Politisasi
Hukum, bukan Politik Hukum
Moh Mahfud MD ; Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara;
Ketua Mahkamah
Konstitusi 2008-2013
|
MEDIA
INDONESIA, 11 Desember 2017
UNTUK menyambut Indonesia 2018, mulai Senin
(4/12) hingga Sabtu (16/12), kami menampilkan pandangan dan pemikiran
sejumlah pakar di berbagai bidang. Selamat menyimak.
DENGAN mencatat berbagai persoalan hukum
yang terjadi pada 2017, problem kita dalam berhukum pada 2018 masih akan
banyak diwarnai transaksi, baik transaksi uang maupun transaksi politik. Kehidupan
berhukum kita banyak diintervensi politik dan penyuapan uang, hal yang sulit
dibuktikan secara yuridis-prosedural, tetapi terasa dan tercium kebusukannya
oleh akal sehat publik (public
commonsense).
Problem ini merupakan kelanjutan belaka
dari problem-problem tahun-tahun sebelumnya yang hingga kini masih sulit
diatasi.
Berhukum, secara sederhana, adalah membuat
aturan hukum dan melaksanakan aturan-aturan hukum dalam upaya mencapai tujuan
negara. Baik dalam membuat maupun dalam melaksanakan aturan hukum selama 2017
kita masih mencium aroma permainan politik dan permainan uang untuk mencari
menang, bukan untuk menemukan yang benar. 'Uang' dan 'jabatan' selalu menjadi
kata kunci utama dalam berhukum di negara kita selama beberapa tahun terakhir
ini.
Hiruk pikuk atau, meminjam istilah Presiden
Jokowi, kegaduhan dalam berhukum, disebabkan merebak busuknya permainan uang
dan politisasi hukum. Gambarannya bisa ditonton secara telanjang dalam aksi
hukum dan reaksi politik atas langkah-langkah yang dilakukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam upaya menegakkan hukum di bidang tindak
pidana korupsi.
Sepanjang tahun ini negara kita gaduh
karena KPK banyak melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dan menangani
korupsi berskala besar.
Oleh kelompok-kelompok tertentu, langkah
KPK selalu dipersalahkan.
Jika melakukan OTT dengan uang sitaan di
lapangan hanya berjumlah ratusan atau puluhan juta rupiah, KPK dituding hanya
bisa melakukan penindakan terhadap kasus-kasus kelas teri. Namun, jika
menangani kasus-kasus besar yang korupsinya bernilai ratusan miliar bahkan
triliunan rupiah, KPK dikeroyok beramai-ramai dengan berbagai cara.
Pokoknya, oleh para koruptor dan tangan-tangannya,
KPK selalu disudutkan pada posisi yang disalahkan. Padahal, jika KPK
melakukan OTT dan menyita uang hanya Rp100 juta atau kurang dari itu, tentu
tidak bisa serta-merta dikatakan korupsinya hanya sebesar uang yang disita
itu. Dari OTT itu, bisa diungkap korupsi yang besarnya puluhan bahkan ratusan
miliar.
Contohnya, ada pejabat yang terkena OTT
dengan uang sitaan Rp100 juta, tetapi ternyata uang itu hanya uang muka dari
rencana korupsi yang besarnya puluhan bahkan ratusan miliar rupiah. Pejabat yang
bersangkutan berjanji memuluskan izin impor sembako tertentu dengan imbalan
Rp2.000 per kilogram.
Apakah korupsinya hanya sebesar uang yang
disita sebesar Rp100 juta? Tentu tidak. Hitunglah berapa besarnya, jika izin
impor itu diberikan untuk 10 ribu ton sembako yang dijanjikan. Kalikan saja
10 ribu ton dengan Rp2.000, yang harus diberikan kepada pejabat yang
bersangkutan untuk setiap kilogram.
Contoh lain, ketika ada bupati ditangkap
tangan oleh KPK dengan uang sitaan Rp50 juta, tiba-tiba orang-orang atau
kelompok yang tidak suka terhadap KPK menuding KPK hanya berani menangani
korupsi yang puluhan juta rupiah, bukan yang miliaran rupiah, pastinya
tudingan yang demikian ngawur dan asal omong. Bukti Rp50 juta itu hanyalah
pintu masuk dari sebuah korupsi menahun yang berjumlah puluhan bahkan bisa
ratusan miliar rupiah.
Mengapa? Karena sang bupati melakukan
korupsi sudah berbilang tahun dan akan terus bertahun-tahun, sedangkan yang
Rp50 juta hanyalah secuil bukti yang akan membuka dan menghentikan korupsi
berkelanjutan itu.
Di dalam bukti-bukti awal yang sudah
diberitakan pers, bupati tersebut melakukan pungutan sekitar Rp100 juta untuk
setiap calon pegawai negeri sipil, juga meminta jatah dalam persentase
tertentu dari anggaran tahunan untuk dinas-dinas dengan ancaman sang kepala
dinas akan dicopot jika tidak kooperatif dan tidak bisa mengamankan keinginan
sang bupati.
Coba bayangkan, betapa besarnya korupsi
yang sudah dilakukan bupati dan berapa besar korupsi yang bisa terjadi jika
sang bupati tidak ditangkap tangan oleh KPK dengan bukti awal yang hanya Rp50
juta itu.
Itulah, kalau melakukan OTT dengan bukti
awal yang kecil (padahal di baliknya ada korupsi yang sangat besar), KPK
dituding menindak korupsi kelas teri, tetapi jika menangani korupsi besar
seperti kasus KTP-E, dituding mengada-ada dan mencari-cari.
Padahal, korupsi KTP-E sudah nyata ada,
sudah ada yang divonis, sudah ada yang mengembalikan uang, kartu KTP-E tidak
cukup tersedia, kontraktornya masih menagih lagi ke Kemendagri. Padahal, Kemendagri
sudah membayar lunas sesuai dengan kontrak yang kemudian telah masuk di APBN.
Independensi
hakim
Isu lain yang juga mengemuka pada 2017
ialah persoalan independensi hakim dalam memutus perkara. Ditengarai,
sekurang-kurangnya oleh media massa dan civil society organizations, ada
hakim-hakim yang menyiapkan dan membuat putusan berdasarkan transaksi dan
tukar-menukar kepentingan. Jadi, vonis sebuah perkara bisa ditukar dengan
uang atau dengan promosi atau posisi dalam karier dan jabatan.
Namanya juga ditengarai, meskipun itu sudah
diyakini, kita tak perlu menyebut nama orang dan kasusnya agar tidak
berkembang menjadi liar.
Pokoknya, itu sudah merupakan gejala
pelanggaran etika berat yang merusak masa depan Indonesia.
Jika vonis hakim sudah diperjualbelikan,
hancurlah masa depan Indonesia, terkutuklah pelakunya. Penjahat moral hukum
yang demikian, meski lolos dari formalitas prosedural hukum, pelakunya akan
mendapatkan sanksi otonom. Tuhanlah yang akan turun tangan seperti terhadap
yang sudah-sudah. Hanya doa dan harapan seperti yang bisa rakyat lakukan
sebagai pihak yang tak berdaya.
Harus diingat, gambaran buruk di atas
menunjukkan terjadinya politisasi hukum dan bukan politik hukum. Meskipun
dari satu sudut hukum bisa dilihat sebagai produk politik, hambatan terhadap
KPK dan gejala jual beli vonis dengan uang maupun jabatan ialah politisasi
hukum, bukan politik hukum.
Politik hukum adalah kebijakan pembuatan
hukum yang menjadikan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan negara,
sedangkan politisasi hukum adalah pembuatan atau langkah-langkah hukum
melalui rekayasa dan kolusi tertentu yang menjadi hukum sebagai alat untuk
meraih kepentingan pribadi.
Tampaknya pada 2018 kita masih harus
menghadapi problem politisasi hukum yang merusak wajah politik hukum kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar