Kidung
Natal
Daoed Joesoef ; Alumnus Universitas Pluridisciplinaires
Pantheon-Sorbonne
|
KOMPAS,
23 Desember
2017
Menjelang Natal di tahun
1818, Klerikus Joseph Mohr, berusia 22 tahun, menemukan kerusakan cukup parah
dari orgel Gereja St Nicholas. Rumah ibadat ini kecil, terletak di Oberndorf,
sebuah desa di dekat Salzburg, Austria.
Mohr bingung. Kalaupun
montir di Salzburg sanggup mereparasi orgel, berhubung jalan bersalju, begitu
dia tiba di gereja, misa Natal pasti sudah selesai. Bagi pendeta muda ini,
Natalan tanpa kidung yang diiringi alunan musik pasti hambar. Apalagi dia
punya talenta musik.
Mohr berasal dari keluarga
melarat, tetapi tak mau pasrah begitu saja pada nasib. Dia memanfaatkan
talentanya, mencari uang dengan jalan bernyanyi, bermain biola dan gitar di
depan umum, serta mengadakan pertunjukan keliling. Kerja keras dan talentanya
menarik perhatian seorang rohaniwan dan menganjurkan dia untuk masuk
seminari.
Dia dibaptis menjadi
pendeta di tahun 1815 dan ditugaskan di Oberndorf tahun 1817. Di sini dia
tidak hanya memimpin kebaktian sesuai ketentuan religius. Dia menimbulkan
kekaguman di kalangan kongregasinya berkat ketangkasannya bermain gitar dan
kepiawaiannya beralih dari musik rakyat ke aneka himne.
Kidung
bersejarah
Ketika menghadapi masalah
kerusakan orgel inilah Mohr mengunci diri di kamar studinya. Menyadari bahwa
kidung tradisional Natalan tidak akan baik kedengaran apabila didengungkan
melalui petikan dawai gitar, dia memutuskan untuk menciptakan suatu kidung
baru.
Sambil menindih secarik
kertas dengan tangan memegang pena bulu ayam, dia teringat pada satu keluarga
jemaatnya yang baru-baru ini dia kunjungi ketika datang memberkahi bayi
mereka yang baru lahir. Kenangan mengenai ibu yang menyelimuti bayinya agar
tak kedinginan membuat pikiran Mohr melayang ke kelahiran lain dua ribu tahun
yang lalu, kelahiran Kristus, juru selamat manusia.
Dia mulai menulis. Pena
bulu ayamnya bergerak bagai dituntun oleh tangan yang tak kelihatan. Suatu
refrein yang sangat menggugah tampil di atas kertas: ”Stille Nacht, heilige
Nacht”, ”malam kudus, sunyi senyap”. Dia menceritakan mukjizat Natal dalam
enam stanza. Kata-katanya mengalir lancar bagai langsung dari surga.
Waktu semakin mendesak.
Pantun ciptaannya sudah selesai, tetapi masih perlu disiapkan berupa kidung
guna dinyanyikan dalam misa tengah malam. Mohr memutuskan mengunjungi sahabat
karibnya, Franz Xaver Gruber, usia 31 tahun, seorang guru sekolah di dekat Arnsdorf
dan merupakan komponis yang lebih terampil daripada dia sendiri.
Walau hampir tak ada waktu
untuk latihan ala kadarnya, Mohr dan Gruber sepakat tampil bersama. Mohr
memetik gitar dan bernyanyi tenor, sementara Gruber bernyanyi bas. Sesudah
setiap stanza, penyanyi koor gereja akan melantunkan refrein.
Pada tengah malam, di
tengah-tengah hujan salju, para anggota jemaat berdatangan. Mereka kira orgel
sudah direparasi dan bisa mengiringi Kidung Natal yang sudah biasa mereka
nyanyikan dari waktu ke waktu. Namun, Mohr menjelaskan bahwa orgel masih
belum bisa berfungsi. Walaupun begitu, misa tengah malam tetap diadakan
disertai iringan musik. Dia dan Gruber telah menyiapkan suatu Kidung Natal
khusus bagi kongregasi.
Bersamaan dengan bunyi
gitar, suara-suara gabungan mengisi setiap pelosok gereja. Lantunan koor
gereja bergabung secara harmonis pada tiap refrein. Semua anggota jemaat yang
mendengar dengan khidmat sungguh terpesona dan segera mengagumi kidung baru
yang semurni dan sesegar air Pegunungan Alpen. Akhirnya Mohr beralih ke
peringatan misa dan kongregasi berlutut sambil berdoa. Perayaan Natal di
Gereja St Nicholas berakhir memuaskan seperti sediakala. Suatu sukses yang
sungguh tak terlupakan, diucapkan dari mulut ke mulut. Mereka sepakat untuk
mengatakan bahwa kidung tidak hanya baru, tetapi ini baru kidung.
Meninggal
dalam sengsara
Kelompok penyanyi Tyrol
yang secara teratur tampil di berbagai pentas Eropa menambahkan ”Stille
Nacht, heilige Nacht” ke dalam repertoar mereka. Kidung Natal baru ini gemanya
menyeberangi Lautan Atlantik dan memesona Amerika, menyeberangi Lautan Hindia
dan memesona penghuni seluruh penjuru dunia. Kidung ini dinyanyikan dalam
bahasa-bahasa lokal—Swahili, Jepang, Rusia, Korea, China, dan
Indonesia—dengan khidmat sekaligus dengan rasa tenteram, damai, dan gembira.
Beberapa penyanyi tenar pernah menyanyikannya.
Mohr tidak pernah menduga
Kidung Natal yang digubahnya akan mencapai lubuk hati para insan di setiap
pelosok dan penjuru dunia. Dia meninggal dalam kesengsaraan karena pneumonia
pada usia 55 tahun. Ketika Herr Gruber meninggal tahun 1863, hak ciptanya
masih diragukan.
Lama-kelamaan Kidung Natal
sederhana ini terasa punya cukup kekuatan batin untuk mampu menciptakan
kedamaian sejati. Ketika berlaku gencatan senjata dalam Perang Dunia I, para
serdadu Jerman di parit-parit pertanahan mereka mulai menyanyikan ”Stille
Nacht”, segera dijawab oleh para serdadu Inggris dengan lagu ”Silent Night”
dari parit pertahanan mereka. Kata berjawab, gayung bersambut. Anggota setiap
pihak kemudian bermunculan di permukaan medan dengan melambaikan tangan
masing-masing.
Selama perang serupa, di
kamp tawanan Siberia, ketika serdadu Jerman, Austria, dan Hongaria
melantunkan koor ”Silent Night”, komandan Rusia mengatakan kepada para
tawanan dengan bahasa Jerman seadanya bahwa ”… Malam ini, untuk pertama
kalinya selama lebih dari setahun, saya mampu melupakan bahwa Anda dan saya
dianggap bermusuhan….”
Ketika Cekoslowakia
dikuasai oleh Nazi-Jerman tahun 1941, seorang perwira Jerman yang mengunjungi
rumah anak yatim piatu bertanya apakah ada di antara mereka yang mampu
menyanyikan ”Stille Nacht”. Dua anak maju dengan ragu-ragu, sebab di negeri
ini yang berbahasa Jerman biasanya orang Yahudi. Melihat keraguan itu, sang
perwira berkata lembut, ”Jangan takut, bernyanyilah!”
Menjelang Natal di masa
Perang Korea, seorang serdadu jaga Amerika mendengar langkah dari daerah
musuh yang semakin mendekat. Dengan jari siap menembak, dia lihat sekelompok
orang Korea muncul dari kegelapan malam sambil tersenyum. Selagi serdadu
Amerika itu terbengong-bengong menyaksikan sikap musuhnya itu, mereka
bernyanyi ”Silent Night” dalam bahasa Korea, khusus untuk dia, seorang
Amerika. Sesudah itu mereka mundur kembali, menyatu dengan kegelapan.
Suasana syahdu berkat sinergi
kekuatan syair dan melodi Kidung Natal rupanya meresapi lubuk hati mereka,
tak beda dengan suasana lubuk kalbu insan di seluruh dunia ketika seorang
pendeta dan guru sekolah melantunkan Kidung Natal untuk pertama kalinya, 193
tahun lalu.
Malam kudus, sunyi senyap…
Selamat Natal dan Tahun Baru…. ●
(Bahan tulisan ini
diperoleh dari berbagai sumber otentik, di antaranya Per Ola dan Emily
d’Aulaire)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar