Antisipasi
Tahun-tahun Politik Identitas
Geger Riyanto ; Esais; Peneliti Sosiologi;
Mengajar Filsafat
Sosial dan Konstruktivisme di UI
|
KOMPAS,
18 Desember
2017
Jika kita mau, kita bisa menetapkan tahun
2017 sebagai tahun politik identitas. Pada tahun ini kita menjumpai bagaimana
isu identitas menunjukkan tajinya secara telanjang. Ia tak hanya memengaruhi
trajektori percaturan politik, tetapi juga mengubahnya lewat mobilisasi yang
skalanya belum pernah kita jumpai sebelumnya.
Namun, saya kira, tak berlebihan pula
mengatakan tahun 2017 barulah sebuah awal. Kita masih akan menyaksikan
rentetan dinamika yang lebih sengit pada tahun-tahun mendatang.
Pertama-tama, tentu saja lantaran politik
identitas dianggap berhasil meraih tujuannya. Dengan kisah sukses politik
identitas menggerus elektabilitas seorang gubernur yang luar biasa populer,
mudah saja menduga ia akan jadi manuver yang dicobakan kembali dalam
kontestasi politik pada waktu-waktu mendatang. Sebaliknya, untuk menandingi
manuver-manuver politik identitas, pihak petahana juga akan mengembangkan
politik identitas versinya sendiri.
Akan tetapi, keberhasilan politik identitas
melucuti ataupun membangun legitimasi politik barulah satu hal yang paling
mudah terlihat di antara aspek-aspek yang akan menentukan kelarisannya
dilakoni di masa datang. Tanpa banyak disadari, dinamika politik yang
bergulir beberapa waktu terakhir juga menyemai lahan subur bagi merekahnya
ekspresi-ekspresi identitas yang berimplikasi politik dalam keseharian kita.
Kita harus menyadari, kelantangan membela
identitas kini identik dengan reputasi sosial. Apa yang terjadi dalam
beberapa bulan terakhir, berkat isu bela agama—dan terbantu pula oleh media
sosial—banyak orang yang suaranya sebelumnya tak didengar kini jadi figur
yang berpengaruh, setidaknya di lingkungan dekat mereka. Mereka memperoleh
perhatian, pengakuan, dan kehormatan berkat artikulasi-artikulasi vokal
mengecam musuh-musuh yang diimajinasikan mengancam kelompoknya.
Indikatornya? Apabila mencermati media
sosial di sekitar Anda saja, Anda pasti akan menemukan akun yang pengikut dan
apresiasi unggahan-unggahannya melonjak fenomenal berkat jadi pejuang
identitas. Akun-akun yang mengkhususkan diri mengangkat isu-isu identitas pun
bermunculan dan apa yang mendorongnya jelas-jelas ”perang identitas” yang
menyerap perhatian di media sosial lebih dari apa pun.
Kenyataan bahwa orang-orang ini menemukan
kedudukan bermakna yang tak pernah didapat sebelumnya, kita bisa menerka,
mereka akan terus mempertahankan artikulasi-artikulasi yang mengantarnya ke
tempat ini. Ke depan, mereka akan jadi kekuatan-kekuatan yang meresonansikan
politik identitas di akar rumput.
Teknik
mobilisasi
Selain itu, teknik-teknik mobilisasi
dukungan politik kini kian terasah dan para pelakunya insaf bahwa identitas
harus ada di dasar dari aksi-aksinya. Dari kontestasi politik selama 2017,
orang tampak mempelajari bahwa penggalangan massa paling ampuh dimungkinkan
ketika kontestasi dibalut dalam heroisme perang identitas. Di satu sisi,
harus ada musuh yang segenap keberadaan dan tindak-tanduknya mengancam
kelompok diri. Di sisi lain, ada kelompok diri yang tak punya pilihan untuk
mempertahankan keberadaannya selain dengan melawan yang lain.
Ketika dibingkai dengan cara demikian,
terbukti, pihak-pihak akan tergugah untuk bergerak memberikan dukungan
politik ke satu pihak atau melucuti dukungan politik dari pihak lain. Contoh
gamblang perihal bagaimana isu identitas ampuh mendulang dukungan terlihat
dari keefektifan provokasi akun-akun ”pembela identitas” yang berlangsung
nyaris tiap hari di ranah jejaring sosial. Setiap kali berita konflik
antarkelompok menyeruak, akun-akun ini segera memelesetkan peristiwa tersebut
menjadi isyarat penzaliman umat lain terhadap umatnya.
Hasilnya? Lewat cara yang tak selalu bisa
dikatakan benar ini, mereka memperoleh pengikut dengan cepat dan unggahannya
tersebar ke mana-mana. Mereka menjadi penggerak dan pusat dinamika di media
sosial.
Apakah arti dari semua ini? Seiring waktu,
artinya, berbagai pihak makin matang dalam melakukan manuver-manuver politik
identitas. Pihak-pihak yang membutuhkan dukungan politik makin sanggup
menjangkau kalangan yang tak terorganisasi dan apolitis sekalipun, serta
meraup dukungan dengan mengusung isu ini. Selepas 2017, kita bisa menaksir
politik identitas akan berlangsung semakin hebat.
Ekses
negatif
Sayangnya, perkembangan ini tak akan banyak
berarti untuk mengemansipasi warga, subyek demokrasi itu sendiri, secara
riil. Politik identitas memiliki satu masalah yang sangat mendasar. Memang ia
berkutat dengan simbol dan atribut yang menggugah serta bermakna bagi banyak
orang. Namun, mengutip antropolog Levi-Strauss, saat yang sama ia berwatak
”mengambang”.
Dari pilkada ke pilkada yang sudah berlalu
saja, misalnya, politik identitas justru mendesak isu-isu nyata keluar dari
panggung kontestasi. Di tengah- tengah imajinasi peperangan melawan liyan
yang mencengkeram para pemilih, obsesi mereka untuk mendapatkan seseorang yang
bisa jadi juru selamat kelompoknya menyebabkan mereka tak pernah memandang
para kandidat secara konkret sebagai administrator dengan kemampuan serta
rekam jejak yang relevan untuk menyelesaikan problem mereka. Para kandidat
dipilih untuk kelekatannya dengan identitas tertentu, terlepas
manuver-manuver sang kandidat pada masa silam mengkhianati kelekatan
tersebut.
Setelah seorang kandidat terpilih pun
imajinasi identitas yang telanjur berkembang akan terus mencetak ekses
buruknya. Warga biasanya akan lebih menggebu-gebu mencari berita yang
membenarkan ekspektasi imajinernya tentang pejabat terpilih, alih-alih
berita-berita obyektif terkait kebijakannya. Legitimasinya akan terus
dimantapkan atau dilucuti berdasarkan ekspektasi imajiner tersebut. Akhirnya,
pengetahuan konkret bagaimana pemerintahannya yang sebenarnya dijalankan
justru tak pernah terjamah.
Apa yang rentan terjadi dalam kondisi
demikian adalah proses-proses politik jadi sangat rentan dibajak elite.
Pihak-pihak yang punya modal untuk mencitrakan diri sebagai pembela
identitas, tak peduli kepentingan riil mereka berpotensi merugikan masyarakat
luas, akan memperoleh momentum mempertahankan atau meraih kedudukan politik.
Belum lagi, setelah berkuasa, para elite dapat menciptakan dan memerangi
musuh imajiner sewaktu-waktu mereka butuh menggalang dukungan populer—manuver
yang biasanya akan merugikan kelompok rentan yang diproyeksikan sebagai musuh
mereka.
Sayangnya, melihat apa yang sudah diuraikan
di atas, kita tampaknya harus mengantisipasi skenario-skenario paling tak
menyenangkan sekalipun. Seiring makin banyak kontestasi politik
diselenggarakan, obsesi kita dengan identitas bukan hanya kian menjadi-jadi.
Ia pun makin rentan dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang semakin piawai
dalam menggalang legitimasi populer.
Kendati demikian, saya masih percaya, ini
bukan situasi tanpa jalan keluar. Tahun-tahun yang sarat polarisasi memang
mengadang. Dan, kita seyogianya perlu insaf bahwa persoalan riil kita yang
kompleks tidak akan selesai dengan pengotak-ngotakkan identitas yang
menyederhanakan. ●
|
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |