Batubara dan Masa Depan Energi Kita
Ginandjar Kartasasmita ; Menteri Pertambangan dan Energi Periode
1988-1993
|
KOMPAS,
08 Oktober 2015
Saya hadir pada HUT Ke-70 Kementerian ESDM, tanggal 28 September
2015. Salah satu pesan yang saya tangkap waktu itu adalah kekhawatiran bahwa
cadangan energi berbahan fosil sudah akan habis.
Jelas pandangan ini harus dipertajam karena yang akan habis
hanyalah minyak dan gas bumi (migas), sedangkan energi fosil lain, batubara,
masih tersedia sangat banyak. Batubara justru dapat menjadi energi masa depan
pengganti migas. Batubara pertama kali
digunakan secara komersial di Tiongkok sekitar 1000 Sebelum Masehi (SM),
antara lain untuk mencairkan tembaga
dan mencetak uang logam. Bangsa Romawi mulai menggunakannya sekitar 400 SM. Penemuan revolusional mesin uap
oleh James Watt, yang dipatenkan 1769, sangat berperan dalam pertumbuhan
penggunaan batubara.
Gasifikasi dan
likuifikasi
Peran batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang
dengan kian meningkatnya pemakaian minyak. Sejak 1960, minyak bumi menempati
posisi teratas sebagai sumber energi utama menggantikan batubara.
Dibandingkan migas, kekurangan batubara adalah bentuk yang berupa padatan
sehingga transportasi dengan pipa sulit dilakukan.
Namun, sudah ada teknologi yang dapat mengatasi masalah itu.
Pertama, gasifikasi. Gasifikasi batubara adalah pengubahan batubara dari
bahan bakar padat menjadi bahan bakar gas. Dalam perubahan batubara padat
menjadi gas, materi yang tidak diinginkan yang terkandung dalam batubara,
seperti senyawa sulfur dan abu, dihilangkan dengan menggunakan metode
tertentu sehingga dihasilkan gas bersih dan dapat dialirkan sebagai sumber
energi sebagaimana gas alam konvensional. Teknologinya sebenarnya sudah lama
dikenal. Sejak awal abad ke-19 sampai sekitar 1960, suplai gas kota berasal
dari batubara.
Dari segi keekonomian, proyek gasifikasi batubara untuk
pembangkitan tenaga listrik biasanya butuh biaya lebih besar dibandingkan
PLTU batubara biasa dengan kapasitas lebih kurang sama. Namun, jika
diperhitungkan berbagai keuntungan seperti diuraikan di atas,
kerugian-kerugian itu dapat tertutup.
Kedua, likuifikasi.
Likuifikasi batubara adalah pengubahan batubara padat menjadi bahan
bakar cair. Pencairan dibedakan antara indirect coal liquefaction (ICL/secara
tak langsung) dan direct coal liquefaction (DCL/secara langsung). ICL adalah
pencairan batubara melalui tahapan gasifikasi, sedangkan DCL dari bentuk
padat langsung ke cair.
Meski tidak sepanjang sejarah gasifikasi batubara, sejarah
likuifikasi batubara juga cukup panjang, sekitar satu abad. Jerman
memanfaatkan bahan bakar batubara cair dalam Perang Dunia (PD) I dan PD II.
Pada PD II, 92 persen bahan bakar untuk pesawat terbang dan 50 persen untuk
BBM berasal dari batubara. Angkatan perang Jepang juga memanfaatkan bahan
bakar cair dari batubara pada PD II.
Likuifikasi batubara dengan teknologi lebih canggih dapat
menghasilkan BBM sintetis untuk menyuplai berbagai kebutuhan energi dalam
negeri. Hal ini terbukti dengan kisah sukses pembuatan bahan bakar sintetis
dari batubara yang dikembangkan pada masa Afrika Selatan harus menghadapi
embargo negara penghasil minyak karena kebijakan apartheidnya. Afsel
memproduksi bahan bakar cair dari batubara sejak 1955.
Investasi pengolahan
Negara-negara lain juga telah mengembangkan proyek-proyek
likuifikasi batubara dengan teknologi lebih mutakhir, seperti AS, Jerman,
Jepang, Australia, dan India. Namun,
Afsel dan Tiongkok adalah yang terdepan dalam upaya ini. Setiap ton batubara padat
yang diolah (dalam reaktor Bergius) dapat menghasilkan 6,2 barrel BBM
sintesis berkualitas tinggi. Bahan ini dapat dipergunakan sebagai pengganti
BBM pesawat jet, mesin diesel, serta bensin dan BBM biasa. Kualitas batubara
cair yang dihasilkan sama dengan minyak mentah dan harga jualnya bisa
bersaing. Menurut sebuah studi, batubara cair akan ekonomis pada harga minyak
48 dollar AS-75 dollar AS per barrel, lebih kurang pada tingkat harga
sekarang.
Teknologi pengolahannya juga cukup ramah lingkungan. Kalaupun
menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa produksi lain), limbah itu masih
dapat dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal. Bahkan, sisa
gas hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan jadi bahan bakar. Walaupun
investasi awal kilang batubara cair lebih mahal dibandingkan kilang minyak
bumi dan biodiesel, harga bahan bakunya lebih murah sehingga konversi ke BBM
berbasis batubara sangat sesuai untuk pemanfaatan cadangan batubara muda,
yang tidak mudah pemasarannya. Ini khususnya bagi Indonesia mengingat potensinya besar, sekitar 23
miliar ton (60 persen cadangan nasional) atau setara 37 miliar barrel bahan
bakar cair sintetis.
Di tengah kebutuhan energi yang meningkat, bangsa Indonesia
dilelahkan oleh permasalahan BBM, subsidi, dan impornya. Ketergantungan pada
BBM sebagai sumber energi utama perlu dikurangi. Upaya memanfaatkan batubara
guna menggantikan gas bumi untuk berbagai kebutuhan dan menggunakan batubara
cair guna mengganti minyak diesel (MFO) untuk PLTD, terutama di daerah terpencil,
mengganti gas bumi dalam pengusahaan minyak (EOR) dan operasi kilang LNG,
serta mengganti LSWR di kilang minyak (refinery) akan menguntungkan ekonomi
nasional.
Dukungan kuat pemerintah diperlukan pada tahap awal investasi,
tetapi dalam jangka menengah keekonomiannya akan terpenuhi secara komersial,
seperti Afsel dalam hal batubara dan Brasil dalam hal biofuel. Intinya, harus
diambil kebijakan visioner berdampak jangka panjang, tetapi harus segera
dimulai dari sekarang. Pertanyaannya, jika emerging economies lain, seperti Afsel, Brasil, dan Tiongkok,
berani dan berhasil mengambil langkah-langkah besar guna mengamankan
ketahanan dan kemandirian energi untuk mendukung ketahanan dan kemandirian
ekonominya, mengapa Indonesia tidak bisa? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar