Peran
Indonesia untuk Palestina
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Pengamat Politik Timur
Tengah dan Dunia Islam
|
KOMPAS,
29 Desember
2017
Kebijakan Presiden Amerika
Serikat Donald Trump, yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan
akan memindahkan kedutaan AS ke kota suci tersebut, terasa sangat menohok.
Di satu sisi kebijakan ini
secara terang-terangan mengabaikan sejumlah ketentuan dunia, seperti Resolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 181 (1947) yang menetapkan Jerusalem sebagai
kota Internasional, Resolusi 252 PBB (1968) yang meminta Israel menghentikan
semua aktivitasnya di Jerusalem, Resolusi 298 PBB (1971) yang menyatakan
segala tindakan Israel untuk mengubah status Jerusalem adalah melanggar
hukum, dan sejumlah ketentuan lainnya.
Adalah benar kebijakan
Trump di atas sesuai dengan UU yang telah disahkan di AS pada 1995 terkait
kedutaan Jerusalem (sebagaimana dimuat dalam pidato Trump). Adalah benar
bahwa Trump dan pendukungnya meyakini bahwa kebijakan itu demi kepentingan
nasional AS. Dan mungkin benar kebijakan tersebut menguntungkan Trump secara
politik domestik AS, khususnya saat Trump mulai terdesak secara politik
akibat dugaan skandal pemenangan dirinya dalam pilpres lalu.
Namun, sebagai presiden
negeri adidaya, sejatinya Trump tidak hanya berpegangan pada UU yang berlaku
di negaranya, tetapi juga pada sejumlah ketentuan yang berlaku di dunia,
khususnya melalui resolusi PBB. Trump juga harus memikirkan kepentingan,
kedamaian. dan ketertiban dunia. Apalagi AS selama ini banyak memprakarsai
sejumlah inisiatif perdamaian, termasuk menjadi salah satu mediator upaya
penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Perang
saudara
Di sisi lain, kebijakan Trump
itu diumumkan di tengah terjadi pelbagai macam perang saudara dan persoalan
pelik yang melanda sejumlah negara di Timur Tengah (Timteng), khususnya
pasca-Musim Semi Arab. Padahal, negara-negara itu selama ini menjadi sandaran
sekaligus ”keluarga besar” bagi Palestina. Ini menjadikan Palestina tak
ubahnya anak yatim piatu.
Mesir yang selama ini
selalu berada di garda terdepan dalam membela Palestina belakangan dilanda
persoalan ekonomi dan keamanan yang sangat serius. Suriah porak-poranda
akibat perang saudara berkepanjangan. Begitu juga Libya dan Yaman. Situasi
lebih kurang sama dialami Irak setelah serangan AS pada 2003 hingga bagian
cukup besar wilayahnya sempat dikuasai kelompok militan Negara Islam di Irak
dan Suriah (NIIS) meski Irak berhasil merebut wilayahnya kembali dan
mengumumkan kemenangan atas NIIS.
Sementara Arab Saudi,
Qatar, Turki, dan Iran berada dalam posisi saling kunci, khususnya terkait
dengan persoalan perang di Suriah dan perang di Yaman. Dalam perang di
Suriah, negara-negara ini (terkecuali Iran) sempat berada dalam satu barisan
mendukung kelompok revolusi anti-Bashar al-Assad bersama sejumlah negara
Barat, termasuk AS. Namun, karena satu dan lain hal, Turki melakukan manuver
politik zig-zag dan belakangan merapat ke Iran, Rusia, dan pihak-pihak lain
yang mendukung Bashar al-Assad sejak konflik terjadi.
Arab Saudi terus konsisten
melawan rezim Al-Assad yang dianggap sebagai perpanjangan tangan Iran di
kawasan (walaupun intensitasnya menurun). Bahkan, sampai hari ini Arab Saudi memimpin
koalisi sejumlah negara Arab yang melakukan serangan secara langsung di Yaman
untuk menghadapi kelompok Houthi yang juga didukung Iran. Semua ini dilakukan
Arab Saudi untuk menumpas tangan-tangan Iran di dunia Arab.
Sentimen anti-Iran yang
sedemikian kuat di Arab Saudi membawa negara kaya minyak itu bersama sejumlah
negara Arab lain (Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir) mengisolasi negara
Teluk lain yang juga kaya minyak, yaitu Qatar. Selain karena tuduhan
mendukung dan mendanai kelompok teroris, Qatar dianggap tak mau terlalu ketat
terhadap Iran. Belakangan hubungan Arab Saudi-Turki juga memburuk karena
Turki justru bekerja sama dan mendukung Qatar.
Dukungan
kosong
Dalam kondisi seperti itu,
apa yang bisa diberikan kepada Palestina? Tak ada, kecuali hanya sebatas
kecaman dan kutukan terhadap AS di atas mimbar ataupun konferensi-konferensi
darurat. Apa yang dilakukan negara-negara itu terhadap Palestina berbanding
terbalik dengan apa yang telah mereka lakukan di Suriah dan di Yaman. Menurut
beberapa sumber, negara-negara itu sampai pada tahap mengirim ahli-ahli
militer terbaiknya ke medan tempur untuk memenangi peperangan yang ada.
Peran
Indonesia
Dalam konteks
negara-negara Timteng dan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim lain
seperti sekarang, Indonesia bisa mengambil peran penting bagi Palestina
mengingat Indonesia tak terlalu memiliki persoalan internal. Yang paling
penting adalah karena Indonesia memiliki hubungan sangat baik dan strategis
dengan negara-negara yang bisa berperan optimal dalam upaya menyelesaikan
konflik Israel-Palestina: Indonesia berhubungan baik dengan Arab Saudi,
Turki, Iran, Qatar, Mesir, Jordania, dan yang lainnya. Bahkan, Indonesia juga
berhubungan sangat baik dengan AS, Eropa, Rusia, dan China sebagai pihak-pihak
yang selama ini berperan penting di pentas politik global, termasuk dalam
persoalan konflik Israel-Palestina.
Karena itu, melalui modal
besar yang ada di atas, dalam hemat penulis, Indonesia bisa mendorong
penyelesaian konflik Israel-Palestina melalui tiga ranah sekaligus, yaitu
ranah internal Palestina, ranah Timteng ataupun ranah negara-negara
berpenduduk mayoritas beragama Islam, dan ranah global.
Dalam konteks ranah
nasional Palestina, rekonsiliasi di antara faksi-faksi di internal Palestina
harus diperkuat, khususnya di antara faksi Fatah yang selama ini cenderung
memilih perjuangan dengan cara-cara damai dengan faksi Hamas yang cenderung
pada perjuangan bersenjata. Rekonsiliasi ini sangat dibutuhkan untuk
menyongsong Palestina yang satu sekaligus bersatu.
Dari rekonsiliasi yang
ada, Palestina bisa melakukan penguatan internal, khususnya di kalangan
aparat negara. Hingga Palestina mempunyai aparat yang siap untuk menjalankan
pemerintahan yang kuat, bersih, dan dipercaya oleh segenap rakyat.
Pada ranah Timteng ataupun
negara-negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, Indonesia bisa mengajak
semua negara terkait untuk bersatu dan mengurangi perselisihan yang bersifat
sektarian dan kekuasaan politik. Visi Islam rahmatan lil ’alamin (rahmat bagi
semesta alam) bisa dijadikan sebagai salah satu payung besar menyatupadukan
negara-negara itu dalam mendukung perjuangan Palestina.
Sementara dalam ranah
global, Indonesia bisa mendorong negara-negara adidaya untuk memberikan
perhatian serius terhadap persoalan ini dengan menjadi mediator yang adil
terhadap kedua belah pihak dan tepercaya. Hal ini menjadi sangat penting
karena, walaupun konflik Israel-Palestina merupakan persoalan politik murni,
konflik ini berdampak secara langsung terhadap hal-hal keagamaan. Itu
mengingat wilayah yang diperebutkan terhadap tempat-tempat suci yang diimani
oleh pemeluk tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam.
Menyelesaikan persoalan
ini secara damai dan abadi sama halnya dengan membendung potensi-potensi
konflik secara global. Sebaliknya, menangani persoalan ini tidak secara adil
sama halnya dengan membuka potensi-potensi konflik secara global. ●
|
||Satu Akun semua jenis Game ||
BalasHapusGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128