Haji dan Kesalehan Sosial
Muhammad Kholid Asyadulloh ; Peneliti Pascasarjana UIN Sunan Ampel,
Surabaya
|
KOMPAS,
14 September 2015
Sejak 21 Agustus lalu
jemaah calon haji Indonesia secara bertahap mulai terbang menuju tanah suci
Mekkah. Gelombang migrasi religius sesaat ini seharusnya mampu melahirkan
pribadi Muslim yang bertransformasi menjadi lebih saleh secara individual
ataupun sosial.
Sama halnya dengan
peristiwa keagamaan lain, rukun Islam kelima ini mengandung makna
simbolik-metaforis tentang harmoni hubungan vertikal manusia dengan Tuhan (habl min Allah) serta hubungan
horizontal antarmanusia (habl min
al-nas).
Sayangnya, idealitas
itu tidak selamanya terwujud dalam keseharian setelah jemaah haji kembali ke
Tanah Air. Fenomena ini secara mudah bisa ditangkap dari keberadaan olok-olok
masyarakat yang menyebut sosok haji mabur (terbang, Jawa) sebagai pelesetan
untuk jemaah yang sekadar terbang naik pesawat ke Mekkah. Sindiran lain
adalah hajingan sebagai pelesetan ”bajingan”, merujuk orang yang sudah
berhaji, tetapi masih berkutat dengan kemaksiatan.
Harus diakui,
masyarakat awam di negeri ini cukup lihai dalam mengolah berbagai kata
menjadi berbagai pelesetan yang ternyata sangat filosofis. Apa saja bisa jadi
bahan olok-olok, termasuk masalah konsekuensi sosial kemabruran haji atau
sebaliknya. Diksi hajingan merupakan sindiran yang secara faktual
menggambarkan adanya distorsi sosial orang yang sudah berhaji, tetapi
kelakuannya tetap seperti preman dan bajingan.
Kosakata hajingan tentu
tidak lahir secara tiba-tiba, tetapi karena ada fenomena sekitar yang
mendukungnya. Ia bisa saja lahir karena adanya jemaah haji yang
keberangkatannya ke Mekkah dilakukan dengan cara-cara manipulasi, korupsi,
hingga menyerobot kuota orang lain. Meski sama-sama sedikit kuantitasnya, ia
juga lahir dari keberadaan sosok yang tetap banyak melakukan kemungkaran,
baik sebelum maupun sesudah berhaji.
Kemungkaran sosial
Potret hajingan juga
bisa dilihat dari tetap semaraknya kemungkaran sosial meski jumlah haji
selalu bertambah setiap tahun. Coba hitung berapa banyak para koruptor di
Indonesia yang notabene sudah melaksanakan ibadah haji, termasuk berapa pula
yang terjerat dalam kasus pidana lainnya. Meski belum ada penelitian yang
serius, fakta sosiologis menunjukkan adanya orang yang sudah berhaji terlibat
dalam ragam tindak pidana. Tentu secara kuantitas jumlah dan persentasenya
tidak banyak, tetapi keberadaan mereka secara kualitas cukup mengganggu.
Hajingan juga bisa
dirujuk pada pelaku kejahatan yang menggunakan haji sebagai salah satu alat
mengelabui Tuhan agar mencuci dosa-dosanya. Lihatlah bagaimana koruptor
menggunakan hasil kejahatannya untuk keperluan haji, selain tentu saja
sedekah, zakat, umrah, dan lainnya. Koruptor legendaris Gayus Tambunan, misalnya,
memberikan testimoni miris ini di pengadilan, bahwa uang hasil korupsinya
juga digunakan untuk mendanai ”proyek akhirat”, membiayai umrah seorang hakim
yang menangani perkaranya.
Ironisnya, dalam
beberapa kasus, ketidakberesan moralitas juga berusaha menyeret-seret Mekkah
untuk dijadikan tameng. Hampir dalam setiap kasus korupsi yang melibatkan
elite negeri ini, selain lari ke beberapa negara luar negeri, ternyata ada
juga yang menggunakan Mekkah sebagai tempat berlindung. Baik untuk
mengulur-ulur proses hukum maupun membangun citra sebagai orang saleh yang
tidak terlibat dalam tindakan pidana.
Ibadah yang tidak
membawa efek dalam kehidupan sosial adalah fenomena yang jamak ditemui dalam
keseharian umat Islam di Indonesia. Umat begitu rajin menunaikan ibadah untuk
mengejar balasan yang bersifat eskatologis (surga), tetapi melupakan
keharusan dampak kebaikan dalam konteks kekinian dan ”kedisinian”. Ragam
doktrin Islam yang universal dipahami dan dilaksanakan secara personal
sehingga tidak punya implikasi signifikan dalam dinamika kehidupan sosial.
Agama didistorsi
Daya tangkap jangka
pendek (myopic) terhadap doktrin
Islam semacam inilah yang oleh Asmuni MTH diistilahkan dengan religiositas
casing, yaitu sikap beragama yang cenderung menampakkan dimensi eksoteris
dalam bentuk praktik ritual, tetapi mengabaikan dimensi esoterisnya yang
mengharuskan bukti sosial. Model keberagamaan ini sudah tentu tidak berefek
pada kesalehan sosial karena ia mengabaikan agama sebagai sinaran etik-moral
bagi kerja perubahan dalam masyarakat.
Bisa jadi penafsiran
serampangan tentang ”sifat” Tuhan membuat mereka semakin ”berani” bermaksiat,
atau bahkan malah yakin kesalahannya tetap diampuni Tuhan. Pendistorsi agama
seperti ini tentu sangat berbahaya karena mereduksi nilai luhur agama,
termasuk keberaniannya ”mengakali” Tuhan dalam bentuk pseudo-agamis. Apalagi
dibuat modal untuk ”menyuap” Tuhan dari hasil korupsi dalam bentuk haji,
umrah, sumbangan masjid, sedekah, dan lain-lain.
Berbagai tindakan
distortif dalam manasik haji ini sudah tentu membuat hubungan kausalitas
antara ritual dan kesalehan (sosial) semakin renggang. Padahal, meminjam
istilah Ali Shariati (1993), ritual haji sesungguhnya dipenuhi simbol-simbol
semangat kemanusiaan yang luhur dan fundamental. Pascahaji seyogianya mampu
melahirkan kebaikan yang bersifat transendental-humanis dalam dimensi yang
luas dan sarat nilai-nilai kemanusiaan yang didasari oleh spirit ilahiyah. Sekembalinya dari Mekkah,
jemaah mestinya mampu meningkatkan kualitas amal saleh, seperti kedermawanan,
kerendahhatian, dan keadilan.
Ragam motivasi jemaah
membuat ibadah haji dimaknai beragam oleh jemaah, bahkan ada yang berhenti
pada pemahaman yang formalistik dan simbolistik. Sebagian besar mampu
menangkap dan mengaplikasikan nilai-nilai kemanusiaan-isoteris yang dikandung
haji dalam kehidupan sehari-hari, tetapi ada pula yang gagal memahaminya. Di
situlah mengapa ada haji mabrur, haji yang sekadar mabur, hingga haji yang
kurang ajar atau hajingan. Allah a’lam
bi al-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar