Akankah
Keputusan Trump tentang Jerusalem Dijalankan?
Susilo Bambang Yudhoyono ; Presiden RI 2004-2014
|
KOMPAS,
11 Desember
2017
Keputusan Presiden Trump yang ”menetapkan”
Jerusalem sebagai ibu kota Israel membikin heboh dunia. Kecaman dan
penentangan datang dari berbagai belahan dunia.
Bukan hanya dari kalangan dunia Islam,
melainkan juga dari dunia Barat dan Asia, bahkan termasuk sahabat-sahabat
Amerika Serikat sendiri. Mereka khawatir kebijakan Trump itu menimbulkan
dampak buruk bagi upaya perdamaian dan penyelesaian konflik Israel-Palestina
secara permanen, yang telah puluhan tahun diupayakan.
Bahkan, keputusan sepihak yang bertentangan
dengan resolusi PBB tahun 1947 itu bisa menutup peluang bagi ”solusi dua
negara”, terwujudnya Israel dan Palestina sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, serta hidup berdampingan secara damai.
Sebagaimana yang lazim terjadi, pandangan
publik AS sendiri terbelah. Ada yang memuji dan mendukung Trump sebagai
pemimpin yang tegas dan berani, tetapi ada pula yang mengatakan langkah Trump
tersebut ceroboh dan berbahaya. Saat ini belum didengar suara dari ”Capitol
Hill” yang kerap kritis dan juga berani.
Tanpa mengulangi berbagai retorika dan
reaksi spontan yang muncul dari masyarakat internasional selama lima hari
terakhir ini, ada pertanyaan kritis yang mesti kita jawab: akankah keputusan
Trump yang secara resmi mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel disertai
kebijakan untuk memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem
sungguh akan dijalankan? Inilah yang barangkali perlu kita bicarakan.
Dua
skenario
Kita bisa menggunakan sejumlah skenario dan
pendekatan. Pertama, atau skenario satu, kebijakan Donald Trump yang mengubah
sikap AS sejak 70 tahun yang lalu itu sungguh akan direalisasikan. Artinya,
kedutaan besar AS akan ”segera” dibangun dan beroperasi di Jerusalem, apa pun
reaksi dan penolakan dari banyak negara, terutama dari Palestina. Dalam
skenario ini Trump benar-benar nekat dan tak perlu menggubris pihak mana pun
yang mengatakan ”tidak”. Biarkan anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu.
Adapun skenario kedua, menyadari penolakan
yang keras baik dari luar maupun dari dalam, dan apabila kebijakan yang
kontroversial itu sungguh dijalankan, dampaknya sungguh buruk bagi AS
sendiri, kebijakan Trump tersebut tidak akan dijalankan. Paling tidak akan
ditunda implementasinya.
Skenario mana yang paling mungkin menjadi
kenyataan? Mari kita lihat satu per satu.
Memahami psiko-politik Trump, yang tidak
hanya menggertak, tetapi sungguh dijalankan kalau punya kehendak, pemindahan
kedutaan besar AS ke Jerusalem tersebut benar-benar akan diwujudkan. Ingat,
kebijakan Trump yang oleh banyak pihak diperkirakan tidak akan dilakukan,
seperti keluarnya AS dari Paris Climate Agreement, dari Trans-Pacific
Partnership, dan dari Iran Nuclear Agreement, ternyata benar-benar dilakukan.
Karakter pribadi Trump yang tidak mau
ditekan atau dihalang-halangi oleh siapa pun benar-benar nyata adanya.
Apalagi, jika gelombang penolakan dan perlawanan atas kebijakan Jerusalem ini
skalanya tidak seberapa besar dan akan berakhir dalam beberapa hari atau
minggu mendatang, tak ada halangan apa pun bagi AS untuk menjalankan kehendak
pemimpinnya itu. Kalau keadaan ini yang terjadi, skenario satu akan menjadi
kenyataan.
Satu-satunya keadaan yang bisa membatalkan
atau menunda implementasi dari kebijakan Trump tentang Jerusalem ini adalah
apabila situasi yang tidak baik ini berkembang secara serius dan di luar
prediksi Pemerintah AS.
Misalnya, situasi keamanan di Israel
ataupun di Palestina benar-benar memburuk, bahkan mengguncangkan stabilitas
kawasan Timur Tengah, sehingga tekanan terhadap Trump justru akan muncul dari
dalam negeri sendiri. Amerika Serikat adalah negara adidaya, yang tak mudah
digertak dan diancam negara mana pun, kecuali tekanan itu datang dari
rakyatnya sendiri.
Kita ingat berakhirnya Perang Vietnam, yang
ditandai dengan penarikan pasukan AS dari Vietnam pada awal tahun 1970-an,
bukan karena pasukan AS tak mampu menahan perlawanan Vietnam Utara dan
Vietkong, melainkan karena tekanan keras dan meluas dari rakyat AS untuk
mengakhiri perang itu. Tentu saat ini terlalu dini untuk mengetahui apakah
dampak keputusan Trump tentang Jerusalem ini sungguh memperburuk situasi
konflik Israel-Palestina bahkan akan mengancam perdamaian dan keamanan
internasional. Masih harus kita lihat dan ikuti perkembangannya di hari-hari
mendatang.
Menlu
Tillerson
Adalah menarik apa yang dikatakan Menteri
Luar Negeri AS Rex Tillerson dua hari setelah penetapan Presiden Trump atas
status Jerusalem, yang barangkali luput dari pengamatan banyak pihak.
Tillerson mengatakan bahwa Presiden Trump tidak menyebutkan status final dari
Jerusalem, tetapi pada saatnya akan ditentukan oleh Israel dan Palestina
sendiri dalam negosiasinya. Juga dikatakan oleh Tillerson bahwa pemindahan
kedutaan besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem tidak akan terjadi dalam masa
satu-dua tahun mendatang.
Pernyataan ini menarik. Memang masih harus
diikuti lebih lanjut apa dasar pernyataan Menlu AS ini. Apakah untuk
meredakan situasi yang mulai memanas di banyak negara, bahkan menjadi
tanda-tanda dapat saja dilakukan penundaan (pause) dari keputusan Trump
tersebut, atau hanya urusan teknis semata. Akan tetapi, mengingat dinamisnya
situasi politik dan keamanan dunia, termasuk dampak dari kebijakan tentang
Jerusalem ini, AS memang harus bersiap diri dengan kontingensi dan
langkah-langkah tertentu yang tidak membuat negara itu nantinya kehilangan
muka.
Sebagaimana saya sampaikan dalam cuitan
saya beberapa hari lalu, jika disadari Amerika berada di sisi sejarah yang
keliru, belumlah terlambat bagi Presiden Trump untuk mengubah keputusannya.
Saya tidak yakin bangsa Amerika yang besar itu mau disalahkan oleh sejarah
karena kebijakan dan tindakannya membikin keadaan dunia kita menjadi buruk.
Semoga jiwa besar itu muncul dari dalam diri pemimpin-pemimpin Amerika
Serikat.
Agar situasi di Israel dan Palestina tidak
makin memburuk, termasuk situasi di kawasan, saya berpendapat solusi dua
negaralah yang paling realistis. Ini pula yang harus terus diperjuangkan oleh
bangsa Indonesia, dengan kepemimpinan dan kepeloporannya selama ini,
terwujudnya kemerdekaan penuh Palestina sebagai bangsa yang berdaulat.
Eksistensi Palestina yang mendapatkan pengakuan dan dukungan resmi dari
Israel dan juga bangsa-bangsa lain di dunia.
Berkaitan dengan status kota Jerusalem,
semua pihak, termasuk Amerika Serikat, mesti menghormati resolusi PBB 181
tahun 1947 yang menetapkan Jerusalem sebagai kota di bawah kewenangan
internasional. Kota yang memungkinkan kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi
melakukan ibadah keagamaannya.
Status quo yang memberikan ruang dan jalan
bagi pencarian solusi konflik yang damai dan permanen bagi masa depan Israel
dan Palestina, termasuk status kota Jerusalem kelak. Masa depan yang membuat
rakyat Israel dan Palestina berada dalam keadaan yang tenteram dan terbebas
dari ketakutan. Masa depan yang jauh dari tragedi dan penderitaan. Juga masa
depan yang mereka semua bisa hidup adil dan sejahtera.
Semoga masa indah itu datang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar