Hidup
Bersama Robot Cerdas
Budiman Sudjatmiko ; Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Aparatur
Pemerintah Desa Seluruh
Indonesia (Papdesi)
|
KOMPAS,
16 Desember
2017
Siapa
pun yang berhasil menguasai AI (kecerdasan buatan) akan menguasai dunia. Vladimir Putin
Kita sedang di ambang revolusi. Revolusi
berskala dunia. Berbeda dengan revolusi sosial, revolusi ini bersifat sosial
teknologi.
”Konspirator-konspirator”-nya bukanlah para
aktivis serikat buruh, mahasiswa, atau para filsuf ekonomi. Para penggeraknya
adalah orang-orang imajinatif yang bertemu matematika dan algoritma.
Subversif-subversif zaman kini yang menggunakan matematika dan algoritma
untuk merumuskan imajinasinya.
Tak kali pertama ini terjadi ketika
orang-orang imajinatif bertemu matematika di masa lampau membuat kita
tergopoh-gopoh selama beberapa dekade untuk memecahkan prediksi-prediksinya.
Namun, baru di abad ke 21 ini, mereka berskala masif dan agen-agen mereka tak
hanya di kampung, kampus, atau di pabrik tertentu yang terlokalisasi.
Agen-agen revolusinya ada di supercomputer, robot-robot cerdas (artificial
intelligence/AI), smartphone, laptop, bahkan sudah ada di jam-jam tangan!
Pelurunya bukan logam tajam bermesiu, melainkan data besar (big data), mulai
dari tingkat konsumsi pulsa, jumlah klik, denyut nadi, tekanan darah, jenis
makanan, olahraga favorit, musik favorit, sampai golongan darah.
Selamat datang di Revolusi Industri ke- 4,
di mana data yang ditampilkan bisa diverifikasi faktanya. Bahwa kemudian
manusia membangun cerita, citra, dan mitos terhadapnya, ia masih saja harus
berbasis fakta dan data. Ini revolusi yang mengaburkan batas-batas ruang
fisik, digital, dan biologis. Revolusi yang mengantarkan kita untuk hidup
bersama robot cerdas, yang akan melayani atau mengambil alih 58 persen
pekerjaan fisik, dan menyisakan hal-hal yang kreatif saja untuk diselesaikan
otak dan otot manusia.
Berjejaring
Jejaring adalah wajah era digital. Ia
sebenarnya wajah asli alam dan masyarakat yang lama tersembunyi (baca:
disembunyikan), hanya saja sekarang algoritma teknologi informasi berhasil
mengangkatnya ke penampakan mata manusia. Ia membuat dunia seolah sebuah
”desa” di mana segala hal tidak lagi
berada jauh terpisah. Teknologi telah membuat hampir semua hal yang
ada di dunia saat ini terhubung oleh
jejaring fisik dan digital yang masif, di mana informasi, barang, dan jasa
mengalir bebas dalam skala yang sulit kita bayangkan sebelumnya. Segala
hierarki sosial yang vertikal mengarah menjadi horizontal. Paling tidak
diagonal.
Di dalam jejaring itu, ekonomi digital
tumbuh dan perlahan mendominasi. Hanya dalam 20 tahun sejak kelahiran
internet, potensi globalnya diperkirakan 3 triliun dollar AS. Digital bukan
lagi sekadar bagian dari ekonomi, melainkan ia ekonomi itu sendiri. Jejaring
merupakan wadah alami untuk memunculkan paradigma ekonomi baru yang
berlandaskan pada semangat kolaborasi dan partisipasi (participatory market
society) selayaknya gotong royong rakyat desa. Pendekatan kolaboratif
perlahan menjadi konsep yang menyeruak dalam praktik ekonomi generasi
milenial, menggantikan semangat kompetisi yang dominan di era sebelumnya.
Mayoritas bisnis yang disruptif saat ini
memfasilitasi munculnya kolaborasi
berbasis platform teknologi. Kolaborasi jadi prasyarat utama agar perusahaan
dapat berinovasi dan bersaing di pasar global yang terus berubah. Wilayah
yang bekerja sama menjadi prasyarat terbangunnya struktur ekonomi yang
kuat dan tahan krisis. Individu yang
bekerja sama menjadi prasyarat utama tercapainya kesuksesan bersama. Di depan
warga desa sering saya istilahkan sebagai desa bekerja, desa berjejaring, dan
desa berinovasi agar waras bareng, pinter bareng, dan sugih bareng.
Di era digital kita merayakan kelahiran
manusia sosial sebagai alternatif dari manusia ekonomi. Berbeda dengan
manusia ekonomi yang egois, manusia sosial berupaya mengejar keinginannya
sembari mempertimbangkan dampak dari setiap keputusan yang diambil terhadap
lingkungan kolaborasi yang dihidupinya. Rute menuju kesuksesan manusia sosial
bukanlah menuju puncak piramida keunggulan satu individu terhadap individu
lain, melainkan menuju sentral jaringan kolaborasi antarindividu dan sumber
daya. Keunggulan individual tak lagi diukur seberapa besar sumber daya yang
dikuasai, tetapi sejauh mana akses dimiliki mampu melingkupi keseluruhan
jejaring. Titik keseimbangan bukan pada puncak piramida statis, melainkan
titik-titik dinamika jejaring sosial yang terus bergerak.
Pergeseran paradigma ini akan memunculkan
perbedaan yang sangat fundamental secara makro. Paradigma manusia ekonomi
yang menjadi fondasi aktivitas ekonomi manusia selama ini telah berujung pada
persoalan eksploitasi sumber daya alam, ketimpangan, polusi, dan kerusakan
lingkungan. Kita mengenalnya dalam istilah tragedy of the commons. Tragedi
kepanasan, terendam air, atau sesak napas yang akan menimpa siapa saja, apa
pun agama, ras, akun Twitter, atau grup
Whatsapp-nya. Persoalan itu sangat
mungkin teratasi di era saat ini.
Konektivitas di era digital telah menciptakan lingkungan yang sangat baik
untuk munculnya partisipasi dan kerjasama dari bawah secara mandiri (bottom
up self regulation). Namun, ia tidak selalu dapat muncul dengan sendirinya.
Kita perlu secara sengaja menyiapkan kerangka kelembagaan yang sesuai agar
semangat kolaborasi dan partisipasi dapat memberikan dampak sosial dan
individu yang pantas. Inilah tindakan politik.
Skenario
Skenario masa depan di era digital tak
selalu berakhir baik. Ia juga dapat berupa mimpi buruk yang mengempas kita
dalam perpecahan dan ketertinggalan. Persoalan pertama adalah ketidakmerataan
akses terhadap teknologi informasi. Penetrasi internet di Indonesia saat ini
masih di kisaran 25 persen penduduk, mayoritas berada di Jawa dan Sumatera
(digital divide). Akses terhadap teknologi merupakan prasyarat mobilitas
sosial di era digital. Namun, saat ini masih dipengaruhi level pendidikan,
pendapatan, dan pertemanan seseorang. Pemerataan akses harus disertai
peningkatan literasi atas teknologi. Revolusi teknologi mengharuskan kita
sesegera mungkin melakukan revolusi pendidikan. Pendidikan harus memberikan penekanan pada penguasaan ”cara
belajar” daripada sekadar banyak tahu karena banyak tahu bukan lagi
keistimewaan di era digital. Belajar ”cara belajar” dalam rupa merumuskan
pertanyaan dengan tepat akan meningkatkan kemampuan adaptif manusia Indonesia
pada perubahan cepat masa depan.
Persoalan kedua, proses otomasi produksi
oleh mesin dan robot akan mengguncang pasar tenaga kerja. Kemajuan teknologi
saat ini telah memungkinkan produksi barang dan jasa berlangsung tanpa
melibatkan jumlah pekerja yang besar. Hal ini memberikan sinyal, revolusi
industri ke- 4 bisa berujung pada sekadar pengulangan realita ketimpangan
antarindividu dan antarwilayah yang tinggi. Kita jelas membutuhkan kerangka
konseptual dan institusional baru untuk menanggulanginya. Lagi-lagi ia juga
butuh tindakan politik.
Alternatif pertama konsep negara berbagi
melalui pemenuhan kebutuhan dasar universal (universal basic income/UBI) di
mana negara menjamin pendapatan minimum bagi setiap orang untuk melanjutkan
kehidupannya meski tanpa bekerja. UBI, selain sebagai jaring pengaman sosial,
juga akan memberikan keleluasaan bagi setiap orang menjelajahi daya cipta
estetika dan membentuk kemanusiaannya sembari membiarkan persoalan fisik
ditangani mesin dan robot. Saat robot cerdas mengangkut batu atau melakukan
operasi jantung, insinyur dan dokter membuat puisi dan naskah drama. Negara
harus menjamin mereka tetap makan tiga kali sehari untuk membuat puisi lebih
baik lagi.
Alternatif kedua adalah konsep perusahaan
berbagi melalui adanya semacam valuasi dan kompensasi keuangan kepada
khalayak banyak atas informasi pribadi yang mereka berikan secara ”sukarela”
di ruang-ruang digital. Informasi ”gratisan” tentang kolesterol, film
favorit, atau detak jantung adalah mata uang yang menjadi sumber keuntungan
utama korporasi teknologi saat ini. Persis inilah yang saya lihat di kantor
pusat perusahaan teknologi di Silicon Valley beberapa minggu lalu. Informasi
publik di ruang digital masuk dalam kategori aset terbuka (open asset),
selain konsep aset publik dan pribadi, yang
perlu mendapat perlindungan dari negara. Keuntungan dari aset itu
harus dapat divaluasi untuk kemudian dikembalikan dalam manfaat keuangan
sepenuhnya kepada rakyat. Sekali lagi, ini butuh tindakan politik dalam rupa
undang-undang.
Menurut laporan tahunan AI Vibrancy Index
2017, agregat perkembangan AI di kampus (publikasi ilmiah, konferensi, dan
lain-lain) dan industri (nilai investasi, start up, dan lain-lain) mengalami
peningkatan yang tajam, hampir 7 kali lebih besar dibandingkan awal 2000. AS,
Rusia, dan China adalah tiga negara terdepan dalam balapan teknologi
penguasaan AI, baik dalam kontribusi riset, investasi industri maupun adopsi
teknologi. Ini saja sudah memberikan gambaran sederhana peta negara yang akan
mendominasi dunia di masa depan. Indonesia tentu tidak boleh melongo saja
melihat yang seperti ini.
Tentu bagi Indonesia kutipan Putin di atas
bukan dalam kerangka mendominasi dunia. Penguasaan AI (di antaranya
robot-robot cerdas) adalah jalan untuk ”ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”
sebagaimana amanat konstitusi kita. Namun, tak hanya itu. Kita juga punya pekerjaan
rumah besar untuk segera memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa karena model ekonomi berbagi yang sedang tren sejauh ini
masih belum menjalar masif ke bawah.
Kita perlu mendorongnya melalui UBI, universal bassic assets, dan
pemanfaatan teknologi oleh unit bisnis rakyat dalam rupa BUMDes, dan badan
usaha milik rakyat. Cuma dengan itu, semua orang Indonesia di desa dan kota
siap menyongsong Revolusi Industri ke-4 dengan wajah berseri-seri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar