Mencari
Juru Damai di Yerusalem
Dinna Wisnu; Pengamat Hubungan Internasional
|
KORAN
SINDO, 13 Desember 2017
LANGKAH apa yang harus dilakukan oleh
dunia untuk menyikapi deklarasi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump
tentang Yerusalem sebagai ibu kota Israel adalah pertanyaan yang lebih
penting selain mencari tahu apa yang mendorong Trump mendeklarasikan
pernyataan tersebut. AS tidak lagi kredibel memfasilitasi perdamaian dan sebetulnya
hal itu sudah lama terjadi, tetapi baru saat ini posisi itu betul-betul
terbuka. Mungkinkah kita berpaling kepada Eropa, Rusia, dan China untuk
mengisi kekosongan itu?
Apabila kita boleh jujur, perdamaian di
tanah Palestina memang sudah buntu dibicarakan sejak 1993. Ada saja topik
yang menghambat dialog seperti perbatasan dan pembagian tanah antara Israel
dan Palestina sebelum 1967 hingga pendudukan Israel di wilayah Tepi Barat.
Selain itu, adanya kekhawatiran
keamanan tentang radikalisme dan terorisme, membangun perbatasan yang aman
dan menghindari hasutan serta kekerasan. Topik lainnya adalah nasib para
pengungsi Palestina yang tinggal di luar negeri dan perdebatan tentang
pengembalian mereka.
Terakhir mengenai status Yerusalem
sebagai ibu kota bagi Palestina dan Israel. Deklarasi Trump menjadi semacam
terapi kejut bagi dunia untuk kembali memikirkan masalah-masalah tersebut.
Melalu deklarasi tersebut sebagian di
antara kita akhirnya mengetahui bahwa secara formal deklarasi Trump terkait
Yerusalem adalah sikap resmi Pemerintah AS yang telah dinyatakan sejak 1995
melalui The Jerusalem Embassy Act. Undang-undang itu disahkan oleh Kongres
dan didukung Partai Republik dan Demokrat.
Tujuannya untuk memulai dan mendanai
pemindahan Kedutaan Besar AS di Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem, paling
lambat 31 Mei 1999. Presiden-presiden AS sebelum Trump tidak menindaklanjuti
undang-undang tersebut karena terbentur perjanjian Oslo yang salah satunya
menyatakan bahwa status Yerusalem akan tergantung hasil negosiasi antara
Palestina dan Israel.
Trump sendiri sebetulnya bersikap sama
dengan presiden lain, perbedaannya dia harus menyatakan hal itu sebagai upaya
untuk memenuhi janji kampanyenya. Kita perlu ingat bahwa Trump bukanlah
“kader” partai Republik, apalagi Demokrat, yang artinya dia tidak memiliki
hubungan yang kuat dengan partai-partai politik. Nalurinya sebagai pedagang
melandasi pertimbangan politiknya.
Diskusi deklarasi ini sebenarnya sudah
dimulai sejak Januari-Februari 2017 dan mendapat dukungan 90 senator dan 0
yang menolak pada bulan Juni 2017. Trump melihat hasil konsensus para senator
itu sebagai pintu masuk untuk memenuhi janjinya tanpa melihat akibatnya yang
merugikan secara politik terhadap Palestina.
Karena itu, kita perlu membaca deklarasi
Trump sebagai sikap resmi politik AS terhadap proses perdamaian Palestina dan
Israel. Deklarasi itu bukan semata-mata hanya karena sikap Trump, yang
menurut Slavok Zizek sebagai, patriarkis, memiliki selera humor rasisnya yang
buruk, terlalu vulgar, dan sebagainya—tetapi juga karena lingkungan politik
AS yang mendukungnya.
Di sisi yang lain, deklarasi ini bisa
menjadi cambuk bagi semua pihak yang terlibat, terutama negara-negara di
kawasan regional Timur Tengah dan masyarakat muslim dunia, khususnya yang
terwakili oleh OKI, untuk kembali ke jati diri memperjuangkan Palestina
sebagai negara yang merdeka.
Selama ini, terutama sejak Al-Qaeda dan
ISIS lahir, perhatian terhadap Palestina menjadi berkurang. Liga Arab sebagai
organisasi regional di Timur Tengah telah kehilangan arah tujuan dan pecah
menjadi kubu-kubu antara yang pro-Teheran (Iran) dan pro Arab Saudi.
Salah satu kunci penting lain dalam
perdamaian Palestina-Israel adalah mendamaikan kubu yang berseberangan,
antara Hamas dan Fatah. Ada banyak perundingan baik yang terbuka maupun
rahasia antara Palestina dan Israel sejak perundingan terakhir di Camp David
tahun 2000.
Banyak proposal perdamaian alternatif
juga dari berbagai pihak yang diusulkan, tetapi tidak ada yang dapat mencapai
sebuah kesepakatan permanen karena belum bersatunya dua kubu tersebut. Ada
beberapa detail perundingan seperti pertukaran lahan antara Israel dan
Palestina yang tidak dapat dibicarakan karena lahan yang didiskusikan bukan
berada di bawah otoritas Palestina tetapi Hamas, yang sayangnya tidak
dilibatkan dalam perundingan.
Masalah tersebut sangat merugikan
perjuangan rakyat Palestina karena Israel sendiri melihatnya sebagai
kesempatan untuk mengambil lahan-lahan Palestina baik di Gaza maupun di Tepi
Barat. Israel, misalnya, sejak deklarasi AS telah mulai memikirkan untuk
membangun 14.000 permukiman baru di wilayah Yerusalem.
Kompleksitas masalah tersebut tentu
tidak dapat diselesaikan sendiri, khususnya yang terkait dengan konflik di
dalam tubuh Palestina sendiri. Ada tiga wilayah masalah yang mungkin perlu
menjadi agenda.
Pertama adalah peran untuk
memfasilitasi perdamaian Palestina dan Israel pascadeklarasi Trump terkait
Yerusalem yang mungkin sudah tidak dapat lagi dipikul oleh AS saat ini karena
telah kehilangan kredibilitasnya.
Kedua, siapa pun mediator perdamaian
perlu melakukan konsiliasi kekuatan negara-negara Arab di Timur Tengah dan
konsolidasi dunia muslim terkait dengan agenda kemerdekaan Palestina.
Negara-negara Arab, yang secara geopolitik dekat dengan Palestina-Israel,
juga sulit untuk memimpin perubahan ini karena persaingan di antara mereka.
Ketiga adalah peran memfasilitasi
perdamaian antara kelompok-kelompok dalam perjuangan kemerdekaan Palestina
itu seperti Hamas dan Fatah.
Pihak yang disebut-sebut potensial
sebagai honest broker alias mediator antara lain Rusia, China, dan Uni Eropa.
Pada akhirnya siapa pun yang konsisten mendorong lagi pembicaraan damai
antara Israel dan Palestina, mereka akan membutuhkan tekanan demi hasil yang
diinginkan. Porsi sebagai kelompok penekan ini dapat dan perlu dimainkan oleh
Indonesia agar momentum ini terus hangat.
Keberangkatan Presiden Joko Widodo ke
KTT OKI adalah langkah baik mengaktifkan tekanan tersebut, namun semoga tidak
menjadi satu-satunya medium yang dipakai Indonesia. Ada Gerakan Non-Blok, ada
pula hubungan bilateral Indonesia yang baik dengan Palestina; keduanya dapat
dioptimalkan pula untuk mengonsolidasikan faksi-faksi di antara negara
berkembang dan di dalam Palestina.
Semoga Presiden Joko Widodo sendiri
berkenan memimpin upaya ini dengan konsisten berkeliling ke negara-negara
Arab, Eropa, negara-negara anggota Gerakan Non-Blok untuk menggalang
dukungan. ●
|
**** ANAPoker ***
BalasHapusTIDAK DI RAGUKAN LAGI HANYA DI SINI KAMU BISA MAIN SEPUASNYA
DENGAN satu ID Sudah Bisa Bermain Semua Games
||POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10 ||
+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
Tunggu Apa lagi Gabung Main dan Menangkan Uang Tunai Setiap Harinya,
Karena Semua bisa menang disini.
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |