Kontestasi
Perayaan Natal
Sumbo Tinarbuko ; Pemerhati Budaya Visual;
Dosen Komunikasi Visual
ISI Yogyakarta
|
KOMPAS,
23 Desember
2017
Bagi umat Kristiani,
Desember adalah bulan kedua belas yang dinantikan semua pengikut Yesus
Kristus untuk memperingati hari kelahirannya. Meski ditunggu-tunggu,
sejatinya perayaan Natal menjadi biasa dirayakan dalam setiap tahun.
Tahun ini perayaan Natal
akan menjadi istimewa karena Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan
menggelar perayaan Natal secara terbuka. Biaya untuk menyukseskan perayaan
Natal tersebut konon ditanggung pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD).
Lapangan Silang Monas
dipilih secara aklamasi menjadi tempat diselenggarakannya perayaan Natal
2017. Namun, setelah muncul pro dan kontra, rencana tersebut dibatalkan dan
perayaan Natal oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dipindahkan ke kawasan
Kemayoran.
Kesederhanaan
Atas rencana tersebut
telah muncullah fenomena kontestasi perayaan Natal. Ia berwujud tanggapan, pendapat, dan komentar yang
menyatakan setuju alias sepakat. Tidak sedikit pula yang secara terus terang
menolak dengan menuliskannya menjadi status mereka di media sosial. Status
mereka menjadi viral di media sosial. Perang komentar di antara pemilik akun
media sosial menjadikan fenomena kontestasi perayaan Natal bersalin wajah
berupa ritual ibadah nyinyirisme di media sosial.
Persekutuan Gereja-gereja
Indonesia (PGI) lewat Kepala Humas PGI Jeirry Sumampow, seperti dikutip
Kompas.com (16/12/2017), juga menolak rencana itu. Penolakan didasarkan pada
pendapat PGI yang menilai acara seperti itu tidak efektif dan cenderung
boros. ”Ini juga tidak terlalu sesuai
dengan spirit kita untuk gereja merayakan Natal. Kita kan mendorong gereja
itu merayakan Natal dengan sederhana,’’ tegas Jeirry Sumampow.
Rohaniwan Katolik, Romo
Benny Susetyo Pr, juga tidak sependapat dengan rencana Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta menggelar perayaan Natal di Lapangan Silang Monas. Menurut Romo
Benny, seperti dikutip Kricom.id (16/12/2017), berdoa di gereja pada saat
ibadah perayaan Natal sudah menjadi tradisi.
”Hal ini semata-mata
mewujudkan kesederhanaan dalam beribadah. Natal bukan merupakan perayaan
seremonial, melainkan perayaan dalam menyambut datangnya Yesus Kristus yang
harus dirayakan dengan sederhana.” Ditambahkannya seraya menyarankan, ”Enggak
perlulah dana APBD digunakan untuk ini, enggak penting. Mending untuk anak-anak
miskin.”
Ideologi
pasar
Fenomena kontestasi
perayaan Natal tidak pernah lepas dari berbagai godaan duniawi dalam kemasan
ritual jual: beli produk, barang, dan jasa. Hal itu ditengarai adanya
kecenderungan sikap formalitas saat merayakan Natal.
Sudah menjadi rahasia
umum, prioritas kaum formalis terletak pada bentuk perayaannya. Bukan
esensinya. Mereka akan merasa terhormat dan tersanjung ketika merayakan Natal
dengan ritual ”belanja-belanji” serta pesta pora bergembira ria. Dampaknya,
inti perayaan itu menjadi miskin nilai spiritualitas dan mengaburkan makna
Natal sesungguhnya.
Fenomena kontestasi
perayaan Natal lainnya didominasi sihir ideologi pasar. Bagi pendukung
ideologi pasar, perayaan Natal lebih
banyak diposisikan sebagai bulan terang membahagiakan. Mengapa demikian?
Ketika gulungan kalender bulan Desember terbuka, para produsen penghasil
ribuan komoditas berlomba mempromosikan produk, barang, dan jasa kepada
masyarakat konsumen.
Setiap bulan Desember,
situasi dan kondisinya disetel dengan ciamik untuk menjadi mesin belanja yang
menggembirakan. Dengan memanfaatkan momentum perayaan kelahiran Yesus
Kristus, mereka mampu mengendalikan semua media komunikasi visual.
Mereka menyewa media massa
cetak, elektronik, dan media sosial berbasis internet. Media tersebut
diprivatisasi untuk diwajibkan menyampaikan pesan verbal dan pesan visual.
Mereka juga memprivatisasi ruang publik lewat tebaran iklan luar ruang untuk
diteror dengan pesan komersial bernuansa Natal.
Dalam perspektif budaya
visual, pesan utama yang dikumandangkannya berupa informasi produk, barang,
dan jasa dalam kemasan perayaan Natal. Lewat pesan verbal dan pesan visual
yang dilempar ke ruang publik, mereka mampu menyihir konsumen yang sebagian
besar umat Kristiani. Jargon komersial bernuansa religius yang ditebarkan
lewat jejaring ideologi pasar di antaranya ”Merayakan Natal tidak lengkap
tanpa membeli produk, barang, dan jasa”.
Kembali
menjadi bayi
Pertanyaannya, terhadap
fenomena kontestasi perayaan Natal, sanggupkah perayaan Natal menjadi
kekuatan antiklimaks? Sebuah kekuatan spiritual membangun kembali sikap
manusia yang bersedia mengedepankan hidup sederhana. Bukan menjebakkan diri
dalam arus gaya hidup. Sebuah arus bunuh diri yang menyebabkan manusia
menjadi mati dalam hidup dan kehidupannya.
Pertanyaan tersebut
sejatinya mengingatkan kita pada dongeng Natal. Sebuah narasi cerita
representasi rakyat jelata. Sepenggal perwujudan suratan hidup warga
masyarakat yang dalam hidup kesehariannya banyak diwarnai keterpaksaan.
Atas dasar situasi kepepet
seperti itulah Yesus Kristus lahir di dunia. Diriwayatkan pula bahwa ia
terpaksa dilahirkan di sebuah kandang hewan. Ia terpaksa ditidurkan di sebuah
palungan (tempat makanan binatang) karena tidak ada lagi tempat bagi-Nya
untuk bermalam di rumah penginapan.
Kisah Natal, yang
melibatkan peristiwa kelahiran Yesus Kristus, ingin mengajarkan kepada kita
untuk berlaku jujur terhadap kenyataan. Senantiasa mengedepankan hidup
sederhana. Berani mengambil jarak dan sikap kritis terhadap gaya hidup yang
memberhalakan uang, pangkat, dan
kekuasaan duniawi. Caranya, harus rela reinkarnasi kembali menjadi bayi.
Berani? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar