Berharap
pada Perdagangan
Candra Fajri Ananda ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis,
Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 18 Desember 2017
KINERJA perdagangan internasional Indonesia
pada tahun ini menunjukkan adanya perbaikan yang cukup berarti. Kita mampu
konsisten untuk terus menjaga agar neraca perdagangan tetap mendapatkan
surplus. Selama Januari–November 2017, total neraca perdagangan kita surplus
USD12,02 miliar. Jika dibandingkan dengan neraca perdagangan dalam periode
yang sama 2016, nilai surplus perdagangan kita tumbuh sekitar 41,64%.
Perhitungan transaksi terakhir pada November
kemarin, kita mendapatkan surplus perdagangan USD130 juta. Kalau dibandingkan
dengan perolehan laba perdagangan pada Oktober, memang angkanya lebih kecil
karena sebelumnya kita surplus USD900 juta.
Akan tetapi hal tersebut tidak mengaburkan
adanya sinyalemen positif bahwa masih ada harapan untuk menggenjot target
pertumbuhan hingga akhir tahun ini. Nilai ekspor kita tetap meningkat
meskipun laju pertumbuhannya masih di bawah nilai impor.
Nah, yang sedikit melegakan, ternyata
kenaikan nilai impor kita ditunjang pertumbuhan permintaan barang modal yang
berpotensi mendorong investasi dan produksi. Permintaan impor bahan
baku/penolong juga tetap tumbuh.
Di luar itu, harga komoditas andalan serta
minyak bumi dan gas (migas) menunjukkan tren yang juga membaik. Nilai ekspor
migas kita selama Januari–November 2017 meningkat sebesar 19,93% bila dibandingkan
dengan periode yang sama pada 2016.
Sementara itu nilai ekspor nonmigas pada
kurun yang sama secara agregat juga meningkat sebesar 16,89%. Pertumbuhan
terbesar terjadi di sektor pertambangan dan lainnya yang meningkat sekitar
34,38%. Adapun kekuatan utama ekspor nonmigas masih dipegang sektor industri
pengolahan yang menyumbang 74,51% dari total ekspor Indonesia pada 2017.
Ketika posisi perkembangan nilai ekspor dan
impor (khususnya impor untuk kepentingan produksi) begitu menggairahkan, peran
perdagangan diyakini akan sangat signifikan untuk membantu agregat
pertumbuhan kita agar tercapai di interval 5,1–5,2%. Kenaikan neraca
perdagangan menunjukkan bahwa kondisi perekonomian kita sedang dalam masa
yang baik.
IMF juga telah mengoreksi pertumbuhan
ekonomi dunia menjadi lebih baik. Hal ini menjelaskan bahwa situasi ekonomi
regional dalam kondisi yang positif.
Sinyal tersebut tentu cukup menguntungkan
bagi Indonesia yang tengah berusaha menggenjot ekspor. Tidak perlu lagi ada
keraguan untuk menggenjot pedal gas lebih dalam agar perekonomian kita bisa
melesat seperti yang diharapkan pemerintah selama ini.
Namun kita jangan lantas terbuai dengan
proyeksi-proyeksi perekonomian ke depan. Target yang ingin dicapai harus
dilestarikan dengan cara-cara yang logis dan membumi. Misalnya Indonesia
melakukan perluasan dengan membangun jaringan-jaringan pasar baru yang cukup
potensial.
Jaringan Afrika, Jazirah Arab, kawasan
Amerika Latin, dan rumpun Australia menjadi pasar potensial yang layak kita
garap. Tren cara kerja sama yang sedang booming justru kerja sama dalam
bentuk bilateral, termasuk melalui FTA (free trade agreement) maupun EPA
(economic partnership agreement).
Era open economy multilateral tidak lagi
diminati seperti masa sebelumnya karena banyak diwarnai ketidakpastian
tingkat tinggi (high uncertainty). Apalagi tingkah laku Presiden Amerika
Serikat Donald Trump yang cenderung atraktif membuat politik luar negeri
antarnegara menjadi ikut-ikutan fluktuatif.
Melalui skema perdagangan bilateral,
beberapa poin-poin kerja sama antarkedua pihak malah dapat dibicarakan dengan
semakin lugas. Namun tetap saja selalu ada sisi positif dan negatif dari
suatu bentuk kerja sama.
Kemampuan melobidan mengatur strategi kerja
sama akan sangat krusial untuk menentukan bentuk perdagangan yang saling
menguntungkan. Strategi pembangunan ekonomi domestik juga turut menjadi
kunci.
Pertama, transmisi kebijakan moneter dan
fiskal perlu mengarah pada upaya untuk menjaga nilai kurs serta tingkat suku
bunga agar tetap stabil. Fluktuasi kurs rupiah yang perubahannya sempat
begitu drastis ternyata amat mengganggu jalannya roda perekonomian karena
memaksa para pelaku ekonomi hidup di dalam iklim spekulasi tingkat tinggi.
Ketika kurs rupiah melemah/menguat seketika,
proyeksi keuntungan yang akan didapat juga cenderung bias sehingga banyak
pengusaha yang memilih menahan tingkat produksinya hingga proyeksi
perekonomian lebih terang-benderang. Apalagi sektor industri pengolahan
selaku lapangan usaha utama dari sisi kontribusi pembentukan PDB memiliki
kendala dengan ketergantungan yang cukup tinggi terhadap suplai bahan
baku/penolong dan barang modal dari luar negeri. Sektor industri sangat
diharapkan mampu berproduksi secara kontinu dan terus meningkatkan
kualitasnya untuk memenuhi permintaan pasar luar negeri.
Tingkat suku bunga juga tidak kalah penting
karena memengaruhi tarik-ulur minat investasi para pemodal baik yang berasal
dari dalam negeri maupun luar negeri. Dari sisi yang lain tingkat suku bunga
juga menjadi insentif bagi investor untuk meningkatkan kapasitas
permodalannya melalui kredit perbankan sehingga jika pemerintah ingin
kegiatan perdagangan ini berjalan dengan lancar dan berjangka panjang, para
pemangku kebijakan di dalamnya harus mampu menjaga stabilitas nilai kurs
rupiah serta tingkat suku bunga agar tetap terawat dengan baik. Begitu
persepsi pemodal mengenai investasi masih dalam situasi yang progresif,
mereka akan berbondong-bondong menanamkan modalnya untuk aktivitas produksi
dan perdagangan.
Kedua, pemerintah perlu menjaga agar
kebijakan publiknya tetap linier dengan effort untuk terus meningkatkan
kualitas iklim investasi. Setelah infrastruktur dibangun dengan susah payah
dan berdarah-darah, tindakan berikutnya adalah menjamin agar pelayanan
birokrasi mampu menjadi lebih baik.
Keduanya selama ini menjadi kambing hitam
utama atas tingginya biaya transaksi dan biaya agregat untuk aktivitas
perdagangan di dalam negeri. Kita menjadi sulit bersaing karena ongkos
jual-beli kita termasuk yang paling besar di tingkat ASEAN.
Dari Logistic Performance Index (LPI) 2016
yang dirilis World Bank (2016), daya saing biaya logistik kita berada di
peringkat ke-63 dunia dan di bawah negara ASEAN lainnya seperti Singapura,
Malaysia, dan Thailand. Kita berharap peringkat LPI kita tahun depan bisa
meningkat seiring melonjaknya jumlah infrastruktur yang terus dikembangkan.
Syukur-syukur jika jumlah infrastruktur yang
dikembangkan di luar Pulau Jawa betul-betul membawa efek pemerataan
pembangunan yang lebih baik sehingga nantinya semakin banyak pelaku usaha
yang terlibat di dalam pembangunan ekonomi Indonesia.
Nah, terkait dengan biaya transaksi dari
sisi birokrasi, pemerintah harus mulai menampakkan hasil dari belasan paket
deregulasi kebijakan ekonomi yang dirilis secara bertahap dalam dua tahun
terakhir. Selama ini proses birokrasi yang berbelit-belit memaksa banyak
investor mulai dari kelas kakap hingga kelas teri untuk rela mengeluarkan
biaya ekstra.
Pemerintah daerah juga perlu ditertibkan
karena keluhan dari investor juga tidak kalah bising ketika mengurus proses
perizinan usaha di daerah-daerah. Meskipun daerah dituntut untuk bisa mandiri
melalui peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) yang salah satunya diterima
melalui retribusi perizinan, jangan sampai calon investor dijadikan sebagai
wahana eksploitasi.
Potensi buruk berikutnya, yaitu budaya
sogok-menyogok agar proses administrasi perizinannya dipermudah, akan semakin
sulit dilibas. Pemerintah daerah seharusnya memiliki frame yang lebih luas
soal kehadiran investor di daerahnya.
Mereka (para investor) inilah mitra yang
ideal bagi pemerintah untuk memacu pembangunan makroekonomi di daerahnya.
Dengan demikian seharusnya justru mereka ini perlu diberi paket insentif yang
layak agar usahanya semakin berkembang. Jangan sampai mereka nanti malah
kabur ke daerah atau bahkan negara lain yang menawarkan insentif lebih besar.
Ketiga, ketika sarana dan prasarana
infrastruktur serta layanan publik sudah semakin baik, berikutnya pemerintah
perlu mengajak sektor swasta untuk fokus mengembangkan sektor-sektor
potensial yang paling layak untuk diperjualbelikan. Kita harus legawa bahwa
kita tidak bisa memproduksi input-input produksi secara keseluruhan. Karena
tiap negara memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif
masing-masing.
Dalam sudut pandang politik perdagangan
antarnegara, hal ini juga diperlukan agar tiap negara sama-sama memiliki
insentif yang sama untuk merawat kerja sama. Nah, berdasarkan potensi ekonomi
lokal yang dimiliki Indonesia, praktis sektor industri dan pertanian (dalam
arti luas) yang paling layak dikedepankan.
Pemerintah beserta sektor swasta kemudian
secara bersama-sama mulai berembuk mengenai faktor-faktor apa saja yang selama
ini membelenggu usahanya. Selain persoalan infrastruktur dan kelembagaan,
hambatan besar lainnya mungkin muncul dari jumlah tenaga kerja terampil.
Sektor industri mungkin terhambat oleh skill
tenaga kerja yang kurang sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Indikasinya
terlihat dari melubernya jumlah pengangguran dari lulusan SMK yang seharusnya
menjadi tenaga terampil siap pakai. Sementara sektor pertanian juga
menghadapi kelangkaan SDM karena faktor upah dan daya tawar sosial yang
kurang menarik, khususnya bagi tenaga kerja berusia muda. Inilah tantangan
bagi pemerintah di sektor teknis lapangan usaha.
Keempat, pemerintah perlu memperhatikan agar
mekanisme pengelolaan kebijakan fiskal tidak membuat sektor riil menjadi
diminishing return. Kebijakan fiskal ibaratnya memiliki 2 ujung mata pedang.
Yang satu bersifat regulatif, yang satunya lagi bersifat fasilitatif.
Bersifat regulatif jika lebih banyak
berfungsi mengatur alokasi yang lebih baik di antara pelaku ekonomi,
sedangkan bersifat fasilitatif mengarah pada memberikan layanan yang lebih
baik untuk mendorong kinerja pelaku ekonomi menjadi lebih impresif. Misalnya
dalam menjalankan kebijakan fiskal, terutama kebijakan perpajakan. Walaupun
target pajak relatif cukup berat dicapai untuk mendanai sebagian besar proyek
pembangunan, jangan sampai para pelaku usaha lagi-lagi dikejar dengan
pembebanan pajak yang memberatkan.
Alangkah lebih baiknya jika pemerintah lebih
memilih langkah-langkah perbaikan, terutama pada sisi administrasi
perpajakan, sambil terus meningkatkan kualitas SDM. Potensi jumlah wajib
pajak kita juga masih cukup luang untuk mencapai tingkat kepatuhan yang
optimal. Karena saat ini dari total jumlah tenaga kerja yang mencapai 121,02
juta jiwa, baru 36 juta di antaranya yang memiliki nomor pokok wajib pajak
(NPWP).
Kuncinya terletak pada kearifan pemerintah
dalam mengelola sumber daya dalam implementasi kebijakan fiskal ini.
Bagaimana kebijakan ini mampu mendorong perdagangan, memperluas pasar, serta
menemukan pasar-pasar baru yang diharapkan menopang perdagangan Indonesia.
Tanpa kerja sama yang baik antarlembaga dan kementerian pemerintah, hasil
terbaik hanya omong kosong untuk diraih. Melalui kepemimpinan yang baik serta
reformasi birokrasi yang secara konsisten dilakukan, kita berharap geliat
perdagangan akan menjadi basis perekonomian Indonesia. ●
|
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |