Blunder
TNI Atasi Terorisme
M Nasir Djamil ; Anggota Panitia Kerja Perubahan RUU PTPT
|
KORAN
SINDO, 20 Desember 2017
KEINGINAN untuk
menuntaskan perubahan UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme (RUU PTPT) tahun ini tampaknya bagai pungguk merindukan bulan.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa pemerintah tidak siap. Hal ini akibat
adanya "blunder" pembahasan keterlibatan TNI atasi terorisme.
Panitia Khusus RUU PTPT DPR pun kembali meminta perpanjangan satu kali masa
sidang untuk menyelesaikan RUU PTPT dalam rapat paripurna DPR pekan lalu.
Upaya mengakhiri polemik
ini telah lama digulirkan. Panitia Khusus RUU PTPT dan pemerintah telah
meminta "fatwa" Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menko
Polhukam) pada 15 September 2017 lalu. Saat itu disepakati keterlibatan TNI
tetap dicantumkan dalam naskah RUU PTPT dan pengaturannya dirumuskan dalam peraturan
presiden.
Sebagaimana diketahui, RUU
PTPT mengatur pelibatan TNI dalam penanggulangan tindak pidana terorisme.
Klausul pelibatan tersebut diatur dalam Pasal 43B ayat (1) dan (2), yang
menyatakan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sebagai salah satu pelaksana
kebijakan dan strategi nasional penanggulangan tindak pidana terorisme, dalam
rangka menjalankan tugas perbantuan kepada Polri. Klausul ini dianggap
bertentangan dengan prinsip pengaturan tata kelola keamanan yang demokratik.
Konsep tata kelola keamanan yang demokratik mengharuskan pembentukan
rambu-rambu, serta pembagian fungsi dan tugas yang jelas dan tegas antaraktor
keamanan.
Pencantuman klausul
keterlibatan TNI dalam RUU PTPT tanpa ada rambu-rambu yang jelas
dikhawatirkan akan menjadi blangko kosong bagi TNI. Ketentuan itu bisa
ditafsirkan secara luas oleh TNI untuk terlibat dalam semua aspek atau
dimensi dalam mengatasi terorisme dibungkus dalam dalih memberikan perbantuan
kepada Polri dalam upaya menanggulangi tindak pidana terorisme.
Tingkat
Ancaman
Pelibatan militer dalam
menghadapi ancaman terorisme memang dimungkinkan dalam level dan eskalasi
tertentu ketika ancaman terorisme sudah mengancam keamanan nasional. Tingkat
ancaman dan spektrum ini juga dilakukan di beberapa negara, sebut saja di
Irlandia Utara yang menerapkan tingkat perubahan spektrum pada empat
tingkatan situasi, yakni pertama, stage white, menggunakan model pemolisian
masyarakat (community policing) dengan
ketertiban umum dan dapat melibatkan unit polisi taktis yang bertugas dari
pusat jika diperlukan. Dalam situasi ini, tidak ada penyebaran militer.
Kedua, stage green, dalam
tahapan ini model peradilan pidana digunakan. Upaya ketertiban umum dan
penggunaan unit polisi taktis diterapkan seiring adanya potensi ancaman.
Ketiga, stage yellow, pada tahap ini model sistem peradilan pidana juga
diterapkan, namun turut melibatkan militer untuk melakukan patroli di wilayah
tertentu untuk menciptakan pengamanan operasi. Dan keempat, stage red, pada
tahap ini peran militer dikedepankan. Bahkan dimungkinkan untuk menjalankan
peran polisi dalam sistem peradilan pidana sampai situasi di wilayah tersebut
dinyatakan aman.
Upaya levelisasi ini juga
dilakukan di Australia. The National Terrorism Threat Advisory System
Australia telah menetapkan lima tingkatan aksi terorisme. Lima tingkatan ini
akan menggambarkan tingkat ancaman, potensi ancaman datang dari mana, target
potensial apa yang akan dijadikan sasaran, dan prediksi tindakan apa yang
akan dilakukan teroris. Lima tindakan tersebut adalah not expected (tidak akan terjadi), possible (kemungkinan
kecil terjadi), probable (kemungkinan besar terjadi), expected (diharapkan),
dan certain (pasti terjadi).
Secara empiris, pelibatan
TNI dalam mengatasi terorisme sudah dilakukan dalam operasi gabungan bersama
polisi dalam mengatasi terorisme di Poso yang berhasil melumpuhkan Santoso.
Asumsi yang mengatakan melibatkan militer dalam mengatasi aksi terorisme dapat
merusak sistem peradilan pidana, adalah anggapan yang terlalu terburu-buru.
Dalam skala kebahayaan
tertentu, pertimbangan penggunaan kekuatan yang mematikan dapat memungkinkan
tidak dipenuhinya due process of law.
Namun, demikian, perlu untuk mempertimbangkan efektivitas penggunaan
kekuatan yang mematikan tersebut dengan indikator keberhasilan yang jelas
dalam menangani aksi terorisme.
Jadi, mendekati terorisme
sebagai masalah kriminal murni justru hanya akan membatasi keleluasaan negara
dalam menangani masalah terorisme yang karakter dasarnya adalah masalah yang
membutuhkan penanganan multisektoral. Penanganan multisektoral dibutuhkan
untuk mematahkan dua komponen penting yang memungkinkan keberlanjutan
terorisme, yaitu kapabilitas dan motivasi.
Totalitas
Perubahan
Secara hukum, pelibatan
militer mengatasi ancaman terorisme sudah diatur dalam UU TNI No 34 Tahun
2004 sebagai bagian dari operasi militer selain perang. Pasal 7 ayat 2 UU TNI
menyebutkan bahwa militer menjalankan tugas operasi militer selain perang dan
salah satunya mengatasi aksi terorisme. Namun, dalam ketentuan Pasal 7 ayat
3-nya menyatakan pelaksanaan tugas operasi militer selain perang itu baru
bisa dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara.
Dalam penjelasan Pasal 5
UU TNI disebutkan keputusan politik negara yang dimaksud adalah kebijakan
politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dirumuskan
melalui mekanisme hubungan kerja antara pemerintah dan DPR, seperti rapat
konsultasi dan rapat kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Model
seperti ini justru mempersempit ruang gerak dalam merespons ancaman terorisme
yang harus ditangani secara cepat.
Tentu kita tidak ingin
upaya perubahan terhadap undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme ini
dilakukan terbatas pada dua momentum, yaitu pascakejadian serangan terorisme
serta pembuatan peraturan dan perundang-undangan yang merespons terorisme.
Dibutuhkan suatu perubahan yang komprehensif dan sistematis, yang menandakan
bahwa isu terorisme ini adalah isu prioritas yang harus ditangani secara
serius.
Di sisi lain, upaya
perubahan ini juga harus dimobilisasi dengan adanya perubahan pada sektor
pelayanan publik sehingga diharapkan adanya perbaikan kualitas penyediaan
keamanan dan kesejahteraan oleh negara. Karena bagaimanapun, terorisme adalah
masalah multisektor.
Untuk itu, blunder dan
perdebatan ego sektoral TNI-Polri seharusnya segera disudahi. Pemerintah dan
DPR sudah seharusnya memformulasikan aspek-aspek mutakhir dari persoalan
terorisme. Seperti persoalan teroris siber, teroris maritim, teroris biologi,
teroris pejuang asing, dan pelatihan paramiliter terselubung yang selama ini
tidak bisa direspons melalui undang-undang konvensional yang ada saat ini.
Totalitas peran negara dapat terlihat dari formulasi hukum yang menjadikan
terorisme sebagai kejahatan luar biasa dan harus ditangani dengan cara-cara
luar biasa. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar