
kebangsaan. Pembunuhan ideologi masuk dari pintu sindikalisme berupa
pelaksanaan kebijakan-kebijakan (kotor) negara (baca: orang-orang korup
berkuasa) untuk kepentingan persekongkolan jahat, kendati memakai baju
kepentingan umum.
Dalam sindikalisme korupsi atau sindikat
koruptor, empat pilar kebangsaan, seperti Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika, yang bersifat koeksistensif dikeroposi oleh kepentingan
persekongkolan. Ekses yang paling mencelakakan adalah deklinasi tajam
kepercayaan publik terhadap ideologi dan simbol-simbol kebangsaan. Dari situ,
lahirlah gerakan-gerakan pencarian keselamatan publik.
Gerakan-gerakan primordial berslogan SARA
belakangan ini sesungguhnya merupakan pijaran-pijaran kecil dari sumber
letupan masalah, yakni sindikalisme korupsi. Gerakan-gerakan itu bisa saja
kita sebut sebagai impian kolektif (collective dream), atau
sekurang-kurangnya menjadi utopia bersama masyarakat kecil yang ingin segera
keluar dari penindasan para wakilnya yang tak kunjung mewakili kepentingan
mereka.
Dalam sindikat koruptor, jembatan
representasi rakyat yang diembankan kepada kelompok kelas perwakilan, baik
legislatif, yudikatif, maupun eksekutif, mengalami patahan tak tersambungkan.
Menurut Gaetano Mosca, patahan paling mencolok ada pada kelakuan destruktif
lembaga legislatif, berbuntut keraguan akan masa depan pemerintahan
representatif (The Ruling Class, 1939).
Guncangan besar eksistensi bangsa ini
terletak di sana. Sebab, dari sudut pandang sindikalisme, korupsi tidak lagi
sekadar penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan diri atau orang lain.
Namun, korupsi merupakan tindakan sekelompok orang yang berkuasa, yang
sengaja menghancurkan ideologi negara lewat sindikat korupsi. Dalam
sindikalisme korupsi bersemayam pengeroposan ideologi negara.
Cara mengukurnya bisa begini: andai kata
kita sepakat bahwa pusat kehancuran negeri ini terletak pada korupsi, lalu
korupsi belum bisa juga dibasmi, bisa dipastikan korupsi tidak lagi menjadi
kelakuan-kelakuan kotor personal. Artinya, korupsi sudah masuk level sindikat
korupsi (corruption syndicate); persekongkolan jahat di tingkat elite untuk
merampas uang rakyat secara sistematis.
Persekongkolan
jahat
Tesis ini sukar dibantah dan negeri ini
telah berulang kali membuktikannya. Kekhasan dari sindikat atau
persekongkolan jahat bisa diamati dalam masalah-masalah sederhana. Dalam
sindikat atau persekongkolan jahat, tak ada pengakuan atas ”kelakuan-kelakuan
yang salah, apalagi pengakuan kejahatan”, pun tak ada permintaan maaf karena
dilakukan bersama-sama.
Jika korupsi di negeri ini tidak berupa
sindikat, tak susah bagi kita untuk menyaksikan partai-partai yang meminta
maaf jika kader-kadernya terjerat kasus korupsi. Dengan gampang pula kita
melihat lembaga DPR/MPR memecat anggotanya yang terjerat skandal. Demikian
halnya dalam lembaga eksekutif dan yudikatif. Mereka semua tak perlu
bertele-tele berapologi politik dan publik. Sindikalisme korupsi bisa menjadi
penyebab mengapa kultur apologi di negeri ini menjadi semakin mahal. Itulah
beda politik kita dengan negara-negara yang sudah berkeadaban.
Jepang, misalnya, kelimpahan lembaga negara
dan politisi yang memiliki etika dan moralitas tinggi. Penyebabnya bukan
semata pada tingkat keadaban personal, melainkan mereka sudah sampai pada
keadaban institusional. Untuk itu, dibutuhkan reformasi kelembagaan
menyeluruh. Reformasi kelembagaan dimulai dari partai politik, legislatif,
yudikatif, eksekutif, hingga aparat keamanan.
Jantung reformasi dimulai dari pembasmian
korupsi. Sebab, rasuah tak semata soal jumlah uang negara yang ditilap,
tetapi soal eksistensi negara dan perawatan ideologi kebangsaan. ●
|
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |