Pertarungan
Logika dan
Konstruksi
Batas Kewenangan MK
A Irmanputra Sidin ; Founder Law Firm A. Irmanputra Sidin &
Associates
|
REPUBLIKA,
17 Desember
2017
Keluarnya
Putusan MK yang menolak gugatan pemohon dalam perkara PUTUSAN Nomor
46/PUU-XIV/2016 langsung kemudian disambut public bahwa MK seolah melegalkan
LGBT. Hal ini perlu diluruskan, karena bisa menimbulkan kesalahpahaman yang
fundamental. Perlu diketahui bahwa perkara ini adalah permohonan kepada MK,
pada intinya adalah meminta penafsiran menyangkut masalah :
1. Zina, sebagaimana diatur dalam Pasal 284
KUHP, akan menjadi mencakup seluruh perbuatan persetubuhan antara laki-laki
dan perempuan yang tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah;
2. Pemerkosaan, sebagaimana diatur dalam
Pasal 285 KUHP, akan menjadi mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan
untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan
maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap laki-laki;
3. Perbuatan cabul, sebagaimana diatur dalam
Pasal 292 KUHP, akan menjadi mencakup setiap perbuatan cabul oleh setiap
orang dengan orang dari jenis kelamin yang sama, bukan hanya terhadap anak di
bawah umur;
Dari
konstruksi perkara diatas memang hal yang menarik untuk dikabulkan atau
sebaliknya. MK memang sudah lebih 10 tahun menerapkan putusan yang disebut
konstitusional bersyarat atau inkonstitusional bersyarat terhadap suatu
undang-undang.
Putusan
seperti ini bukanlah mengambil alih kewenangan pembentuk undang-undang namun
putusan seperti ini tujuannya adalah guna memberikan jaminan kepastian hokum
terhadap sebuah norma, agar tidak
menimbulkan multi interpretasi sehingga merugikan warga Negara, badan hokum
hingga lembaga Negara dalam pelaksanaaanya.
Putusan
bersyarat ini adalah paling realistis kebutuhan konstitusionalnya, karena
biasanya pergolakan politik dibalik pembentuk undang-undang sering
menimbulkan kompromi norma bahkan “plintiran” norma, yang ujungnya
ketidakpastian.
Penyebab
lain putusan bersyarat bisa juga karena ketertinggalan sebuah norma oleh
suatu keadaan atau tidak simetris dengan yang lainya, sehingga juga
menimbulkan ketidakpastian hokum. Cara paling konstitusional menyelesaikannya
bukanlah dengan membabat habis norma itu karena secara diametral norma itu
tidak terang-terangan bertentangan UUD 1945 namun tidak memberikan kepastian
makna. Solusinya adalah memberikan pemaknaan konstitusional akan norma itu
guna kepastian hokum sebagai jaminan Negara hokum (Pasal 1 UUD 1945).
Pengujian
pasal diatas, memang memiliki argumentasinya sendiri, karena alasan untuk
menolak bisa terbangun bahwa permohonan diatas adalah kebijakan kriminalisasi
terhadap sebuah perbuatan yang sebelumnya bukan kriminal sementara guna menentukan
perbuatan itu kriminal atau tidak, ada pada konstruksi bangunan prinsip
daulat rakyat bukan pada rekayasa hakim di pengadilan.
Argumentasi
ini akan bersandar pada asas legalitas, sehingga kemudian, MK bisa saja
menolaknya, karena mengangggap bahwa pemaknaaan dalam lapangan hokum
pidana seperti ini bukan kewenangan MK
karenanya tidak dapat menggunakan instrument konstitusional bersyarat atau
inkonstitusional bersyarat. Bagaimanapun lapangan hokum pidana yang berakibat
dikurangi bahkan dicabut kebebasan dan hak hidup orang harus bersumber pada
konstruksi daulat rakyat, yaitu harus perumusan undang-undang tertulis secara ketat, jelas dan tegas (lex stricta,
lex scripta).
Dilain
pihak, pendapat lain jikalau mendukung permohonan ini adalah bangunan
argumentasi yang tidak kalah logisnya dengan menyatakan bahwa perbuatan zina
, pemerkosaan, perbuatan cabul seperti kehendak makna pemohon diatas adalah memang sejak dulu adalah kejahatan,
berdasarkan nilai moral dan agama (mala in se), bukanlah kejahatan baru yang
diciptakan karena kebutuhan negara
(mala in prohibita). Oleh karenanya ketika bukan kejahatan baru, maka hal
tersebut bisa masuk pada kondisi pemaknaan MK terhadap pasal yang diuji yaitu
konstitusional atau inkonstitusional bersyarat.
Oleh
karena dua argumentasi diatas, terjadi pertarungan logis konstitusional sangat ketat ternyata
pada saat pengambilan putusan, karena Arief Hidayat (Ketua MK), Anwar Usman
(Wakil Ketua MK) yang biasanya sering
berada pada posisi mayoritas malah berada pada posisi minoritas (pendapat
berbeda) bersama dengan Hakim
Konstitusi Wahiduddin Adams, dan Hakim Konstitusi Aswanto yaitu mengabulkan
permohonan dengan basis argumentas mendukung diatas.
Namun
pilihan putusan Mayoritas yaitu Hakim Konstitusi Saldi Isra, I Dewa Gede
Palguna, Maria Farida, Soehartoyo dan Manahan Sitompul, berargumentasi tidak
melakukan perluasan makna criminal suatu perbuatan karena hal tersebut
sepenuhnya wewenang DPR dan Presiden.
Oleh
karenanya putusan ini sesungguhnya hanya berisi “kemenangan mayoritas” pertarungan logika konstruksi batas
kewenangan MK dalam membentuk kebijakan hukum pidana, bukan yang lain. ●
|
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |