Tahun
Politik dan Geopolitik
Muhammad Farid ; Fellow pada Lembaga Ketahanan Nasional Republik
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Desember 2017
TIDAK terasa, tahun 2017
sudah mendekati senjakala. Berbagai tantangan, ancaman, sekaligus pencapaian
telah dilalui bangsa Indonesia dengan segala romantika di baliknya. Terlepas
dari berbagai gejolak apa pun yang dialami sepanjang tahun ini, tentunya kita
patut bersyukur kepada Tuhan YME bahwa hingga detik ini situasi nasional
secara keseluruhan masih stabil.
Hanya dalam hitungan hari,
kita akan memasuki tahun 2018. Inilah tahun yang oleh sebagian kalangan
disebut-sebut sebagai ‘tahun politik. Betapa tidak, di tahun itu akan
diselenggarakan 171 pilkada yang mencakup 17 provinsi, 39 kota, dan 115
kabupaten. Tiga pilkada di antaranya akan memilih pasangan gubernur dan wakil
gubernur di provinsi dengan penduduk paling padat di seantero Nusantara,
yaitu Jabar, Jateng, dan Jatim.
Tidak hanya itu, tahun
2018 juga merupakan tahun persiapan memasuki pemilihan legislatif sekaligus
pemilihan presiden tahun 2019. Rangkaian 171 pilkada itu pun disebut-sebut
sebagai ‘pemanasan’ menjelang Pemilu 2019. Oleh karena itu, tidak
mengherankan apabila sebagian pihak kemudian menganggap bahwa tahun 2018
merupakan tahun yang perlu mendapat perhatian khusus. Hal ini dibutuhkan agar
proses-proses politik yang akan ditempuh nantinya dapat berjalan sesuai
koridor Empat Konsensus Dasar, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI,
dan UUD NRI 1945.
Tentunya, kita berharap
agar berbagai perhelatan politik di tahun depan hingga tahun 2019 tidak
mengganggu kesatuan dan kebersamaan bangsa. Untuk itu, diperlukan kewaspadaan
terhadap berbagai dinamika yang terjadi, baik di dalam maupun luar negeri.
Dinamika
geopolitik
Pembukaan konstitusi
Indonesia (UUD NRI 1945) secara jelas mencantumkan RI ‘ikut melaksanakan
ketertiban dunia’. Artinya, Indonesia menyadari bahwa dirinya ialah bagian
konstelasi global dengan segala dinamikanya. Lebih jauh, frasa ‘ikut
melaksanakan ketertiban dunia’ itu sebenarnya menyiratkan bahwa RI harus
menyadari posisinya dalam konstelasi dunia, baik dalam konsepsi ruang,
konsepsi frontier (batas imajiner dari dua negara), konsepsi kekuatan
politik, dan konsepsi keamanan negara.
Dalam konteks tertentu,
keempat hal itu merupakan unsur-unsur dalam ‘geopolitik’ yang secara umum
dipahami sebagai letak geografi suatu negara dalam kaitannya dengan posisinya
dalam konstelasi politik dan hubungan internasional. Betapa pentingnya
pemahaman geopolitik bagi kepentingan nasional. Hal ini menjadi pembahasan
para pendiri bangsa (founding fathers) pada sidang BPUPKI pada 1945, beberapa
bulan sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Pada saat itu, Ir Soekarno mengutip
buku karya Karl Haushofer berjudul Die Geo-Politik des Pazifischen Ozeans
(Geopolitik dari Samudra Pasifik), yang menegaskan bahwa suatu bangsa harus
mengetahui geopolitiknya untuk menjadi bangsa yang besar.
Lebih jauh, pengajar di FH
UI Kris Wijoyo dalam bukunya yang berjudul Ilmu Negara: Perspektif Geopolitik
Masa Kini menyebutkan bahwa geopolitik mencakup tidak hanya interaksi manusia
dalam suatu hubungan kekuasaan (politik) di dalam suatu ruangan tertentu,
tetapi juga tentang bagaimana aktor utama geopolitik tidak lagi berpusat pada
negara, tapi pada aktor selain negara yang semakin punya peran dan legitimasi
yang tinggi. Selain itu, geopolitik juga berkaitan dengan penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya.
Ketiga hal yang menjadi
cakupan geopolitik itu pernah dialami bangsa Indonesia sebelum dan sesudah
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada abad ke-15 misalnya,
bangsa-bangsa Eropa bergerak untuk menguasai SDA dan jalur-jalur perdagangan
komoditas dari Asia, Amerika, dan Afrika.
Tidak hanya itu, diplomasi
mempertahankan kemerdekaan RI (1945-1949) dan kembalinya Irian Barat ke Ibu
Pertiwi juga dilakukan dengan memerhatikan kondisi geopolitik saat itu yang
sangat dipengaruhi Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin AS dan Blok
Timur yang dipimpin Uni Soviet. Bahkan lepasnya Timor Timur dari RI pada
tahun 1999 pasca-Perang Dingin juga merupakan contoh betapa konstelasi global
saat itu sangat kuat memengaruhi opini internasional sehingga berujung pada
diadakannya jajak pendapat. Berbagai pengalaman itu menunjukkan bahwa
dinamika global suka atau tidak suka dapat memengaruhi stabilitas nasional.
Dalam konteks kekinian,
masih segar dalam ingatan kita bagaimana beberapa bulan lalu kelompok yang
berafiliasi ke ISIS beraksi mengacau wilayah Marawi di bagian selatan Filipina.
Peristiwa ini menunjukkan bagaimana aktor nonnegara transnasional seperti
ISIS dapat mengancam stabilitas nasional. Apalagi mengingat wilayah geografis
RI yang terdiri dari ribuan pulau sehingga jika tidak diwaspadai dapat
menjadi pintu masuk kelompok serupa ke wilayah Indonesia.
Masih banyak lagi gejolak
di dunia internasional yang terjadi saat ini, seperti perebutan pengaruh
antara Tiongkok dan AS, konflik di Timur Tengah yang tidak kunjung usai, isu
rudal Korut, hingga pernyataan Presiden AS Donald Trump yang mengakui
Jerusalem sebagai ibu kota Israel sehingga memicu reaksi keras di berbagai
belahan dunia, termasuk di Indonesia.
Bagaimana dampak dinamika
global itu terhadap stabilitas nasional, baik dalam bidang sosial, ekonomi,
politik, maupun militer, tentunya akan sangat bervariasi dan memiliki banyak
variabel yang menyusunnya. Akan tetapi, pada prinsipnya berbagai gejolak itu
akan sangat memengaruhi situasi dalam negeri Indonesia.
Pada konteks itu terlihat
pentingnya segenap komponen bangsa untuk memerhatikan dinamika global agar
bijak dalam membuat pernyataan, langkah, dan keputusan politik menghadapi
tahun politik yang akan diwarnai rangkaian pilkada dan persiapan menuju
Pemilu 2019. Sebab, suatu pernyataan, langkah, dan keputusan politik yang
dianggap ‘tidak bijak’ sangat rawan untuk dikemas menjadi isu politik yang
dapat memecah kesatuan bangsa, bahkan mengancam integrasi bangsa, terlebih di
tengah pesatnya kemajuan media sosial saat ini.
Pada konteks hubungan
antara kemajuan media sosial dan geopolitik, Jamie Fly dalam wawancaranya
dengan The Diplomat (11 Oktober 2017) mengatakan bahwa media sosial
memungkinkan orang-orang untuk terhubung dan mengorganisasi satu sama lain,
serta melawan keotoriteran. Namun demikian, terdapat pula kekhawatiran bahwa
di beberapa kelompok masyarakat terlihat bahwa media sosial juga mengubah
cara mereka dalam menerima dan memproses informasi sehingga hal ini mampu
membuka peluang bagi berbagai pihak untuk memengaruhi masyarakat dengan
agenda-agenda mereka.
Pandangan Jamie Fly itu
pada tataran tertentu memperlihatkan benang merah antara situasi politik
dalam negeri dan dinamika geopolitik. Kita tentunya tidak menginginkan tahun
politik yang akan datang dimanfaatkan sebagian pihak yang tidak bertanggung
jawab. Tugas kita semua mengawasi dan mewaspadai berbagai dinamika itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar