Rabu, 16 September 2015

Spirit Kebinekaan dari Manado

Spirit Kebinekaan dari Manado

Fathorrahman Ghufron  ;  Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta
                                                     KOMPAS, 14 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Dalam kegiatan The Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XV di Manado, 3-6 September 2015, yang mengangkat tema ”Harmony in Diversity: Promoting Moderation and Preventing Conflicts in Socio-Religious Life”, diluncurkan sebuah Deklarasi Manado.

Ada lima butir dalam deklarasi tersebut. Pertama, meyakini bahwa keragaman bangsa Indonesia adalah sumber kekuatan. Kedua, bertekad menjaga suasana damai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk Indonesia yang kuat, sejahtera, dan berdaulat. Ketiga, akan bahu-membahu dengan semua komponen bangsa untuk mencegah setiap usaha, gerakan, dan pemikiran yang dapat mengusik kedamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, mendukung setiap langkah negara untuk mencegah berkembangnya segala bentuk fanatisme, ekstremisme, dan radikalisme yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan golongan. Kelima, mengajak semua komponen bangsa untuk berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai kebersamaan, dan menjaga kedamaian.

Secara prinsipiil, kelima pernyataan itu meniscayakan adanya spirit kebinekaan dan perdamaian sebagai modal untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara agar lebih baik. Hal ini penting ditegaskan mengingat serangkaian tindak kekerasan selalu menyeruak di berbagai sendi kehidupan masyarakat.

Berbagai peristiwa pilu yang menimpa berbagai kelompok minoritas seperti yang dialami kelompok Ahmadiyah, Syiah, penganut penghayatan, dan sebagainya kian menunjukkan betapa kelompok tirani mayoritas yang berafiliasi pada ideologi mainstream—baik yang berbaju agama, politik, kekuasaan lokal, maupun transnasional—dengan leluasa memainkan peran intimidasinya terhadap pihak-pihak yang dianggap berbeda pandangan dan keyakinan dengan dirinya. Bahkan, pada titik paling miris, tindakan barbarian yang kerap dipertontonkan kelompok tirani mayoritas tersebut jarang ditindak dengan tegas oleh aparat.

Tidak berlebihan apabila stigma ”yang kuat bisa melumat yang lemah” maupun ”yang digdaya absah memperdaya yang papa” selalu berkelindan dalam laku keseharian kaum beragama, politisi, bahkan penegak hukum yang merasa dirinya sebagai pewaris takhta kekuasaan yang berlindung di bawah ketiak UU.

Mempromosikan moderasi

Menyikapi hal ini, pemerintahan Jokowi dan berbagai pemangku kekuasaan, baik di level struktural maupun kultural, harus memperhatikan secara serius potret kekerasan yang selama ini banyak terjadi di berbagai belahan Bumi Pertiwi. Hal ini agar kehidupan berbangsa dan bernegara di masa akan datang semakin menunjukkan kemajuan yang berarti.

Kalau perlu, ada kebijakan pemerintah dan berbagai elemen lain untuk mewaspadai berbagai kelompok tirani mayoritas ini. Di sampingitu, pemerintah juga perlu menindaklanjuti berbagai gagasan moderasi, baik yang diusung pemerintah sendiri maupun kelompok civil society melalui kebijakan pembinaan kehidupan sosial beragama.

Beberapa konsep keberagamaan yang moderat seperti ”Islam Nusantara” yang direaktualisasikan Nahdlatul Ulama (NU) maupun ”Islam Berkemajuan” yang diteguhkan Muhammadiyah, perlu diserap ke dalam berbagai kegiatan. Dengan begitu, semua komponen masyarakat bisa mengetahui dan memahami berbagai konsep keberagamaan yang moderat melalui pandangan dan pemikiran yang luhur tersebut.

Tidak tertutup kemungkinan pula berbagai nilai kearifan lokal yang tersebar di sejumlah daerah, yang senapas dengan penguatan moderasi, perlu diberdayakan agar masyarakat memiliki sense of multiculturalism untuk bersama-sama merawat kebinekaan Indonesia. Sebab, banyak persoalan masyarakat yang proses penyelesaiannya bukan melalui agama, melainkan dengan prosesi adat dan kepercayaan setempat

Dengan demikian, semangat moderasi tidak sekadar jadi slogan parsial yang hanya ditangkap oleh segelintir orang yang merasa at home dengan organisasi keagamaan maupun organisasi kemasyarakatannya. Moderasi juga tak sekadar jadi konsumsi pengetahuan sekelompok umat beragama beraliran progresif yang rajin merangkainya dengan term-term yang mencerahkan. Akan tetapi, semangat moderasi harus menjadi lingua franca semua pihak yang masing-masing bertanggung jawab untuk mempromosikannnya ke berbagai pihak lainnya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Mencegah konflik

Kebersamaan dan kedamaian adalah kata kunci yang ditegaskan dalam Deklarasi Manado. Sarana yang digunakan untuk mengawal dua entitas tersebut adalah dengan menguatkan dan mempromosikan semangat moderasi kepada berbagai pihak. Namun, satu hal yang tak kalah penting adalah kesigapan kita untuk terlibat secara proaktif dalam mencegah berbagai potensi konflik, baik secara terang-terangan maupun secara samar.

Dalam kaitan ini, konflik secara terang-terangan, sesungguhnya hanyalah ekspresi temporal yang terkadang diluapkan oleh sebuah pendorongyang kadang tak berkait dengan kecenderungan pemikiran seseorang maupun kelompok yang fanatik dengan ajarannya. Semisal konflik di Ambon, Lampung, dan Kalimantan yang di-blow up sebagai isu agama dan etnis, sebenarnya banyak dipicu oleh dendam pribadi perorangan yang berakumulasi dan diarahkan pada motif agama.

Justru yang perlu dicegah dan diwaspadai adalah konflik secara samar yang motif dan dampaknya berkesesuaian antara cara pandang, cara berpikir, dan cara bertindak dalam realitas subyektivisme yang absolut, non-dialogis, apologetik-defensif, dan klaim paling benar. Konflik secara samar selalu mengonstruksi kekerasan simbolik—meminjam istilah Pierre Bourdieu—dengan cara menolak berbagai konsep yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinannya.

Kesinambungan kekerasan secara samar yang berkelindan, dan ujaran kebencian secara terus- menerus, tidak menutup kemungkinan menjadi semacam doxa, yaitu kepercayaan dan keyakinan yang secara terang-terangan akan menganggap bahwa moderasi yang melibatkan lintas iman dan kelompok adalah ajaran yang tak sesuai agamanya.

Mencermati potret konflik sosial yang sumber pemicunya banyak disebabkan cara pandang keagamaan yang eksklusif-radikalistik, pemerintah perlu memberi perhatian secara serius, yang kemudian ditindaklanjuti oleh kebijakan yang pro-moderasi dan toleransi. Semoga Deklarasi Manado dalam kegiatan AICIS XV di Manado bisa memberikan inspirasi perdamaian dan semangat kebersamaan bagi seluruh rakyat Indonesia dan menjadi tonggak sejarah pembaruan kehidupan sosial beragama yang harmonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar