Kiamat
Kesetiaan
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan;
Tinggal di Yogyakarta
|
KOMPAS,
20 Desember
2017
Pada akhir 2017 ada
baiknya kita mengingat keperihan yang dirasakan bangsa ini: situasi menuju
kiamat kesetiaan, yakni semakin menguatnya keberakhiran kesetiaan atas
ideologi dan idealisme (pada level publik) serta konstitusi (pada level
negara).
Ketika para penyelenggara
negara/pemerintah kian cepat berlari meninggalkan rakyat, kiamat kesetiaan
ideologis dan konstitusional kian terasa hadir. Mungkin kita masih
melihat/mendengar orkestrasi kebaikan yang tecermin dalam praktik demokrasi,
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, pembangunan infrastruktur, pengampunan
pajak, pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen, angka kemiskinan yang menurun,
dan bla-bla lainnya.
Namun, kita pun menghadapi
kian sulitnya rakyat menemukan akses ekonomi dan pendidikan tinggi/bermutu,
juga kesehatan, seperti tersedianya vitamin B kompleks dan parasetamol,
antibiotik berkelas puskesmas. Sempitnya lapangan pekerjaan. Sulitnya mencari
penghasilan layak. Biaya hidup tinggi. Harga- harga kebutuhan yang makin
sulit dijangkau. Mendadak kita merasakan seluruh lini kehidupan berjalan
dengan langgam kapital. Ternyata demokrasi tidak selalu identik dengan
kesejahteraan!
Ketika negara luput
membangun ekonomi berbasis pemerataan, otomatis keadilan jadi persoalan.
Hanya kalangan elite sosial yang bisa hidup layak, bahkan mewah. Rakyat
kebanyakan hidup dalam ketidakpastian. Sebebas apa pun rakyat, idealisme
mereka tetap rontok dihantam tuntutan kebutuhan rutin.
Dalam hidup serba sulit,
pragmatisme sempit dan materialisme radikal pun semakin menguat karena semua
orang ingin bertahan dan, bahkan kalau bisa, menjadi hedonis. Sementara di
kalangan yang kuat beragama, radikalisme pun menjadi pilihan dalam menjawab
ketidakadilan.
Lahirlah masyarakat mesin
yang hanya memiliki dua tombol: kepentingan dan uang/materi. Setiap
kepentingan bisa dipoles dengan nilai-nilai luhur hasil eksploitasi budaya,
agama, hukum, politik, dan sosial. Namun, semuanya selalu berakhir di muara
bernama uang/materi. Uang telah menjadi rezim.
Bapak tragedi asal Yunani,
Sophocles (496-406 SM), berabad-abad lalu telah mengingatkan: uang adalah
hasil kebudayaan paling buruk. Tak ada satu hal pun di dunia ini yang paling
meruntuhkan moral, selain uang. Namun, rasa malu itu kini telah digantikan
rasa bangga dan percaya diri dalam penguasaan uang sehingga pada umumnya
orang tidak pernah merasa cukup atas kekayaan harta miliknya.
Personalisasi
negara
Kita boleh bangga memiliki
presiden dan beberapa gelintir penyelenggara negara yang baik: punya
integritas, komitmen, kapabilitas, ditambah passion dan dedikasi. Namun,
kebaikan saja tidak cukup. Kompleksitas persoalan bangsa ini menuntut
transformasi dan operasionalisasi nilai-nilai kebaikan dalam sistem politik,
ekonomi, hukum, sosial, dan budaya yang sesuai dengan ideologi negara dan
konstitusi. Tanpa hal itu, segala nilai kebaikan hanya menjadi aksesori di
tengah praktik oligarki, korupsi, nepotisme, kolusi, dan persekongkolan
jahat.
Berulang kali negara
kelimpungan menghadapi koruptor-koruptor kelas berat yang digdaya dan sulit
disentuh. Para penyelenggara negara yang berhati baik kurang memiliki naluri
petarung tinggi. Negara bahkan tampak diremehkan kaum bedebah itu. Eloknya,
negara tidak terlalu tersinggung. Dosis kesabarannya terlalu tinggi.
Harus diakui, negara telah
mengalami personalisasi. Seolah- olah negara ini hanya milik sekelompok elite
politik dan ekonomi. Berlakulah budaya rikuh pekewuh (sungkan), tak enak
hati, untuk menegur dan menindak tegas sesama kelompok elite yang melakukan
penyimpangan. Inilah salah satu akibat buruk pengelolaan negara berbasis
oligarki. Hukum jadi tumpul. Sistem macet dan mandul karena banalitas politik
kepentingan yang sangat dominan. Mereka menganggap negeri ini tak lebih dari
koloni kekayaan yang wajib untuk diisap hingga tinggal sepah.
Selama ini mereka
menganggap politik kotor, maka mereka merasa sah berbuat kotor. Padahal, yang
kotor pikiran dan jiwa mereka. Politik itu sendiri, seperti dikatakan Mahatma
Gandhi, tidak kotor, tetapi memiliki kemuliaan sebagai wahana kebudayaan yang
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan umat manusia di dalam bernegara.
Politik merupakan sistem
yang mengatur agar kekuasaan tetap berjalan di dalam rel kebudayaan/peradaban
sehingga pelaku politik tak menjelma jadi semacam hewan buas dan brutal.
Maka, ketika ada politikus yang bilang bahwa politik merupakan pertarungan kekuasaan
semata, bisa jadi dia tak mendalami politik sebagai pengetahuan, ilmu dan
seni yang berbasis logika (kebenaran), etika (keadaban), dan estetika
(keindahan).
Pengetahuan mendorong
pelaku politik memiliki horizon ide. Ilmu menawarkan kemampuan metodologi dan
analisis untuk menemukan berbagai jawaban atas persoalan publik. Adapun seni
merupakan kemampuan akal budi untuk menjawab dan memaknai persoalan dengan
cara-cara berbudaya dan bermartabat. Ini semua terbingkai kebenaran dan
moralitas. Karena itu, politik tak bebas nilai, tetapi terikat nilai. Di
situlah integritas, komitmen, dan kapabilitas menemukan relevansinya.
Turunannya adalah terbentuk dan beroperasinya negara kesejahteraan yang
bermakna bagi publik.
Kiamat kesetiaan atas
ideologi, konstitusi, dan rakyat dapat ditunda jika para penyelenggara
kembali pada kesadaran sangkan paraning dumadi (asal mula kejadian), baik
secara religius maupun sosial. Secara religius, ajaran moral itu bisa
dimaknai bahwa semua jabatan dan kekuasaan berasal dari Tuhan dan harus bisa
dipertanggungjawabkan penggunaan dan pemanfaatannya. Secara sosial, menjadi
penyelenggara negara dan pemerintahan merupakan pilihan politik-etis untuk
membebaskan rakyat dari kemiskinan dan keterbelakangan. Rakyatlah pemangku
kepentingan dan pemilik saham terbesar karena kedaulatan adalah miliknya.
Otomatis para penyelenggara negara/pemerintahan hanya mengabdi kepada rakyat,
bukan kaum pemodal raksasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar