Open
House
Samuel Mulia ; Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS,
24 Desember
2017
Saya ditanya beberapa
orang ke mana saya hendak menghabiskan liburan Natal dan akhir tahun. Pertanyaan
yang sama saya ajukan kepada beberapa orang juga. Jawabannya macam-macam. Ada
yang tidak ke mana-mana, ada yang ke luar negeri, dan ada yang berlibur di
dalam negeri. Sampai tulisan ini Anda baca, saya memutuskan untuk menikmati
Jakarta saja.
Natal
Tetapi, saya ini orangnya
mudah tergoda. Tergoda karena ajakan teman, tergoda gara-gara melihat tulisan
atau gambar di dunia maya, atau benar-benar karena naluri yang impulsif,
apalagi suasana akhir tahun yang kelabu, hujan yang turun, dan perasaan senang
karena tahun ini sebentar lagi usai.
Mungkin itu bagian enaknya
kalau masih lajang. Sementara teman-teman saya yang sudah berkeluarga harus
menyiapkan segala sesuatu jauh-jauh hari. Tak hanya biaya yang harus
dipikirkan, tapi juga keputusan untuk menentukan tujuan wisata bisa
dibayangkan harus melalui sebuah diskusi yang saya yakini tak bisa selesai
dalam beberapa jam.
Di masa kecil dulu,
liburan Natal akan disambut dengan liburan keluarga alias pulang kampung.
Biasanya kalau tidak ke Surabaya atau ke Semarang. Seingat saya, dari Pulau
Dewata tempat kami tinggal, ayah menyetir mobil.
Semakin dewasa kegiatan
pulang kampung itu makin jarang dilakukan, bahkan seingat saya, di hari
istimewa itu sepulang kami beribadah bersama, ayah dan ibu akan menggelar
acara open house yang akan berlangsung dari pukul 10 pagi sampai pukul 10
malam dengan jeda dari pukul 2 siang sampai 4 sore.
Acara itu akan menyebabkan
ayah mengirim kami ke sebuah hotel untuk menikmati Natal dan mendapatkan
hadiah dari Santa. Sementara ayah dan ibu sibuk menyambut tamu-tamunya yang
datang yang semakin tahun semakin banyak.
Ketika kami anak-anaknya
semakin dewasa, maka hari istimewa itu tidak lagi berlokasi di hotel dan
mendapat hadiah dari Santa, tetapi kami menjadi “pembantu” yang lumayan sibuk
untuk menyiapkan keperluan open house itu.
Di ingatan saya, Natal
dalam keluarga kami adalah bukan sebuah kegiatan keluarga yang hangat, tetapi
menyambut tamu-tamu yang datang memberikan ucapan selamat. Ikatan keluarga di
hari itu seingat saya tak terjadi sama sekali, dan itu berlangsung bertahun
lamanya.
Keluarga
Saat saya tinggal di luar
negeri, Natal adalah hari saat saya merasa sangat kesepian. Teman-teman saya
pulang kampung untuk berkumpul bersama keluarga dan saya teringat pada sebuah
acara keluarga kami yang jauh dari kehangatan.
Apalagi sekarang ketika
ayah dan ibu sudah meninggal dunia, dan kakak serta adik saya juga tinggal di
luar negeri, maka Natal buat saya tak menjadi sesuatu yang luar biasa lagi.
Mungkin itu mengapa, ketika saya melihat hiasan dan mendengarkan lagu-lagu
Natal, selalu saja terselip kerinduan untuk berkumpul bersama keluarga yang
sejujurnya tak pernah saya dapati juga.
Kalau kerinduan itu
datang, maka saya sering merasa bahwa kegiatan open house itu telah memiliki
andil menghilangkan kesempatan merasakan acara keluarga yang hangat di hari
istimewa itu. Tentu saya tak menyalahkan mereka yang datang untuk memberi
ucapan selamat, saya sungguh menghormati itu.
Ayah adalah orang yang
keras kepala, saya harus mengakui ia bukan pria yang romantis. Semua yang ia
lakukan bahkan ketika maut menjemputnya, ia hanya menggunakan otaknya sebagai
senjata kehidupannya yang utama.
Selama sebuah kejadian tak
masuk di akalnya, tak bisa dihitung secara pasti, ia tak akan memercayai. Itu
mengapa saya berpikir bahwa open house itu buatnya penting karena selain
menerima ucapan, acara itu digunakan sebagai salah satu medium kegiatan
bisnisnya.
Saya tak pernah sekali pun
menanyakan mengapa ia lebih senang mengirimkan anak-anaknya ke hotel untuk
menikmati Natal ketimbang berada di dalam rumah bersama keluarga. Saya sampai
pernah menyimpulkan kalau open house adalah hal yang paling menyenangkan
buatnya ketimbang kumpul bersama keluarga.
Ia seorang pria yang hidup
hanya di dua dunia. Hitam atau putih, tak ada abu-abu dan sangat otoriter
meski tingkatannya semakin berkurang ketika kami menjadi dewasa dan memiliki
uang sendiri. Tetapi, di masa kecil dahulu, ia macam seorang diktator di
sebuah negeri kecil yang dihuni empat manusia, ibu dan kami tiga anaknya.
Saya bercerita bukan untuk
mengatakan bahwa kegiatan menerima tamu adalah sebuah kesalahan. Sama sekali
tak ada yang keliru dari acara satu tahun sekali itu. Saya hanya ingin
berbagi melalui pengalaman hidup dan otak yang tidak pandai ini, bahwa open
house adalah momen untuk berbagi sukacita dengan orang lain tanpa melupakan
bersukacita dengan mereka yang disebut anggota keluarga yang telah menemani
Anda dan saya sepanjang tahun dalam sebuah perjalanan kehidupan yang kadang
tak senantiasa semanis madu. ●
|
||Satu Akun semua jenis Game ||
BalasHapusGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128