Selasa, 08 September 2015

”Pray for…”

”Pray for…”

Samuel Mulia  ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
                                                     KOMPAS, 06 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Hari ini aku udah bolak-balik ke toilet. Liat dollar sama indeks bikin mules....” Begitu kira-kira pesan yang saya terima dari salah satu teman dekat yang bekerja di sebuah institusi keuangan dengan kedudukannya di tempat tinggi.

”Fitness centre”

Membaca pesan itu awalnya saya kaget. Kok orang mumet soal situasi ekonomi curhatnya kepada saya. La wong saya ini bodoh soal angka, bodoh soal hitung-menghitung, tak tahu seluk-beluk dunia ekonomi.

Tetapi, bagaimanapun bingungnya saya, pesan itu harus dibalas. Saya hanya bisa membalasnya begini. ”Ini adalah waktunya latihan otot-otot iman. Kita itu keseringan ke fitness centre melatih membesarkan otot-otot fisik. Nah, sekarang ini waktu paling tepat ngebesarin otot-otot iman. Sering-seringlah pergi ke faithness centre.”

Kalau yang satu adalah pusat kebugaran fisik, yang satu lagi adalah pusat kebugaran iman. Keduanya memiliki personal trainer. Yang satu harus dibayar jasanya, di pusat kebugaran iman gratis seumur hidup. Yang satu menggunakan alat-alat modern, yang satu hanya menggunakan kerendahan hati, kepercayaan, dan doa.

Tetapi, masalahnya acapkali yang dilatih yang fisik. Yang nonfisik hanya kalau ada waktu. Tetapi, kalau musibah datang, baru rajin datang ke faithness centre lagi. Tiba-tiba saya teringat kepada beberapa pesan yang saya terima saat beberapa musibah akbar terjadi di muka bumi ini. Seruan untuk berdoa.

Kalau enggak pray for ini, ya pray for itu. Ketika teringat akan curhatan teman saya di atas, saya jadi berpikir mengapa kok enggak ada yang mengirimkan saya pesan pray for situasi ekonomi, ya? Mungkin sudah ada yang mengirimkannya, hanya saja kali ini saya tidak menerimanya.

Doa itu buat saya sebuah kebutuhan bukan kewajiban. Mengapa demikian? Begini. Saya ini dikarunia dengan IQ yang jongkok. Bodoh berhitung. Diajarkan berkali-kali, ya… berkali-kali enggak ngerti-ngerti. Jadi, kalau orang pandai bergantung sama IQ-nya, saya bergantung pada doa.

Kalau saya berniat berinvestasi, ya saya berdoa terlebih dahulu. Doa itu agar saya mengerti dan peka investasi apa yang diizinkan Tuhan, dan agar saya peka bahwa orang yang akan menjelaskan kepada saya, juga orang yang diizinkan Tuhan untuk menjelaskan dengan benar, bukan agar saya mengerti untungnya berapa.

Percaya dan cinta

Kemudian mungkin Anda berpikir, ya enggak bisa begitu. Semua harus doa dan pakai otak. Nah, bapak dan ibu sekalian, seperti saya jelaskan, IQ saya itu tidak memadai buat berhitung. Di zaman sekolah dasar dulu, saking bodohnya, kepala sekolah saya bilang, kamu seperti ayam enggak ada otaknya. Saya sih ingin banget menjadi pandai banget, seperti seorang teman yang mampu menghitung dan mengingat angka sampai koma sekian tanpa kalkulator.

Selain jadi ayam tanpa otak, saya ini orangnya sangat pesimistis dan apa-apa takut. Takut terbang, takut perusahaannya bangkrut, takut miskin, takut sakit keras dan sejuta takut lainnya. Di luar kedua hal itu, saya yatim piatu. Maka, dengan kondisi seperti ayam, takut, dan yatim piatu, saya bergantung sepenuhnya kepada Yang Mahakuasa.

Yang Mahakuasa itu adalah tempat terbaik untuk curhat. Ternyata, sering-sering curhat itu menenangkan batin dan mengasah kepekaan. Kepekaan itu yang memberi tahu saya, harus belok kanan atau kiri. Harus investasi di sana atau tidak sama sekali.

Kepekaan itu juga menjadi seperti personal trainer yang mengingatkan kalau saya mulai tamak, mulai curang, tidak menginjak bumi atau mulai menuhankan otak encer dan menomorduakan yang memberi otak encer itu.

Menurut pengalaman saya, kepekaan terjadi kalau curhat dengan rasa percaya bukan dengan rasa ragu-ragu, dan dengan rasa cinta kepada Yang Mahakuasa. Percaya itu menyerahkan sepenuhnya kepada yang tak terlihat untuk menentukan jalan keluar.

Ragu-ragu itu adalah ingin dollar turun, tetapi otak mengatakan itu tidak mungkin. Ragu-ragu itu sebuah bentuk ketidakpercayaan. Bagaimana bisa, seseorang mengakui keberadaan Yang Mahakuasa, tetapi ia tak percaya bahwa Yang Mahakuasa mampu melakukan hal di luar kemampuan otaknya? Bukankah itu menjadi sebuah bentuk penghinaan pada Yang Kuasa?

Rasa cinta yang sangat kepada Yang Mahakuasa harus datang dari hati, bukan karena sebuah kewajiban. Kewajiban melahirkan kepatuhan, bukan cinta. Yang patuh belum tentu cinta. Dahulu saya berdoa dan hadir di rumah ibadah hanya karena kewajiban. Saya berdoa, tetapi otak saya ada di layar bursa saham. Sejujurnya, bertahun lamanya, saya menomorduakan Tuhan. Itu adalah kepongahan terbesar yang pernah dibuat manusia.

Maka, seruan dalam bentuk pray for untuk kondisi apa pun itu, seyogianya dijalankan oleh penerima pesan secara serius. Menomorsatukan Yang Mahakuasa melalui doa adalah sebuah aktivitas yang tidak egois dan akan menguatkan otot-otot iman, menimbulkan kepekaan dan mendatangkan keajaiban, yang tak bisa dimengerti otak yang terbatas itu.

Keajaiban yang nyata itu adalah Anda tidak lagi ke toilet bolak-balik melihat dollar dan indeks seperti duri yang masuk ke telapak kaki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar