Pertaruhan
Politik Representasi
Antony Lee dkk ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
18 Desember
2017
”Kedaulatan
rakyat berarti pemerintahan rakyat, yang dilakukan oleh para pemimpin yang dipercaya
oleh rakyat.”
(Mohammad Hatta dalam ”Kedaulatan Rakyat, Pemerintahan Rakyat")
Tahun 2018 dan 2019 akan jadi titik kritis,
tidak hanya bagi masa depan demokrasi, tetapi juga bagi imajinasi
keindonesiaan. Gelombang pemilihan kali ini akan menempatkan bangsa Indonesia
di persimpangan jalan, apakah akan memperkuat imajinasi kebangsaan melalui
politik harapan atau memasuki era pertarungan politik antagonistik yang
zero-sum game untuk memperebutkan kekuasaan belaka?
Pada 27 Juni 2018, pilkada serentak akan
memilih 171 kepala daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih akan
memutakhirkan data pemilih, tetapi data penduduk potensial pemilih pemilu
(DP4) menunjukkan angka sekitar 160 juta orang berpotensi menggunakan hak
suaranya. Masih di 2018, akan ada dua tahapan penting Pemilu 2019:
pendaftaran calon anggota legislatif pada Juli 2018 serta pendaftaran calon
presiden dan wakil presiden pada Agustus 2018. Pemilu serentak DPR, DPD, DPRD
provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta presiden dan wapres akan berlangsung
pada 17 April 2019.
Sebagai sebuah proses demokrasi, pemilu di
Indonesia menghabiskan biaya tidak sedikit. Tiga gelombang pilkada, yakni
2015, 2017, dan 2018, diperkirakan menghabiskan sekitar Rp 26 triliun.
Sementara Pemilu 2019 diproyeksikan menghabiskan dana Rp 16 triliun-Rp 19
triliun. Dari aspek prosedur elektoral, Indonesia sudah menjalankan pemilu
yang relatif bersih dan adil. Hal ini terlihat dari berbagai pengakuan
lembaga di dalam dan luar negeri atas proses dan transparansi proses pemilihan.
Dengan tren ini, pada tahun 2018 dan 2019 boleh jadi aspek ini tidak akan
banyak bermasalah.
Namun, tantangannya ialah apakah hal itu
juga diikuti dengan primanya aspek demokrasi substansial. Salah satu hal
penting ialah apakah kontestasi antarkandidat berlangsung dalam konteks
agonistik? Politik agonistik mensyaratkan pertarungan gagasan dan ide yang
saling membangun, saling memperkuat, karena berlangsung di antara ”lawan”.
Ini berkebalikan dengan politik antagonistik yang bersifat habis-habisan
alias zero-sum game. Pihak lain dianggap ”musuh” yang harus dikalahkan, tidak
jarang dengan cara apa pun karena persaingan dilihat secara biner; saya
menang dan kamu kalah, atau sebaliknya.
Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 akan
menyita perhatian dunia internasional. Hal ini sebagai implikasi dari
menguatnya politik identitas pada saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur
DKI Jakarta tahun 2017. Saat itu, pilkada berlangsung secara antagonistik.
Alih-alih meluruh, fragmentasi itu saat ini masih terus ”terjaga”. Pembelahan
identitas kelompok; ”kami” dan ”kamu”, masih terasa begitu kental di berbagai
forum, baik di dunia dalam jaringan (daring) maupun luar jaringan (luring).
Pembelahan ini masih berpotensi berlangsung pada tahun 2018 dan tahun 2019.
Bumbu untuk menuju pertarungan politik identitas masih ada, tinggal melihat
apakah aktor-aktor politik akan menggunakannya atau tidak.
Kontrak
politik
Idealnya, pemilu jadi ajang membuat atau
memperbarui kontrak politik di antara dua pihak. Di satu pihak masyarakat
yang punya hak pilih dan punya ”harapan” yang hendak dititipkan ke kandidat
dan di pihak lain ialah kandidat yang menawarkan program yang bisa memenuhi
harapan rakyat. Kandidat yang dipilih mendapatkan mandat untuk menjalankan
pemerintahan atas nama rakyat yang memilihnya. Selama lima tahun, kandidat
terpilih bekerja untuk merepresentasikan kemauan rakyat. Jika ia tak lagi
dianggap layak, akan dihukum lima tahun berikutnya oleh rakyat dengan tidak
dipilih kembali.
Hanya saja, apabila keseimbangan itu sudah
dimasuki oleh variabel ”intervensi”, semacam politik uang, intimidasi, atau
politik identitas serta populisme, sulit mencapai logika perwakilan itu.
Maka, untuk mewujudkan gambaran ideal ini dibutuhkan kedewasaan berpolitik
dari masyarakat; pemilih dan kandidat.
Mohammad Hatta dalam Kedaulatan Rakyat,
Pemerintahan Rakyat menyebut hal itu sebagai ”keinsafan politik”. Partai
politiklah yang punya tanggung jawab untuk memberi pendidikan politik bagi
rakyat. Ini karena, menurut Hatta, rakyat yang tak punya keinsafan politik
bisa dengan mudah dibohongi oleh slogan-slogan kandidat. Selain itu, rakyat
yang tak punya keinsafan politik mudah gelisah.
Warga yang melek politik memang menjadi
kebutuhan mendasar dalam demokrasi yang menjunjung prinsip satu orang, satu
suara, satu nilai. Pemilih idealnya punya dua sikap. Pertama, mendukung dan
mengawasi kandidat pilihannya yang menang sehingga kandidat itu bisa
menjalankan amanahnya untuk memenuhi harapan warga. Kedua, legawa, berbesar
hati jika kandidatnya kalah, tetapi tetap mengawasi secara kritis agar
kandidat yang menang bisa bekerja maksimal bagi semua orang, bukan hanya bagi
pemilihnya. Hal itu berarti berani menjewer politisi saat melenceng dari
janjinya, tetapi juga mendukung saat apa yang dilakukannya bertujuan untuk
mewujudkan hal baik.
Hanya saja, memang hal ini lebih mudah
diucapkan dan indah didengar ketimbang dijalankan. Negara yang demokrasinya
lebih ”tua” daripada Indonesia, seperti Amerika Serikat, juga menghadapi
persoalan pembelahan politik. Pada masa pemerintahan Presiden Barack Obama,
misalnya, kubu kontra selalu menganggap pemerintahan Obama selalu salah.
Bahkan, yang lebih parah, berusaha menghalang-halangi agar pemerintah tak
bisa bekerja prima sehingga bisa ditumbangkan pada pemilihan berikutnya.
Implikasi pembelahan politik yang tajam membuat konsensus tak tercapai dalam
pembahasan anggaran pada tahun 2013. Akibatnya, AS sempat menghadapi
penghentian pemerintahan federal selama dua pekan.
Representasi
politik
Memang tak mudah mewujudkan masyarakat yang
kritis, tetapi tetap berpandangan terbuka demi menjaga imajinasi bangsa.
Salah satu tantangan terbesarnya ialah defisit representasi. Politisi yang
dipilih masyarakat untuk menduduki jabatan-jabatan publik belum banyak yang
menjalankan fungsi representasinya. Pada akhirnya menimbulkan kekecewaan.
Merebaknya korupsi di DPR menjadi salah
satu indikatornya. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, dari total 670
tersangka kasus korupsi yang ditangani komisi itu sejak 2004 hingga akhir
2017, sebanyak 134 tersangka berlatar belakang anggota legislatif di pusat
dan daerah. Korupsi berarti wakil rakyat bekerja untuk diri sendiri atau
kelompoknya, bukan representasi kepentingan rakyat. Selain itu, sikap
legislatif juga tak jarang bertentangan dengan kehendak rakyat. Misalnya,
berbagai gelombang upaya DPR untuk merevisi UU KPK yang diduga akan
melemahkan KPK. Belum lagi kinerja legislasi yang tak memenuhi target.
Sepanjang 2017, sejumlah kepala daerah juga
harus diproses hukum. Bahkan, hanya dalam dua bulan, yaitu pada Agustus
hingga September 20117, empat kepala daerah harus diproses hukum karena
diduga korupsi. Mereka adalah wali kota Tegal (Jawa Tengah), wali kota Batu
dan bupati Pamekasan (Jawa Timur), serta bupati Batu Bara (Sumatera Utara).
Sejumlah alasan sering disampaikan terkait
penyebab korupsi ini, seperti tingginya biaya politik. Hal itu sering kali
dikaitkan dengan pilkada dan pemilu yang digelar secara langsung. Calon
terpilih adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dari pemilih.
Namun, upaya untuk mengurangi biaya politik
ini terkesan kurang serius dilakukan. Saat pembahasan RUU Pemilu, misalnya,
waktu dan energi lebih banyak dihabiskan untuk membahas masalah
praktis-politis, seperti syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, ambang
batas parlemen, serta jumlah kursi setiap daerah pemilihan.
Sebaliknya, persoalan seperti bagaimana
membangun sistem kaderisasi dan transparansi keuangan di internal parpol
relatif kurang mendapat perhatian. Padahal, hal itu akhirnya tak hanya dapat
mengurangi biaya politik, tetapi juga akan meningkatkan kualitas parpol dan
kepercayaan kepada politisi.
Kondisi itu menjadi penting karena Olle
Törnquist dkk dalam Penyebab Kemandekan dan Jalan Menuju Demokratisasi 2.0
yang diterbitkan Jurnal Prisma (2017) menyebutkan, demokrasi Indonesia yang
sempat dipuji karena pada awal reformasi berkembang pesat, sejak beberapa
tahun terakhir mengalami stagnasi. Penelitiannya menunjukkan mandeknya
kualitas lembaga-lembaga penting yang menangani urusan kewarganegaraan, hukum,
serta tata kelola pemerintahan dan perwakilan. Kepercayaan terhadap sistem
hukum dan parpol mapan dan politikus juga sangat lemah.
Kekecewaan terhadap kondisi ini bisa
membuat warga rentan terbujuk mendukung calon-calon populis yang membelah masyarakat;
yakni antara orang baik yang berhadapan dengan elite korup. Calon populis ini
juga tidak sungkan menggunakan isu politik identitas untuk meraih kekuasaan.
Jika hal ini muncul pada Pilkada 2018 dan
Pemilu 2019, jalinan imajinasi kebangsaan yang berdasar pada persamaan
sejarah, keinginan untuk hidup bersama, dan tujuan bersama bisa
terkoyak-koyak dengan diskursus ”kamu” dan ”kami”. Imajinasi kebangsaan yang
rusak pada akhirnya akan membuat titik pijak bersama sebagai bangsa akan
rapuh.
Jadi, pada jalan yang mana bangsa kita akan
berada tahun-tahun mendatang? Jawabannya ada di pilihan kita…. ●
|
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |