Golkar
Pasca-Novanto
Arya Fernandes ; Peneliti Departemen Politik dan Hubungan
Internasional CSIS
|
KORAN
SINDO, 16 Desember 2017
SETELAH polemik
penyelenggaraan Munaslub yang sempat menyita perhatian elite dan publik,
beberapa waktu lalu, Rapat Pleno Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar akhirnya
secara aklamasi menunjuk Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar
menggantikan Setya Novanto. Pelantikan secara resmi rencananya akan
dilaksanakan pada Munaslub, 19-20 Desember 2017. Apa tantangan Airlangga ke
depan dalam membenahi partai? Aspek apakah yang perlu dibenahi? Dan bagaimana
prospek politik Golkar dalam Pemilu 2019 mendatang?
Mengapa Golkar menjadi
penting dalam politik Indonesia hari ini?
Selain posisi politik partai
sebagai salah satu kekuatan politik kedua di DPR RI, Golkar adalah partai
yang mewakili wajah keindonesiaan kita. Di internal Golkar, ruang pemisah
berdasarkan primordialisme tak lagi menjadi isu. Pluralisme politik dan
keagamaan mewarnai perjalanan politik Golkar sejak lama. Orang dari beragama
latar belakang sosial-keagamaan dapat berkarier di partai tanpa ada sekat
pembatas. Dan hingga kini Golkar bisa mengelola perbedaan latar belakang
sosial-keagamaan itu dengan baik.
Dari sisi kepemimpinan
internal, pimpinan politik partai Golkar bukan mewakili trah politik
tertentu. Tidak ada kelompok atau trah
yang diidentifikasi memiliki pengaruh dan dominasi yang kuat di
internal partai. Semua kekuatan politik di internal Golkar relatif seimbang.
Perubahan dan rotasi kekuatan politik yang terjadi begitu cepat di internal
Golkar menyebabkan perilaku politik partai menjadi cair dan cepat beradaptasi
dengan perubahan. Kondisi tersebut menyebabkan tidak ada faksi politik
tertentu yang bisa mendominasi partai dalam waktu yang cukup lama. Dalam
setiap rotasi politik, hampir selalu ada akomodasi terhadap faksi politik
lain.
Pembenahan
Dalam jangka pendek dan
menengah, terutama menjelang Pemilukada Serentak 2018 dan Pemilu 2019
mendatang, Golkar perlu menyiapkan beberapa rencana pembenahan internal.
Dari sisi kelembagaan partai, saya kira perlu dilakukan rotasi dan
reshuffle kepengurusan terutama di DPP
dan Badan Pemenangan Pemilu. Struktur kepengurusan Golkar diharapkan dapat
mewakili tagline Airlangga yang ingin membawa Golkar sebagai partai yang
bersih dan berintegritas.
Selain itu, pembenahan
dalam hal proses rekrutmen elite dan kepala daerah juga mendesak dilakukan.
Selama ini sepertinya ada kecenderungan bahwa faktor kekuatan finansial tokoh
cukup memengaruhi proses penentuan kandidat dalam pilkada. Ke depan,
menjelang pendaftaran calon kepala daerah dan rekrutmen caleg, desain
kandidasi perlu mengedepankan prinsip keterbukaan, kompetensi, jenjang
karier, dan peluang kemenangan dalam kontestasi politik.
Dari sisi imej, imej
Golkar baru, bersih, dan berintegritas yang menjadi jargon Airlangga harus
diadopsi menjadi kebijakan dan identitas Partai Golkar. Kebaruan dan bersih
itu harus terlihat dalam proses rekrutmen kepala daerah dan calon legislatif
serta jabatan-jabatan strategis lainnya, seperti ketua DPR dan sekretaris
jenderal partai serta pengurus teras partai baik di pusat maupun di daerah.
Dalam satu dekade
terakhir, Golkar seperti kehilangan ruh dan jati diri yang membuat Golkar
bisa bertahan dalam situasi politik apapun. Mengembalikan ruh itu penting
dilakukan kepengurusan baru untuk kepentingan politik jangka panjang Partai
Golkar. Proses rekrutmen partai harus mendasarkan kepada AD/ART melalui
kebijakan PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Terpercaya) Golkar harus mengembalikan ruh politiknya
yaitu semangat karya dan kekaryaan. Golkar selalu bisa bertahan dengan
kebaruan ide, gagasan, dan program. Di zaman Akbar Tanjung, Golkar mengusung
Pembaruan Partai Golkar.
Golkar harus dekat dengan
rakyat karena di situ adalah jantungnya. Semakin Golkar jauh dengan suara dan
persepsi rakyat, semakin Golkar akan kesulitan untuk bisa mendorong
perubahan. Ruh politik kedua adalah kaderisasi. Golkar tidak lagi bisa
mencetak elite politik instan. Golkar harus mengembalikan rotasi dan
sirkulasi elite berdasarkan proses kaderisasi dan pematangan yang panjang.
Sumber-sumber kaderisasi harus dihidupkan kembali seperti organisasi
kemahasiswaan dan organisasi-organisasi lainnya.
Ruh selanjutnya adalah
inovasi. Golkar ke depan harus melahirkan inovasi politik—terutama misalnya
dalam proses rekrutmen caleg atau misalnya dalam hal fundraising
politik.
Evaluasi
Kepartaian
Evaluasi jaringan politik
sangat mendesak dilakukan oleh Partai Golkar. Golkar tidak bisa lagi
bernostalgia dengan kebesaran partai di masa Orde Baru. Perubahan politik dan
perubahan perilaku pemilih menyebabkan Golkar tidak lagi bisa bergantung pada
jaringan lamanya, seperti ABRI dan birokrat. Sekarang Golkar dituntut bisa
melebarkan sayap partai ke depan. Dalam empat pemilu terakhir, Golkar gagal
membentuk basis baru pemilih baru. Dari sisi usia misalnya, survei terakhir
CSIS Agustus 2017 lalu menunjukkan 42,2% pemilih Golkar adalah pemilih yang
berumur di atas 50 tahun. Sementara dari sisi pendidikan, Golkar masih
mengandalkan pemilih dengan tingkat pendidikan rendah.
Pendekatan yang strategis
ke pemilih muslim juga penting dilakukan. Dalam dua pemilu terakhir, hubungan
Golkar dengan ormas Islam relatif tidak begitu kuat. Sayap-sayap keagamaan
partai juga tidak berperan cukup kuat. Penunjukan orang yang mempunyai relasi
dan jejak historis dengan organisasi Islam perlu menjadi diperhatikan,
terutama dari NU dan Muhammadiyah.
Selain itu, pendekatan ke
pemilih milenial harus menjadi pembicaraan serius di internal partai. Survei
CSIS terhadap generasi milenial yaitu pemilih yang berusia 17-29 tahun
menunjukkan rendahnya dukungan terhadap Golkar dibandingkan tiga partai
lainnya. Sebesar 26,5% pemilih milenial mengaku akan memilih PDIP ketika dilakukan survei, disusul Gerindra
(17,8%), Demokrat (13,7%), Golkar (10,7%) dan Perindo (4,5%)—sebagai lima
besar partai yang didukung milenial. Rendahnya dukungan milenial kepada
Golkar ini tentu harus menjadi evaluasi bagi Golkar, mengingat Golkar
mempunyai sejumlah organisasi sayap partai yang menggarap segmen pemilih
muda, seperti Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) dan Angkatan Muda
Partai Golkar (AMPG).
Penetrasi Golkar ke sosial
media juga perlu dipikirkan secara serius, dalam 5-10 tahun ke depan, secara
politik pengaruh generasi milenial pengguna media sosial akan mengalami
penguatan. Saat ini misalnya, sekitar 50,3% generasi milenial menjadikan
aplikasi sosial media sebagai rujukan utama dalam mencari informasi. Dan
sekitar 81,7% generasi milenial juga mengaku memiliki akun Facebook.
Dari sisi target massa dan
geografi politik, Golkar dapat kembali ke daerah-daerah basis partai. Jawa
Barat adalah salah satu kunci bagi suara Golkar. Dalam pemilu legislatif 2014
lalu, dari 14,75% suara Golkar secara nasional, 20% di antaranya disumbang
dari Jawa Barat. Perhatian dan sentuhan ke Jabar dapat membantu kenaikan
elektoral Golkar pada tingkat nasional.
Sebagai ketua umum baru,
Airlangga diharapkan dapat mengambil momentum ini untuk membenahi partai
Golkar secara serius. Tagline sebagai
partai bersih dan berintegritas yang diimpikan oleh Airlangga, harus dijaga
momentumnya hingga pemilu mendatang. Sekarang, Golkar tidak punya waktu yang
banyak untuk berbenah pascakasus hukum yang membelit mantan ketum dan
sejumlah kepala daerah. Untuk itu, penguatan dari sisi kebijakan, program,
struktur partai harus mencerminkan semangat menjadikan Golkar sebagai partai
bersih dan berintegritas. Dengan begitu, setidaknya publik mulai bisa
memberikan harapan bagi Golkar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar