Putusan
Final dan Mengikat MK
Despan Heryansyah ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi;
Mahasiswa Program
Doktor FH-UII Yogyakarta
|
KOMPAS,
27 Desember
2017
Harus diakui, memasuki
usia yang ke-14 tahun Mahkamah Konstitusi, kita masih tetap dalam fase
pencarian format ideal pelembagaan MK.
Sejak awal berdiri pada
2004, MK telah memberikan warna baru bagi perwujudan negara hukum di
Indonesia. Tak berhenti sampai di situ, MK juga telah membuka ruang
perdebatan baru yang dalam dan substantif di kalangan ahli hukum tata negara.
Bagaimana tidak,
kewenangan membatalkan UU yang dibuat oleh presiden dan DPR (lembaga negara
konstitusional yang mendapat mandat langsung dari rakyat) adalah konstruksi
baru yang sebelumnya tak dikenal dan bahkan cenderung diharamkan dalam masa
Trias Politika. Rumus dasarnya bahwa tiap-tiap kekuasaan (eksekutif,
legislatif, dan yudikatif) itu terpisah dan tidak boleh saling mencampuri.
Harus pula diakui, MK
adalah produk terbaik reformasi yang masih bertahan sampai hari ini. Bertahan
dalam makna terus menjaga komitmen terhadap idealisme negara dan tentu masih
tetap dapat kepercayaan rakyat. Memang tak semua putusan MK bersifat populis.
Namun, kepercayaan atas integritas ”sebagian” hakim MK masih terus hidup
sehingga dukungan masyarakat masih tetap mengalir.
Keberadaan MK sebagai
pengawal demokrasi, pelindung konstitusi, dan penjaga HAM adalah gerbang
terakhir bagi masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan keadilan. Dengan
ekspektasi yang begitu besar, selain dituntut memiliki kemampuan dalam ilmu
hukum dan integritas dalam menegakkannya, seorang hakim MK juga diharuskan
menjadi seorang negarawan, yaitu orang yang mengelola negara dengan
kewibawaan dan kebijaksanaan.
Problem
putusan MK
Untuk menjalankan
kewenangan yang begitu besar, pada putusan MK dilekatkan satu sifat yang tak
dimiliki pengadilan lain di Indonesia, yaitu sifat final and binding. Sifat
ini bermakna putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang tak ada
ruang hukum untuk mengujinya lagi. Sifat ini belakangan dapat banyak kritik
dari sebagian ahli hukum tata negara.
Bagaimana jika suatu
ketika ada putusan MK yang nyata merugikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan,
atau bertentangan dengan ideologi negara Pancasila? Padahal, putusan MK
adalah final and binding. Dalam kondisi ini, hukum kita tidak menyediakan
jalan keluar, padahal potensinya seberapa pun kecilnya masih tetap mungkin
akan terjadi. Harus dipahami bahwa sejak awal kita meletakkan kedaulatan
tertinggi berada di tangan rakyat, bukan di tangan hukum, karena hukum adalah
representasi dari negara yang cenderung akan menindas rakyat.
Konsekuensinya, apabila
suatu ketika terjadi persinggungan antara kehendak rakyat dan hukum, hukumlah
yang harus dimenangkan. Rakyat tidak
boleh dikorbankan atas nama hukum, bahkan hukum konstitusi sekalipun. Namun,
sifat putusan MK ini menutup itu semua.
Di sisi lain, hakim MK
sendiri bukan tanpa cacat sama sekali. Setidaknya dua hakim MK yang saat ini
dikenai status terpidana memberikan pelajaran bahwa tidak semua hakim MK
bersih dan negarawan. Potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih
terbuka. Karena itu, sifat putusan MK yang final and binding harus
dipertimbangkan dan dicarikan solusinya. Namun, jangan sampai solusi yang
ditawarkan justru akan membelenggu hakim MK dan membuat putusan menjadi tidak
bermutu.
Marwah MK dalam mengawal
demokrasi, melindungi konstitusi, dan menegakkan hak HAM harus tetap terjaga.
Namun, jangan sampai kita mendirikan negara hukum yang melukai hati rakyat,
si pemilik kedaulatan. Sebagus dan seideal apa pun UU, jika rakyat tak
menghendaki, tak selayaknya dapat tempat di rumah negara hukum Indonesia.
Dalam konteks ini, penulis
menawarkan solusi atas sifat final and binding putusan MK agar masih ada
celah untuk mengujinya jika suatu hari ditemukan ada kesalahan fatal. Model
di pengadilan internasional barangkali layak dijadikan contoh.
Putusan pengadilan
internasional masih dapat diujikan oleh pengadilan internasional itu sendiri,
tetapi diuji dengan jumlah hakim yang berbeda dari putusan pertama. Dengan
demikian, di MK, misalnya, dapat saja dalam semua persidangan hanya diadili
oleh maksimal tujuh hakim MK. Namun, apabila ada pihak yang merasa dirugikan
oleh putusan MK tersebut, dalam jangka waktu tertentu MK dapat menguji
putusan MK sendiri dengan diadili oleh semua hakim MK.
Putusan semua hakim MK
inilah yang pada akhirnya memiliki sifat final and binding. Dengan model ini,
diharapkan kekhawatiran atas putusan MK dapat mencederai Pancasila dan
kedaulatan rakyat dapat diatasi. ●
|
||Satu Akun semua jenis Game ||
BalasHapusGame Populer:
=>>Sabung Ayam S1288, SV388
=>>Sportsbook,
=>>Casino Online,
=>>Togel Online,
=>>Bola Tangkas
=>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
|| Online Membantu 24 Jam
|| 100% Bebas dari BOT
|| Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA
Pakai Pulsa Tanpa Potongan
Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia
WhastApp : 0852-2255-5128