Selasa, 12 Desember 2017

Keriangan yang Punah

Keriangan yang Punah
Damhuri Muhammad ;  Sastrawan; Penulis Buku Anak-anak Masa Lalu (2015)
                                                    KOMPAS, 12 Desember 2017



                                                           
Jangan bergegas menuju dewasa. Tak perlu tergesa menuju tua. Sebab, puncak kegembiraan ada di masa kanak-kanak

Demikian pesan seorang ayah kepada anaknya dalam sebuah obrolan ringan akhir pekan. Sekilas terdengar ganjil dan barangkali dapat menimbulkan banyak pertanyaan. Sebab, lazimnya, orangtua menginginkan anaknya lekas besar, segera matang, hingga secepatnya pula menggapai cita-cita.

Jauh sebelum game online merajalela, anak-anak masa silam hanya mengenal permainan mobil-mobilan dari kulit jeruk bali. Bodi utamanya terbuat dari satu belahan simetris kulit jeruk. Lalu, bagian atap diambil dari belahan simetris yang lain dalam ukuran lebih kecil. Empat roda dibentuk dari bahan yang sama, dibuat dengan perkakas sederhana sehingga ukurannya sulit untuk dibikin persis sama. Rangka penghubung antara bodi, atap, dan empat roda hanya memerlukan beberapa bilah bambu ukuran kecil. Mobil kulit jeruk segera meluncur di jalan setelah dihubungkan dengan tali rafia hingga dapat dihela ke mana suka.

Satu-dua hari kulit jeruk tentu akan layu dan lisut, hingga mobil berjalan egol-egol lantaran putaran rodanya tak imbang lagi. Selain itu, warnanya juga akan berubah. Tetapi, anak-anak masa lalu masih menyeretnya ke mana-mana. Bahkan, masih digasak di gelanggang balapan dengan anak-anak lain hingga akhirnya semua mobil itu hancur di jalan berbatu. Tak usah khawatir sebab persediaan jeruk bali melimpah. Mereka akan kembali membuat mobil baru untuk kemudian dihancurkan kembali.

Barang langka

Di sanalah kegembiraan tumbuh. Membuat mainan dengan tangan sendiri, meminjam pisau dari dapur ibu, saling meledek karena hasilnya mungkin terlalu jauh dari bentuk mobil sebenarnya, tertawa terpingkal-pingkal, lalu main bersama hingga tiba waktu senja.

Anak-anak masa silam juga terbiasa bermain meriam bambu. Terbuat dari dua ruas bambu tua yang mereka tebang dari rumpun aur sendiri. Bagian pangkal ruas pertama dilubangi sebagai pintu untuk memasukkan minyak tanah dan kain bekas. Perlu sebilah bambu ukuran kecil sebagai pemantik api yang akan disulutkan ke lubang di pangkal meriam.

Setelah itu, terdengarlah suara dentuman yang saling berbalas di antara satu kampung dan kampung lain. Kadang-kadang meriam bambu juga digunakan sebagai senjata dalam perang-perangan. Biasanya dilakukan di tengah sawah selepas panen. Satu kelompok anak-anak dengan lima meriam berposisi saling berhadap-hadapan dengan kelompok anak-anak lain dengan jumlah meriam yang sama, dalam jarak 150 meter. Sebelum saling menyerang sesuai aba-aba, di ujung tiap meriam dipasangkan tempurung kelapa terlebih dulu. Dentuman yang bertubi-tubi makin semarak oleh tempurung kelapa yang beterbangan.

Tak ada ukuran baku guna menentukan pemenang dari perang itu. Tetapi, yang menarik dari permainan itu adalah bulu mata para operator meriam yang gundul akibat lidah api yang menyembul di lubang penyulut. Panas tinggi dari ruas bambu mengakibatkan cipratan api. Sekali lagi, di situlah keriangan menyala. Kedua pasukan terbahak-bahak melihat muka sahabat-sahabatnya belepotan arang dan bulu mata yang gundul lantaran terkena jilatan api meriam bambu.

Siapa tak kenal petak umpet? Tak ada wilayah Indonesia yang tak memiliki permainan ini meski nama dan cara bermainnya berbeda-beda. Permainan populer ini telah menyisakan banyak kegembiraan yang mustahil diulang setelah kita beranjak dewasa. Manakala sekelompok anak sudah bersembunyi di ceruk-ceruk yang paling sukar ditemukan, ternyata anak yang bertugas mencari pulang diam-diam. Berjam-jam mereka meringkuk di persembunyian, sementara si pencari tak kunjung tiba. Ketika hari beranjak sore, yang muncul di lokasi justru teriakan seorang ibu yang merasa kehilangan anaknya. Begitu mereka keluar dari persembunyian, meledaklah kekecewaan, juga tawa, karena mereka telah tertipu secara berjemaah. Meski begitu, esoknya mereka bermain lagi.

Kini, keriangan demi keriangan itu adalah barang langka, baik di desa, apalagi di kota-kota besar. Suatu kali, pada masa liburan sekolah, saya mengajak anak- anak saya mudik ke pedalaman Sumatera. Saya hendak memperkenalkan ”adu sijontu” alias adu jangkrik, permainan masa kecil yang saya gemari.

Sebelum kami bertolak ke areal bekas kebun cabai guna mencari beberapa ekor sijontu jantan, saya bertanya kepada seorang anak tetangga perihal di mana sijontu jantan mudah diperoleh. Ia menggeleng tanpa beban. Bukan saja karena ia tak bisa menunjukkan sarang sijontu, tetapi juga karena ia betul-betul tak mengenal makhluk bernama sijontu itu.

Kecanduan gawai

Telapak kaki anak-anak kampung masa kini ternyata tidak lagi bersentuhan dengan pematang sawah. Sepulang sekolah, mereka duduk berdesak-desakan, bermain game elektronik di tempat-tempat penyewaan PlayStation (PS). Jika penyewaan PS penuh, mereka akan terpaku berjam-jam di kamar, bermain game online di telepon pintar. Dalam permainan digital itu, mereka terhubung oleh koneksi internet, tetapi tak saling berjumpa meski berada di kampung yang sama.

Kecanduan gawai yang sedang menjangkiti generasi ”Kids Jaman Now” telah membuat mereka malas bergerak dan tak gandrung bercengkrama di alam terbuka. Michael Rich (2015), peneliti Center on Media and Child Health di Boston Children’s Hospital, mengungkapkan, pada 2013 sedikitnya 70 persen anak usia delapan tahun ke bawah sudah menggunakan perangkat gawai, seperti smartphone, tablet, dan iPod. Padahal, pada 2011 datanya masih di angka 38 persen.

Hasil riset yang dilansir www.uswitch.com (2014) juga melaporkan, lebih dari seperempat anak-anak di seluruh dunia memiliki komputer genggam sebelum usia mereka genap 8 tahun. Hasil survei dari lembaga yang sama mencatat, satu dari tiga anak bahkan mulai menggunakan smartphone ketika berumur 3 tahun. Laporan ini menunjukkan jutaan anak telah mengalami kecanduan gawai.

Apabila Tuan dan Puan meragukan kabar ini, periksalah tingkah anak saat mereka ketinggalan gawai dalam sebuah perjalanan piknik, atau saat jaringan Wi-Fi di rumah sedang bermasalah. Mereka akan uring-uringan, gelisah tiada tentu arah sebab kebiasaan bermain di dunia virtual adalah nyawa kedua mereka. Lalu, di mana gundu, congklak, lompat tali, gobak sodor, pletokan, engklek, dan rupa-rupa permainan anak-anak Nusantara yang hingga kini belum terhitung jumlah pastinya?

Boleh jadi beberapa jenis permainan itu telah mengalami digitalisasi hingga dapat dimainkan melalui aplikasi digital, tetapi proses kreatif saat memproduksinya, persentuhan fisik dengan kawan-kawan sebaya, kekompakan dalam permainan kolektif, dan keriangan yang dapat digapai apabila permainan itu digelar di dunia nyata tiada bakal tergantikan oleh histeria dunia maya. Alih-alih dapat meraih keriangan dalam kebersamaan, generasi ”Kids Jaman Now” justru karam di liang-liang keterasingan.… ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar