Mendamba
Pilkada Serentak
dengan
Kesantunan Politik
Adi Prinantyo ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Desember
2017
Deru Pemilu Kepala Daerah
DKI Jakarta tahun 2017 menyisakan serpihan luka di sebagian warga Ibu Kota.
Konflik horizontal tak menajam karena ada tersisa kedewasaan politik di
masyarakat. Kedewasaan itu bersumber dari kesadaran bahwa Republik Indonesia
adalah bangsa majemuk sehingga keberagaman menjadi keniscayaan.
Tahun 2018 menjadi tahun
politik. Ada pilkada serentak di 171 daerah. Polri menilai, ada lima provinsi
dengan kerawanan tinggi, yakni Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, dan Papua. Penilaian itu antara lain dengan
mempertimbangkan populasi daerah dan dinamika partai politik.
Adapun Indeks Kerawanan
Pemilu (IKP) Pilkada 2018 yang disusun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
menunjukkan, kerawanan pemilihan gubernur di tiga provinsi tergolong tinggi,
yakni di Papua, Maluku, dan Kalimantan Barat. Terkait dengan pilkada di 154
kabupaten/kota, ada enam daerah yang termasuk rawan, yaitu Kabupaten Mimika,
Paniai, Jayawijaya, dan Puncak (Papua), Kabupaten Konawe (Sulawesi Tenggara),
serta Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur (Kompas, 8/12).
Jika energi publik Jakarta
ibarat terkuras dengan Pilkada DKI 2017, bagaimana dengan pilkada di 171
daerah? Seiring definisi, politik adalah kegiatan mencari dan mempertahankan
kekuasaan, atau menentang pelaksanaan kekuasaan itu, wajar jika politisi
berusaha memengaruhi publik agar memilih mereka.
Yang menjadi masalah,
bagaimana kampanye atau proses memengaruhi publik itu dilakukan. Pengalaman
menunjukkan, kampanye bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
memicu konflik horizontal masyarakat, apalagi jika materinya tidak disuarakan
dengan santun dan saling hormat satu sama lain.
Harus diakui, sebagian
pilkada kita tidak diwarnai politik santun. Ironis, politisi yang figur
publik mengabaikan kesantunan politik demi tujuan politik pribadi dan juga
golongan.
Dengan pilkada serentak
2018 yang bakal meningkatkan tensi politik di Tanah Air, sangat relevan
disuarakan imbauan agar kontestan pilkada, baik pasangan calon, partai
politik, maupun tim pemenangan calon, mengedepankan politik santun tanpa
cara-cara provokatif.
Tidak
provokatif
Imbauan itu disampaikan
beberapa pihak, seperti dikutip Kompas, Jumat (1/12). Majelis Ulama Indonesia
(MUI), dalam Rapat Kerja Nasional III MUI di Bogor, mengimbau kontestan
pilkada mengutamakan cara yang baik, santun, dan tak provokatif. Para ulama
berpandangan, tensi politik saat Pilkada 2018, jika tak dikelola dengan baik,
dapat memicu konflik horizontal.
Menurut Wakil Ketua Umum
MUI Zainut Tauhid Sa’adi, juga penting bagi para kontestan untuk
mengedepankan kepentingan umum. Kontestan diharapkan tidak menggunakan segala
cara tanpa menghiraukan dampak buruk bagi masyarakat.
Imbauan senada dilontarkan
Pemuda Muhammadiyah. Salah satu rekomendasi Tanwir III Pemuda Muhammadiyah
adalah mendorong pelaksanaan akhlak politik. “Akhlak politik itu, politik
yang menjaga spiritualitas serta merawat hak kemanusiaan,” kata Ketua Umum
Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Praktik politik yang dijalankan
harus mencerminkan budi pekerti baik, bukan praktik politik rente dan politik
uang hanya demi kekuasaan.
Politisi yang bersaing
dalam pilkada sepatutnya memahami kepentingan publik yang harus diutamakan.
Kekuasaan yang diraih dalam pilkada mesti dikembalikan untuk kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat.
Imbauan politik santun dan
mengembalikan hakikat kekuasaan untuk rakyat menjadi kian penting demi
perwujudan esensi pilkada sebagai pesta demokrasi. Pesta itu mutlak terwujud
utuh: berlangsung damai dan melahirkan pemimpin yang memakmurkan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar