Moralitas
Kepengacaraan
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
|
KORAN
SINDO, 11 Desember 2017
DARI perspektif moralitas, sungguh, perihal
pengunduran diri para pengacara Setnov bukan dagelan sebagaimana bakpao
ataupun tiang listrik, melainkan cermin watak asli pengacara-pengacara yang
bersangkutan. Kiranya telah menjadi pengetahuan umum, pengacara-pengacara
merupakan bagian dari aparat penegak hukum yang hidup dan mencari kehidupan
pada era globalisasi.
Dikemukakan oleh Saul J Ralston (2005) dalam “The Collapse of Globalism and the Reinvention of the World” bahwa pada era ini neokapitalisme bekerja secara rasional dan mekanistik dalam persaingan memperebutkan segala bentuk materi duniawi dalam skala global. Diakui ataupun dibantah, kepengacaraan berada dalam lilitan neokapitalisme itu. Terkait dengan orientasinya pada materi duniawi, ihwal yang bersifat imaterial dan spiritual (seperti moralitas, ideologi, agama, dan etika) dianggap tidak penting, dan sekadar digunakan sebagai alat memperlancar perolehan materi-duniawi. Implikasinya, siapa pun pengacara tersebut, rentan terjerumus ke watak hedonistik, sekuler, liberal, dan individual. Dalam lilitan neokapitalisme, krisis penegakan hukum menjadi tak terhindarkan. Penegakan hukum sangat didominasi oleh kesibukan-kesibukan yang bersifat teknologis daripada menjunjung tinggi moralitas kemanusiaan (humanity), sosial (social), dan kebangsaan (nationality). Krisis demikian bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga melanda pula negara-negara maju (modern). Amerika dan negara-negara Eropa Barat dapat disebut sebagai representasi negara yang lebih dulu hanyut ke dalam pola penegakan hukum teknologis itu. William Pizzi (1999) berkomentar bahwa kegagalan sistem peradilan pidana Amerika karena hukum dan pengadilan bukan didayagunakan sebagai alat dan tempat pencarian keadilan dan kebenaran, melainkan sebagai medan pertempuran pencarian kemenangan. Di situlah orang-orang (pengacara) mencari makan, popularitas, dan kebutuhan-kebutuhan materi duniawi lain. Sepadan dengan itu, di Indonesia pun tampak kasatmata, ketika sistem peradilan dipolakan dan dikendalikan sebagai medan pertempuran, watak neokapitalis para pengacara pun semakin menonjol. Telah menjadi catatan sejarah bahwa penegakan hukum yang bersifat teknologis menjadi gagal mengabdikan diri kepada kebutuhan bangsanya. Pada saat bangsa yang bersangkutan dihadapkan pada kasus-kasus hukum berskala nasional (seperti korupsi, pencucian uang, ataupun skandal-skandal lain) hasil yang bisa dicapai sebatas pada “pemangkasan ranting-ranting” permasalahan, tanpa menyentuh “akar dan pohon” permasalahannya. Ambil contoh, kasus korupsi e-KTP. Kini sudah disebut sebagai korupsi nasional, bukan sekadar korupsi berjamaah. Begitu banyak tokoh dan pejabat nasional terlibat di dalamnya. Ketika yang diperiksa, diselidiki, disidik, dan disangkakan sebagai terdakwa hanya orang-orang tertentu secara individual, sulit dapat dicapai kualitas pemberantasan korupsi yang fundamental dan menyeluruh. Individu-individu itu hanyalah ranting-ranting korupsinya. Akibat itu, sistem penganggaran proyek E-KTP, beserta sistem politik dan sistem penegakan hukumnya, dipandang tak bermasalah. Dalam pandangan demikian, sistem pemerintahan bermasalah pun terus berlangsung, berkelanjutan, bahkan meningkat ke arah pembuatan “lorong-lorong tikus” agar korupsi gaya baru bisa dilakukan. Kekurangan-kekurangan mendasar pada semua subsistem pemerintahan seperti kejujuran, wawasan kebangsaan, pengawasan malaikat tidak pernah disentuh untuk perbaikannya. Halus ataupun kasar, terbuka ataupun terselubung, simbolik ataupun maknawi, identitas dan watak asli pengacara-pengacara Indonesia tampil di muka publik dengan penuh percaya diri, seolah tak ada yang salah, dan tak salah pula berbohong kepada publik. Dunia kepengacaraan hanyut ke dalam neokapitalisme. Seolah ingin ditegaskan bahwa watak demikian sudah menjadi tuntutan global. Dunia kepengacaraan berada dan menjadi bagian dari “tukang-tukang hukum”, siap bekerja profesional demi klien-klien yang mendambakan kemenangan. Sindiran publik dengan slogan “maju tak gentar membela yang bayar” sama sekali tidak mengendurkan semangat meraih kemenangan tersebut. Moralitas kepengacaraan, secara perlahan tapi pasti, semakin terkoyak-koyak oleh merasuknya neokapitalisme. Drama demi drama penegakan hukum hadir silih berganti, tetapi langka menghadirkan moralitas. Kasus e-KTP hanya secuil dari permasalahan moralitas penegakan hukum di Indonesia. Serial drama-drama lain sudah dan akan terus berlangsung dengan berbagai dinamikanya. Boleh jadi, dunia kepengacaraan sedang dilanda wabah “tunamoral”, yakni jiwa yang kosong dari sensitivitas dan moralitas sosial-kebangsaan. “Tunamoral” ini ditandai dengan ketidakpedulian terhadap nasib bangsa yang sedang menderita dan berada di jurang kehancuran karena maraknya korupsi. Orientasi pengacara semata-mata terfokus demi kemenangan klien, masa bodoh dengan nasib bangsa. Terkait dengan krisis moralitas kepengacaraan, patut disimak pernyataan Geroge Bataille (1990) dalam Literature and Evil, tentang hypermorality, yakni suatu kondisi di mana ukuran-ukuran moralitas yang selama ini ada (moralitas religius dan moralitas sosial-kebangsaan) tidak dipedomani lagi dengan alasan situasi kehidupan secara menyeluruh telah melampaui batas-batas Good dan Evil. Dalam situasi demikian, pengacara “tutup telinga, pasang topeng” terhadap publik. Bisikan moral tidak lagi dihiraukan, bahkan dicuekin. Hujatan publik direspons dengan senyuman misterius, bualan, dan kebohongan. Segalanya dikembalikan kepada nafsu-nafsu materi-duniawi individualnya semata. Ke depan legitimasi kepengacaraan diprediksi terus merosot seiring semakin kuatnya abjection (J Kristeva, 1982), yaitu kondisi kepengacaraan yang tenggelam ke dalam jurang moralitas palsu, dan di situ hukum dimain-mainkan sesuai selera nafsunya. Maraknya moralitas palsu telah menjadikan bangsa ini gelisah menatap masa depannya. Dipertanyakan, adakah pintu tobat untuk pengacara tunamoral? Wallahualam. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar