Spirit Kebinekaan dari Manado
Fathorrahman Ghufron ; Dosen Sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga; A’wan
Syuriyah PWNU Yogyakarta
|
KOMPAS,
14 September 2015
Dalam kegiatan The Annual International Conference on
Islamic Studies (AICIS) XV di Manado, 3-6 September 2015, yang mengangkat
tema ”Harmony in Diversity: Promoting
Moderation and Preventing Conflicts in Socio-Religious Life”, diluncurkan
sebuah Deklarasi Manado.
Ada lima butir dalam
deklarasi tersebut. Pertama, meyakini bahwa keragaman bangsa Indonesia adalah
sumber kekuatan. Kedua, bertekad menjaga suasana damai dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk Indonesia yang kuat, sejahtera, dan berdaulat.
Ketiga, akan bahu-membahu dengan semua komponen bangsa untuk mencegah setiap
usaha, gerakan, dan pemikiran yang dapat mengusik kedamaian dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Keempat, mendukung setiap langkah negara untuk
mencegah berkembangnya segala bentuk fanatisme, ekstremisme, dan radikalisme
yang mengatasnamakan suku, agama, ras, dan golongan. Kelima, mengajak semua
komponen bangsa untuk berperan aktif dalam menegakkan nilai-nilai
kebersamaan, dan menjaga kedamaian.
Secara prinsipiil,
kelima pernyataan itu meniscayakan adanya spirit kebinekaan dan perdamaian
sebagai modal untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara agar lebih
baik. Hal ini penting ditegaskan mengingat serangkaian tindak kekerasan
selalu menyeruak di berbagai sendi kehidupan masyarakat.
Berbagai peristiwa
pilu yang menimpa berbagai kelompok minoritas seperti yang dialami kelompok
Ahmadiyah, Syiah, penganut penghayatan, dan sebagainya kian menunjukkan
betapa kelompok tirani mayoritas yang berafiliasi pada ideologi
mainstream—baik yang berbaju agama, politik, kekuasaan lokal, maupun transnasional—dengan
leluasa memainkan peran intimidasinya terhadap pihak-pihak yang dianggap
berbeda pandangan dan keyakinan dengan dirinya. Bahkan, pada titik paling
miris, tindakan barbarian yang kerap dipertontonkan kelompok tirani mayoritas
tersebut jarang ditindak dengan tegas oleh aparat.
Tidak berlebihan
apabila stigma ”yang kuat bisa melumat yang lemah” maupun ”yang digdaya absah
memperdaya yang papa” selalu berkelindan dalam laku keseharian kaum beragama,
politisi, bahkan penegak hukum yang merasa dirinya sebagai pewaris takhta
kekuasaan yang berlindung di bawah ketiak UU.
Mempromosikan moderasi
Menyikapi hal ini,
pemerintahan Jokowi dan berbagai pemangku kekuasaan, baik di level struktural
maupun kultural, harus memperhatikan secara serius potret kekerasan yang
selama ini banyak terjadi di berbagai belahan Bumi Pertiwi. Hal ini agar
kehidupan berbangsa dan bernegara di masa akan datang semakin menunjukkan
kemajuan yang berarti.
Kalau perlu, ada
kebijakan pemerintah dan berbagai elemen lain untuk mewaspadai berbagai
kelompok tirani mayoritas ini. Di sampingitu, pemerintah juga perlu
menindaklanjuti berbagai gagasan moderasi, baik yang diusung pemerintah
sendiri maupun kelompok civil society melalui kebijakan pembinaan kehidupan
sosial beragama.
Beberapa konsep
keberagamaan yang moderat seperti ”Islam Nusantara” yang direaktualisasikan
Nahdlatul Ulama (NU) maupun ”Islam Berkemajuan” yang diteguhkan Muhammadiyah,
perlu diserap ke dalam berbagai kegiatan. Dengan begitu, semua komponen
masyarakat bisa mengetahui dan memahami berbagai konsep keberagamaan yang
moderat melalui pandangan dan pemikiran yang luhur tersebut.
Tidak tertutup
kemungkinan pula berbagai nilai kearifan lokal yang tersebar di sejumlah
daerah, yang senapas dengan penguatan moderasi, perlu diberdayakan agar
masyarakat memiliki sense of multiculturalism untuk bersama-sama merawat
kebinekaan Indonesia. Sebab, banyak persoalan masyarakat yang proses
penyelesaiannya bukan melalui agama, melainkan dengan prosesi adat dan
kepercayaan setempat
Dengan demikian,
semangat moderasi tidak sekadar jadi slogan parsial yang hanya ditangkap oleh
segelintir orang yang merasa at home dengan organisasi keagamaan maupun
organisasi kemasyarakatannya. Moderasi juga tak sekadar jadi konsumsi
pengetahuan sekelompok umat beragama beraliran progresif yang rajin
merangkainya dengan term-term yang mencerahkan. Akan tetapi, semangat
moderasi harus menjadi lingua franca semua pihak yang masing-masing
bertanggung jawab untuk mempromosikannnya ke berbagai pihak lainnya, baik di
dalam maupun di luar negeri.
Mencegah konflik
Kebersamaan dan
kedamaian adalah kata kunci yang ditegaskan dalam Deklarasi Manado. Sarana
yang digunakan untuk mengawal dua entitas tersebut adalah dengan menguatkan
dan mempromosikan semangat moderasi kepada berbagai pihak. Namun, satu hal
yang tak kalah penting adalah kesigapan kita untuk terlibat secara proaktif
dalam mencegah berbagai potensi konflik, baik secara terang-terangan maupun
secara samar.
Dalam kaitan ini,
konflik secara terang-terangan, sesungguhnya hanyalah ekspresi temporal yang
terkadang diluapkan oleh sebuah pendorongyang kadang tak berkait dengan
kecenderungan pemikiran seseorang maupun kelompok yang fanatik dengan
ajarannya. Semisal konflik di Ambon, Lampung, dan Kalimantan yang di-blow up
sebagai isu agama dan etnis, sebenarnya banyak dipicu oleh dendam pribadi
perorangan yang berakumulasi dan diarahkan pada motif agama.
Justru yang perlu
dicegah dan diwaspadai adalah konflik secara samar yang motif dan dampaknya
berkesesuaian antara cara pandang, cara berpikir, dan cara bertindak dalam
realitas subyektivisme yang absolut, non-dialogis, apologetik-defensif, dan
klaim paling benar. Konflik secara samar selalu mengonstruksi kekerasan
simbolik—meminjam istilah Pierre Bourdieu—dengan cara menolak berbagai konsep
yang dianggap tidak sesuai dengan keyakinannya.
Kesinambungan
kekerasan secara samar yang berkelindan, dan ujaran kebencian secara terus-
menerus, tidak menutup kemungkinan menjadi semacam doxa, yaitu kepercayaan
dan keyakinan yang secara terang-terangan akan menganggap bahwa moderasi yang
melibatkan lintas iman dan kelompok adalah ajaran yang tak sesuai agamanya.
Mencermati potret
konflik sosial yang sumber pemicunya banyak disebabkan cara pandang keagamaan
yang eksklusif-radikalistik, pemerintah perlu memberi perhatian secara
serius, yang kemudian ditindaklanjuti oleh kebijakan yang pro-moderasi dan
toleransi. Semoga Deklarasi Manado dalam kegiatan AICIS XV di Manado bisa
memberikan inspirasi perdamaian dan semangat kebersamaan bagi seluruh rakyat
Indonesia dan menjadi tonggak sejarah pembaruan kehidupan sosial beragama
yang harmonis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar