Menyambut
Eropa yang Makin Eksklusif
Myrna Ratna ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
21 Desember
2017
Tahun penuh pemilu telah
dilalui Eropa dengan ”selamat”, dalam arti gelombang populisme yang
mencemaskan berhasil diredam, meskipun tidak bisa dihilangkan. Namun,
persoalan besar tetap menanti pada 2018 dengan makin dekatnya Brexit,
melemahnya duo Perancis-Jerman, dan terpecahnya Uni Eropa dalam menyikapi
reformasi internal.
Tahun 2017 merupakan tahun
berat bagi UE. Serangan terorisme menerjang di sejumlah negara yang selama
ini dianggap aman, seperti Inggris, Swedia, dan Jerman. Sementara itu, meski
gelombang migran dan pengungsi berhasil ditekan, kehadiran lebih dari sejuta
migran di Eropa telah menimbulkan reaksi balik yang mencemaskan, yaitu
melejitnya popularitas partai-partai ekstrem kanan yang antimigran,
anti-Muslim, dan anti-integrasi Eropa.
Tak mengherankan jika
pelaksanaan pemilu di Eropa sepanjang 2017, yaitu di Belanda, Perancis, dan
Jerman, menjadi sorotan internasional. Sungguh melegakan, pemenangnya adalah
partai-partai yang pro-Eropa dan pro-integrasi. Namun, kenyataan bahwa
partai-partai ekstrem kanan berhasil meraih kursi di parlemen nasional,
bahkan di Austria ikut dalam koalisi pemerintahan, menjadi lampu kuning
demokrasi.
Namun, pemilu di Jerman
tak seperti yang diharapkan. Partai Kanselir Angela Merkel (koalisi Uni
Demokratik Kristen/CDU dan Uni Sosial Kristen/CSU), meskipun meraih kursi
terbanyak, tak mampu meraih mayoritas. Krisis politik kini terjadi di Jerman
karena CDU/CSU masih berjuang memperoleh mitra koalisi untuk membentuk
pemerintahan. Jika upaya membentuk koalisi dengan Partai Sosial Demokrat
(SPD) gagal, kemungkinan akan terjadi pemilu baru pada 2018 dan upaya Merkel
menjadi kanselir keempat kali bisa terganjal.
Dampaknya adalah pada
dinamika kekuasaan di blok UE. Awalnya, duo Jerman-Perancis (Angela Merkel
dan Presiden Emmanuel Macron) diharapkan bisa membawa blok ini lebih reformis
dan makin terintegrasi. Terlebih, pada 2018, perundingan Brexit akan mencapai
titik yang menentukan. Semua perundingan harus tuntas pada musim gugur 2018
demi memberi kesempatan bagi ke-27 negara untuk berkonsultasi dengan parlemen
masing-masing.
Friksi sangat mungkin
muncul karena kini blok UE terbelah antara kelompok Visegrad 4 (Polandia,
Ceko, Slowakia, dan Hongaria) yang memiliki pemerintahan kanan dan sering
mbalelo terhadap keputusan Brussels. Pendulum akan bergerak makin ke kanan
dengan tambahan Austria dan kemungkinan Italia, yang akan melaksanakan pemilu
pada Mei 2018, di mana partai ekstrem kanan terus memimpin.
Semakin kuatnya kelompok
ini terlihat pada KTT UE, 14 Desember lalu. Penolakan kubu Visegrad menampung
pengungsi Suriah berdasarkan kuota diam-diam mendapat banyak dukungan. Jika
negara-negara yang satu visi dengan Visegrad kian banyak, pengaruh duo
Jerman-Perancis yang biasanya jadi lokomotif percepatan di blok itu akan
melemah.
Salah satunya adalah
gagasan reformasi ekonomi dari Macron, untuk membentuk anggaran khusus bagi
zona euro, sehingga ketika ada guncangan, mata tunggal euro tak terdampak.
Gagalnya Jerman membentuk pemerintahan membuat usulan Macron itu—meski
dibahas khusus—kehilangan momentum.
Pasca-Brexit
Salah satu pekerjaan rumah
besar bagi UE adalah mendefinisikan hubungannya kembali dengan Inggris
pasca-Brexit. Fase pertama perundingan telah berhasil dilalui dengan
menuntaskan tiga isu utama, yaitu biaya perceraian yang harus dibayar
Inggris, isu perbatasan Irlandia Utara, dan nasib sekitar 3 juta warga UE di
Inggris. Fase berikutnya adalah masa depan perdagangan Inggris-UE.
Secara mengejutkan Inggris
menyatakan tak akan masuk pasar tunggal Eropa ataupun bea cukai bersama.
Inggris lebih memilih kerja sama perdagangan model Kanada. Kerja sama model
ini tidak saja meliputi perdagangan bebas, tetapi juga mencakup soal
keamanan. Namun, perkembangan terakhir menunjukkan, cetak biru yang diusulkan
May tak didukung parlemen Inggris. Lewat voting, kubu oposisi unggul 309-305
akibat membelotnya sejumlah anggota Konservatif.
Artinya, mulai kini,
parlemen mengontrol perundingan dengan menjadi pemberi ”kata akhir”. Setiap
poin perundingan yang disepakati Inggris-UE harus dikonsultasikan kembali
oleh May kepada parlemen. Posisi ini membuat segala kemungkinan terbuka,
apakah Inggris akan keluar dengan soft Brexit (tetap terkoneksi dengan UE),
hard Brexit (sepakat independen dari UE), atau bahkan walkout dari
perundingan.
Dengan demikian, fase
kedua akan lebih alot bagi kedua pihak. Di pihak Inggris, May membutuhkan
dukungan solid dari kubu Konservatif dan juga anggota kabinetnya untuk
membawa satu pesan ke meja perundingan. Sementara di kubu UE, suara yang
bulat sangat dibutuhkan. Konsep perdagangan Inggris pasca-Brexit adalah bisa
menjalin perdagangan langsung dengan setiap anggota UE dan target penetrasi
adalah negara-negara di Eropa timur.
Jika perundingan fase
kedua gagal, pertanyaannya, apakah kesepakatan atastiga isu utama di fase
awal tetap berlaku? Ini juga akan menjadi tarik-menarik alot dan keras.
Dengan segala dinamika
yang menghadang, UE kembali akan memasuki tahun yang penuh tantangan. Satu
hal yang pasti, wajah Eropa kini berubah menjadi semakin eksklusif. Kebijakan
yang makin keras dan ketat terhadap migran dan pengungsi, juga kebijakan
keamanan dan perbatasan, akan menjadi prioritas blok. Di saat pengaruh duo
Jerman-Perancis melemah, pendulum akan makin berayun ke kanan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar