Adicerita
Hamka (2)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
30 November
2017
Hamka dengan sosok intelektual dan
aktivisme meninggalkan adicerita yang
direkonstruksi James Rush amat baik: Hamka’s Great Story: A Master Writer’s
Vision of Islam for Modern Indonesia (edisi Inggris 2016; Indonesia 2017).
Buya A Syafii Maarif dalam pengantar menegaskan, karya Rush perlu dikaji para
ahli secara khusus.
Adicerita. Inilah salah satu fokus utama
pembahasan //Hamka’s Great Story// dalam seminar internasional yang
diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Profesor DR Hamka (22/11/17).
Di mana terletak adicerita Hamka yang
tercakup dalam judul buku ini? Rush menjelaskan, Hamka yang banyak bicara,
banyak berpendapat, serta perasa mendapatkan banyak pembaca [dan pengikut].
Meski gaya tulisannya menghibur dan populer, dia membahas perkara-perkara
serius. Pembaca [dan pengagumnya] bertanya kepada dia, meminta bimbingan
dalam hal-hal penting dalam kehidupan mereka.
Menurut Rush, memang bagi jutaan Muslim
Indonesia, Hamka menjadi juru cerita utama generasi mereka; pencipta narasi
besar atau adicerita yang menurut Robert Berkhofer menata masa lalu, menafsir
masa kini, dan memperkirakan masa depan.
Dalam suatu adicerita, yang penting bukan
hanya tema-tema besar—seperti soal Nabi Muhammad, tauhid, rukun Islam, Quran
dan hadis, dan juga Indonesia—tapi juga hal-hal kecil. Yang terakhir ini
misalnya tentang kisah penjahat dan pahlawan, pepatah, kiasan, sejarah lokal,
gosip, dan lelucon yang bisa menghibur dan sekaligus menyakitkan.
Dalam kerangka itu, adicerita Hamka
memberikan banyak jawaban atas pertanyaan besar semacam: Bagaimana saya harus
hidup? Apa artinya menjadi Muslim? Apa artinya menjadi Indonesia?
Namun,Hamka tidak berhenti sampai di situ.
Dia juga memberikan banyak jawaban atas pertanyaan yang bagi sebagian orang
mungkin remeh temeh semacam “bolehkah makan margarin?”
Memperjelas lebih jauh tentang adicerita,
Buya Syafii mengutip edisi Inggris paragraf terakhir Rush: “Di sinilah
terletak kisah besar [adicerita]nya hari ini, sambil membingkai masa lampau
dan masa kini bagi jutaan manusia yang, tanpa mengenali suara Hamka yang
membentuknya, meliputi rasa percaya dirinya yang luar biasa pada kekuatan
manusia; kepercayaannya pada Islam sebagai agama pembebas dan impiannya untuk
mengisi kehidupan Indonesia modern dan bangsa dengan kearifan dan
kebenarannya.”
Masih terkait adicerita itu, James Rush
mencatat, Hamka memberikan “kepada kami, para peneliti Indonesia, barang
langka yang mungkin unik; riwayat hidup penuh karya tulis, serta sudut
pandang dan pengaruh pentingnya sebagai cendekiawan Muslim pada masa
pembentukan negara [Indonesia]. Meresapi adicerita Hamka berarti memasuki
wacana yang didalami satu bagian besar masyarakat Indonesia modern”.
Apa warisan
Buya Hamka untuk Indonesia [modern] hari ini dan masa depan? Bagi Rush,
Hamka dengan segala kekuatan dan kelemahannya telah bersatu dengan
keindonesiaan. “Karena itu, bagi Indonesia yang masih gamang dalam merumuskan
jati dirinya setelah merdeka 71 [72] tahun, karya-karya Hamka perlu
disebarluaskan terus-menerus karena di dalam berhimpun, pesan abadi untuk
kebesaran dan kedaulatan bangsa ini.
Hamka sangat mencintai Indonesia. Jiwa
juang Hamka pasti berontak menyaksikan sebagian anak bangsa yang sampai hati
melukai Indonesia dengan tangan kumuh berlumur darah.”
Pernyataan Rush ini segera mengingatkan
orang pada tantangan yang dihadapi Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir.
Tantangan itu terkait kegamangan yang terjadi di Indonesia. Ada perubahan
cepat Indonesia menjadi demokrasi. Pada saat yang sama juga terlihat meningkatnya
gejala sebagian warga Muslim yang kehilangan cinta pada Indonesia dengan
melukai Indonesia lewat berbagai bentuk aksi kekerasan.
Sebaliknya, Hamka tidak pernah berhenti
mencintai Indonesia. Dia tegas menyatakan “Saya akan jadi Hamka dari
Indonesia”, bukan dari tempat-tempat lain di dunia Muslim di luar Indonesia.
Dengan begitu, Hamka menolak transnasionalisme dalam berbagai bentuknya.
Hamka pernah mengalami masa sulit di masa
Jepang, di awal kemerdekaan dan di masa Orde Lama Presiden Sukarno. “Namun,
semua realitas pahit itu ... membuat dia menjadi lebih serius dan makin fokus
ke satu tujuan. Tujuan itu adalah penyebaran adiceritanya, di mana Indonesia,
suatu negara modern, bakal bersatu di sekeliling nilai dan ajaran Islam.”
Bagaimana membangun Indonesia modern dalam
pemikiran Hamka? Pertama, dia mengingatkan, sejarah politik Islam tidak
memberikan jawaban. Hamka mengungkapkan, selama berabad-abad di bawah
kekuasaan negara Islam, umat Muslim hidup di bawah “khalifah” [dan sultan]
yang berkuasa penuh. Mereka bekerja sama dengan ulama menindas pemikiran
bebas dan membuat umat memasuki zaman taklid yang gelap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar