Adicerita
Hamka (3)
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta;
Anggota Komisi
Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
REPUBLIKA,
14 Desember
2017
Adicerita Hamka tentang Indonesia modern
yang dibayangkannya belum selesai. Seperti diungkap James Rush, Hamka’s Great
Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia (edisi Inggris
2016; Indonesia 2017) dalam adiceritanya Hamka membayangkan lebih jauh
tentang ‘Islam untuk Indonesia’.
Atas dasar bacaannya yang akurat tentang
sejarah, Hamka menolak ‘negara Islam’ dan/atau khilafah. Menurut Hamka,
kekhalifahan sudah menjadi masa lalu; dan karena itu tidak lagi relevan untuk
masa kini dan mendatang. Bagi dia, teokrasi juga tidak relevan; “Indonesia
seharusnya tidak menjadi teokrasi”.
Dalam adiceritanya, Hamka memandang, sistem
politik yang diadopsi para pendiri bangsa sudah tepat. Dia menjelaskan,
adopsi demokrasi sudah tepat pula karena demokrasi kita [Indonesia] juga
punya akar dalam Islam.
Dalam kaitan itu, Rush mengutip Hamka yang
menyatakan: “Berabad-abad lalu Nabi Muhammad menunjukkan caranya. Dia dan
para sahabat mempraktikkan satu bentuk demokrasi, di mana keputusan-keputusan
penting dibuat dengan musyawarah (syura).
Selain itu, nilai-nilai modern demokrasi
sudah ada dalam Alquran dan hadis. Nilai-nilai itu mencakup kesetaraan semua
manusia di mata Allah, kebebasan dari tirani, kebebasan berpikir dan berbicara,
dan keadilan sosial. Nabi Muhammad sendiri tidak menetapkan bentuk
pemerintahan tertentu, termasuk khilafah”.
Hamka menegaskan, Alquran dan contoh dari
Nabi Muhammad sendiri memberikan kebebasan kepada umat Islam memilih bentuk
pemerintahan yang cocok dengan zamannya. Dengan argumen itu, Hamka mendukung
negara Indonesia merdeka yang memilih bentuk republik berdasarkan prinsip dan
nilai demokrasi.
Perjalanan demokrasi Indonesia tidak
selalui sesuai dengan adicerita Hamka. Dia mengecam Demokrasi Terpimpin yang
diberlakukan Presiden Sukarno melalui Dekrit Juli 1958. Hamka menyebut
Demokrasi Terpimpin sebagai bentuk ‘totalitarianisme’ Sukarno.
Sikap Hamka seperti itulah yang membuatnya
memuat tulisan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta berjudul ‘Demokrasi Kita’
dalam majalah Panji Masyarakat yang dia pimpin. Mengkritik Demokrasi
Terpimpin, akibatnya Panji Masyarakat terkena pemberedelan oleh Presiden
Sukarno.
Berdasarkan pengetahuannya yang dalam
tentang sejarah dan refleksinya mengenai Indonesia, Hamka menerima Indonesia
merdeka 17 Agustus 1945 dengan UUD 1945. Bagi Hamka dalam kaitan dengan
eksistensi Indonesia, ada beberapa prinsip yang tidak bisa diubah. Di antara
yang paling pokok tidak boleh diubah itu adalah Pancasila dengan sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan kerangka berpikir seperti itu, dalam
kesimpulan Rush, Hamka selalu menentang upaya untuk menjadikan Indonesia
negara Islam. Bagi Hamka, bukan negaranya yang harus menjadi Islam; tetapi
masyarakatnya—mengisi dengan [nilai-nilai] Islam. “Indonesia sebagai ‘negara
Islam’ bakal terbukti karena kehidupan umat kita”.
Adicerita Hamka tentang negara Indonesia
modern juga mencakup toleransi beragama. Dalam konteks itu, Hamka mengutip
ajaran Nabi Muhammad SAW; berbuat buruk terhadap non-Muslim (dalam sejarah
Rasulullah, terutama orang Kristiani dan Yahudi yang memiliki tradisi
kenabian yang sama) sama saja dengan berbuat buruk terhadap Nabi.
Lebih jauh, dalam buku kecil Islam dan
Demokrasi (1946), Hamka menguraikan lebih lanjut tentang toleransi terkait
dengan sila pertama Pancasila—Ketuhanan Yang Maha Esa. Bagi Hamka itulah
dasar negara yang autentik.
Selanjutnya: “Walau Tuhan punya banyak
nama, hanya ada satu Tuhan. Dan Tuhan-lah yang memberikan tanah yang cantik
molek ini kepada leluhur kita, lama sebelum mereka menjadi umat Buddha,
Hindu, Muslim, dan Kristen”.
Dalam karya yang ditulis di masa revolusi
mempertahankan kemerdekaan, Hamka menegaskan: \"Dalam saat penting ini,
kita jangan terpecah belah dari sesama orang Indonesia. Justru, marilah kita
puja ‘Tuhan Yang Maha Esa' itu menurut agama dan keyakinan kita
masing-masing, marilah kita berdoa dalam sembahyang kita, kiranya tanah
pemberian-Nya ini senantiasa diberinya perlindungan”.
Rush menyimpulkan, Hamka sangat percaya
dengan keselarasan antaragama. Dia sering berbicara tentang sejarah toleransi
Islam. Pemeluk berbagai agama harus hidup berdampingan secara damai sebagai
bangsa Indonesia dengan beribadah sendiri-sendiri.
Meski demikian, Hamka menegaskan, saling
hormat menghormati adalah kunci keselarasan dan kerukunan itu. Mencoba
mengajak umat suatu agama pindah ke agama lain jelas melanggar rasa hormat
itu. Hamka tidak menyembunyikan kegusaran tentang masalah ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar