Menanti
Kebangkitan ”Beringin”
R Siti Zuhro ; Profesor Riset LIPI
|
KOMPAS,
16 Desember
2017
Sulit disangkal bahwa kasus hukum yang
menimpa Setya Novanto telah membuat oleng Partai Golkar. Hasil survei
Orkestra (pimpinan Poempida Hidayatulloh)
menyebutkan bahwa elektabilitas Partai Golkar turun menjadi 7,3
persen.
Survei dilakukan dengan melibatkan 1.300
responden di semua provinsi, menempatkan Partai Gerindra di posisi teratas
dengan tingkat keterpilihan 15,2 persen, diikuti PDI-P (12,5 persen),
Demokrat (7,4 persen), dan Golkar (7,3 persen). Gambaran yang lebih kurang
sama juga diperlihatkan hasil survei Poltracking yang menyebut elektabilitas
Golkar 10,9 persen, berada di bawah PDI-P (23,4 persen) dan Gerindra (13,6
persen).
Dengan terpilihnya Airlangga Hartarto
secara aklamasi dalam rapat pleno DPP Partai Golkar, 13 Desember 2017,
mampukah Golkar bangkit dari keterpurukan? Meski masih harus dikukuhkan dalam
Munaslub Partai Golkar, 19-20 Desember 2017, bisa dipastikan terpilihnya
Airlangga Hartarto tak akan menuai bantahan. Secara internal keterpilihannya
cukup memberi angin segar. Selain dikenal sebagai kader yang bersih, ia tidak
termasuk kader yang berada dalam pusaran konflik internal Partai Golkar. Ke
luar, tekadnya untuk menjadikan Partai Golkar sebagai partai yang lebih
bersih paling lama 1,5 tahun patut diapresiasi dan ditunggu realisasinya.
Menjadi
partai bersih
Boleh jadi sebagian publik menanggapi
pernyataan ketua umum baru Partai Golkar itu dengan sebelah mata. Di satu
sisi, persepsi publik tak bisa disalahkan. Sebab, selama ini Partai Golkar
dikenal publik sebagai partai yang pragmatis dan transaksional. Namun, di
pihak lain, Golkar juga berhak menyatakan tekadnya menjadi partai yang bersih
sebagai tanggapan atas kasus korupsi yang menimpa mantan ketua umumnya, Setya
Novanto.
Untuk meraih kembali kepercayaan publik,
tidak ada pilihan lain kecuali melakukan rebranding Partai Golkar sebagai
partai bersih yang modern dan profesional. Sebab, di era media sosial dewasa
ini, setiap partai tak bisa lagi bermain-main dengan publikatau external
pressure yang menuntut partai bebas dari korupsi. Penderitaan rakyat akibat
korupsi semakin disadari. Rakyat sudah kian cerdas dalam menggunakan hak-hak
politiknya. Hal ini tampak, misalnya, dari hasil pemilu legislatif di era
reformasi di mana partai pemenang pemilu selalu berganti-ganti.
Lepas dari persepsi negatif publik, tekad
Golkar untuk menjadi partai bersih bukan hal mustahil. Selain karena ketua
umum terpilihnya yang relatif bersih, Golkar memiliki banyak kader zaman
”generasi ’now’” yang mumpuni dan juga relatif bersih. Yang diperlukan adalah
keberanian kader-kader muda Golkar, khususnya, untuk menampilkan partai yang
beretika dan berani menyatakan tidak pada korupsi.
Kader
muda
Sudah saatnya kepengurusan baru Partai
Golkar bisa memberikan tempat lebih besar kepada kader-kader muda. Lambannya
Golkar dalam melakukan regenerasi kader-kadernya telah memperlambat agenda
reformasi partai sesuai tuntutan zaman. Hal ini tak berarti generasi tua
harus hengkang. Sebab, harus diakui bahwa dalam politik old soldiers never
die. Yang diperlukan adalah membangun struktur kepengurusan dan sistem
kaderisasi yang proporsional dan berkeadilan. Kuatnya kritik internal Golkar
dari kader-kader muda menunjukkan aspirasi dan suara mereka kurang mendapat
tempat.
Salah persoalan yang dihadapi Partai Golkar
untuk memperkuat soliditas internalnya adalah membangun sistem kandidasi
jabatan publik yang bersifat merit system. Dalam rangka pilkada serentak
2018, Golkar harus berani menampilkan kader-kadernya dalam pencalonan
kepala/wakil kepala daerah. Hal itu penting jika Golkar bertekad menjadi
partai bersih. Sebab, dengan memberikan tempat kepada orang luar partai,
sulit bagi Golkar menampik adanya politik transaksional dalam pencalonan
kepala/wakil kepala daerah.
Bagi Golkar, menafikan kader internal dalam
pencalonan kepala/wakil kepala daerah sama saja dengan menafikan dirinya,
yang oleh publik diakui kaya dengan SDM/kader yang baik dan andal. Hal
tersebut berpotensi merusak partai yang telah dibangun dengan susah payah.
Apabila hal ini dibiarkan, akan merusak bangunan sistem perekrutan dan
kaderisasi partai. Soliditas partai terancam karena tiadanya keadilan hak-hak
kader dan tiadanya jaminan kepastian akan masa depan dan mata rantai
kaderisasi dan regenerasi kader. Sebab, berbeda dengan banyak partai lain,
Golkar bukan ”partai personal” yang diidentikkan publik dengan tokoh
utamanya. Di bawah ketua umum baru,
masih terbuka kesempatan bagi Golkar melakukan reevaluasi dukungan pencalonan
kepala/wakil kepala daerah.
Dibanding beberapa partai lain, Golkar
berpotensi besar untuk meraih dukungan luas publik. Salah satu keuntungan
Golkar adalah bahwa ia bisa menjadi rumah bagi aneka kelompok sosial, agama,
dan aliran keagamaan. Ia juga menjadi rumah bagi semua kelas sosial. Hal
tersebut menjadi mesiu penting untuk dapat mengembalikan kedigdayaan Golkar
jika bisa dikelola dengan baik.
Untuk itu, yang diperlukan adalah bagaimana
membangun kepemimpinan partai yang inklusif, membangun partai yang aspiratif,
melakukan pendidikan politik yang partisipatif, membangun manajemen keuangan
partai yang transparan, membuat sistem pengelolaan organisasi dan
administrasi berbasis teknologi, membangun politik dua arah, baik ke dalam
maupun ke luar, serta membangun sistem perekrutan dan kaderisasi yang
berdasarkan loyalitas dan merit system. Sebagai partai ”karya”, tantangan
Golkar lainnya adalah bagaimana meyakinkan publik bahwa karyanya bermanfaat
dan aspiratif. Golkar harus bisa menjadikan dirinya partai rakyat dan bukan
partai yang elitis.
Partai
yang beretika
Selain menjadikan dirinya sebagai partai
bersih, satu tuntutan publik yang penting diperhatikan adalah mampukah Golkar
menjadi partai pelopor yang menjunjung tinggi etika. Di era demokrasi
partisipatoris saat ini, Golkar harus mengambil pelajaran penting bukan saja
dari hasil pemilu legislatif, melainkan juga dari pemilu presiden langsung.
Meskipun Golkar pernah memenangi Pemilu Legislatif 2004, ia belum pernah
memenangkan calon presidennya dalam pilpres. Bahkan, pada Pilpres 2014,
Partai Golkar gagal mengajukan capresnya.
Untuk menjadi orang nomor satu di
Indonesia, tokoh-tokoh Golkar kiranya perlu mengambil pelajaran dari
perpaduan karakter Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).
SBY menjadi presiden untuk dua periode karena ia berhasil mencitrakan dirinya
sebagai pemimpin yang bersih dan antikorupsi. Sementara itu, Jokowi berhasil
menjadi presiden karena ia, khususnya, dianggap sebagai pemimpin yang
mencerminkan kesederhanaan dan merakyat.
Seperti dialami semua partai, salah satu
tantangan berat untuk menjadikan Partai Golkar sebagai partai bersih adalah
berkenaan dengan ongkos politik yang mahal. Untuk mengatasinya, tidak ada
pilihan lain kecuali membangun partisipasi rakyat dalam membiayai partai. Hal
tersebut pernah diperlihatkan PPP dan PDI di era Orde Baru, yang ditunjukkan
oleh para pendukung kedua partai tersebut, khususnya dalam setiap pemilu. Pertanyaannya,
mampukah Partai Golkar membangun partisipasi dan mengambil simpati rakyat?
Waktu yang akan menjawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar