Trump,
Populisme, dan Garis Rubicon
Antony Lee ; Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
13 Desember
2017
Bahwa Presiden Amerika Serikat Donald Trump
seorang populis, itu sudah rahasia umum. Kebijakannya yang “melangkahi
Rubicon” atas isu Jerusalem menaikkan “derajat” populismenya. Demi kepuasan
sebagian konstituennya, ia bahayakan perundingan damai Israel-Palestina,
sekaligus menempatkan negaranya dalam gelombang kemarahan global.
Ketika ribuan tahun silam Julius Caesar
memutuskan untuk melintasi Sungai Rubicon beserta pasukannya menuju Roma, ia
meletakkan ambisinya untuk menjadi penguasa di atas segalanya, termasuk hukum
dan kepentingan Republik Romawi. Sebuah sikap yang lalu menjadi adagium untuk
menggambarkan keputusan yang tidak bisa ditarik kembali dan berdampak
signifikan.
Langkah Trump mengumumkan pengakuan AS
bahwa Jerusalem merupakan ibu kota Israel, lalu akan diikuti dengan
pemindahan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, oleh beberapa media
di AS disebut sebagai pemenuhan janji kampanye. Isu internasional yang sangat
penting “didomestikasi” Trump menjadi politik “elektoral” dalam negeri. Trump
dengan bangga mengakui hal itu. “Ketika presiden-presiden (AS) terdahulu
sudah menjadikan isu ini (pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel),
mereka gagal mewujudkannya. Hari ini, saya menepatinya,” kata Trump.
Mark Lander, koresponden Gedung Putih untuk
The New York Times, dalam artikelnya yang diterbitkan pada 6 Desember 2017,
For Trump, an Embassy in Jerusalem Is a Political Decision, Not a Diplomatic
One, menuturkan, Trump memilih berpihak kepada para pendukung kuncinya saat
dirinya berhadapan dengan dua pilihan. Dua pilihan itu, di satu sisi, adalah
mengecewakan pendukungnya yang pro Israel dan kelompok evangelikal atau, di
sisi lain, membuat kesal sekutunya, pemimpin-pemimpin negara Arab, serta
membahayakan inisiatif perdamaian Israel-Palestina.
Konflik Israel-Palestina punya implikasi
global. Berbagai inisiatif perdamaian sudah dimunculkan, termasuk oleh AS.
Pembicaraan damai di Camp David, AS, yang diprakarsai presiden AS saat itu,
Bill Clinton, pada 2000, juga menemui kebuntuan. Salah satunya disebabkan
ketidaksepakatan terkait dengan kontrol atas Jerusalem, kota suci tiga agama
samawi, yakni Islam, Kristen, dan Yudaisme. Jerusalem selalu menjadi titik
kritis pembicaraan damai Israel-Palestina.
Palestina geram atas sikap sepihak AS
mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Negara-negara sekutu AS di Uni
Eropa juga menganggap kebijakan itu bisa membahayakan pembicaraan damai
Palestina-Israel. Indonesia, salah satu negara yang aktif mendorong
kemerdekaan Palestina, juga mengecam sikap AS.
Dalam perspektif realisme, politik luar
negeri merupakan perwujudan dari kepentingan nasional. Pertanyaannya, apakah
keputusan Trump itu merepresentasikan kepentingan nasional AS? “Ini bonus
luar biasa AS kepada Israel tanpa AS mendapat apa-apa. Sikap anti AS jadi
tinggi,” kata mantan Duta Besar Indonesia untuk AS Dino Patti Djalal dalam dialog
Satu Meja dengan tajuk “Trump Dikecam Dunia” di Kompas TV, Senin (11/12)
malam.
Menurut Dino, selama ini, kebijakan luar
negeri AS atas isu Jerusalem ialah mempertahankan status quo agar inisiatif
Solusi Dua Negara, yakni Palestina dan Israel merdeka dan hidup berdampingan
secara damai, bisa diwujudkan. Pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel
dinilai lebih merupakan pandangan Trump yang akhirnya jadi kebijakan luar
negeri AS.
Dino mengatakan, resistensi dari birokrasi
luar negeri di dalam AS juga banyak atas kebijakan itu. Namun, Trump lebih
memilih mengambil kebijakan itu untuk menyenangkan donornya dan Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Kebijakan
merugikan
Tiga pembicara lain dalam diskusi yang
dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo itu, yakni politisi Partai
Amanat Nasional, Bara Hasibuan; mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat; serta Direktur Eksekutif Centre for
Strategic and International Studies Jakarta Philips J Vermonte, juga
berpandangan kebijakan Trump akan mengganggu pembicaraan damai
Palestina-Israel.
Kongres AS, sejak 1995, sudah membuat
undang-undang yang mendorong AS mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel
sekaligus untuk merelokasi Kedubes AS di Israel ke Jerusalem. Namun, kata
Bara Hasibuan, ada pasal yang memungkinkan “pengabaian” oleh Presiden AS atas
dasar evaluasi keadaan. Namun, dia juga menilai, langkah Trump diambil bukan
karena hendak mematuhi undang-undang, melainkan lebih pada pertimbangan
politik domestik. Apalagi, saat ini popularitas Trump menurun.
“Presiden AS sebelumnya mempertimbangkan
dampak jangka panjang yang bisa ditimbulkan, stabilitas global, dan posisi
berpijak AS di dunia internasional,” kata Bara Hasibuan.
Komarudin Hidayat menilai, keputusan Trump
itu harganya terlalu mahal. Kebijakan itu menambah kebencian terhadap AS.
Namun, Komarudin juga menyatakan senang
melihat sikap masyarakat di Indonesia, mulai dari presiden, lembaga swadaya
masyarakat, serta berbagai kelompok agama yang memiliki suara yang sama,
menolak kebijakan Trump. Hal ini juga menunjukkan persoalan ini bukan soal
pertentangan agama, melainkan kemanusiaan.
Untuk menekan Trump agar tidak melangkah
lebih jauh dengan memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem, Philips
Vermonte menilai perlu tekanan komunitas internasional.
Kebijakan Trump itu, lanjut Philips,
membuat dalam waktu dekat sulit membayangkan akan ada pembicaraan perdamaian
Palestina-Israel. “Butuh waktu lagi bagi mereka (Palestina-Israel) sampai ke titik
semula untuk mulai berunding,” katanya.
Akhirnya, sikap Trump ini menjadi
representasi atas dampak merusak dari kebijakan pemimpin populis yang hendak
menyenangkan pendukungnya, dengan mengorbankan kepentingan strategis dan
berdampak luar biasa besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar