”Pray for…”
Samuel Mulia ; Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu
|
KOMPAS,
06 September 2015
”Hari ini aku udah bolak-balik ke toilet. Liat dollar sama
indeks bikin mules....” Begitu kira-kira pesan yang saya terima dari salah
satu teman dekat yang bekerja di sebuah institusi keuangan dengan
kedudukannya di tempat tinggi.
”Fitness
centre”
Membaca pesan itu awalnya saya kaget. Kok orang mumet soal
situasi ekonomi curhatnya kepada saya. La wong saya ini bodoh soal angka,
bodoh soal hitung-menghitung, tak tahu seluk-beluk dunia ekonomi.
Tetapi, bagaimanapun bingungnya saya, pesan itu harus dibalas.
Saya hanya bisa membalasnya begini. ”Ini adalah waktunya latihan otot-otot
iman. Kita itu keseringan ke fitness
centre melatih membesarkan otot-otot fisik. Nah, sekarang ini waktu
paling tepat ngebesarin otot-otot iman. Sering-seringlah pergi ke faithness centre.”
Kalau yang satu adalah pusat kebugaran fisik, yang satu lagi
adalah pusat kebugaran iman. Keduanya memiliki personal trainer. Yang satu
harus dibayar jasanya, di pusat kebugaran iman gratis seumur hidup. Yang satu
menggunakan alat-alat modern, yang satu hanya menggunakan kerendahan hati,
kepercayaan, dan doa.
Tetapi, masalahnya acapkali yang dilatih yang fisik. Yang
nonfisik hanya kalau ada waktu. Tetapi, kalau musibah datang, baru rajin
datang ke faithness centre lagi.
Tiba-tiba saya teringat kepada beberapa pesan yang saya terima saat beberapa
musibah akbar terjadi di muka bumi ini. Seruan untuk berdoa.
Kalau enggak pray for
ini, ya pray for itu. Ketika
teringat akan curhatan teman saya di atas, saya jadi berpikir mengapa kok
enggak ada yang mengirimkan saya pesan pray
for situasi ekonomi, ya? Mungkin sudah ada yang mengirimkannya, hanya
saja kali ini saya tidak menerimanya.
Doa itu buat saya sebuah kebutuhan bukan kewajiban. Mengapa
demikian? Begini. Saya ini dikarunia dengan IQ yang jongkok. Bodoh berhitung.
Diajarkan berkali-kali, ya… berkali-kali enggak ngerti-ngerti. Jadi, kalau
orang pandai bergantung sama IQ-nya, saya bergantung pada doa.
Kalau saya berniat berinvestasi, ya saya berdoa terlebih dahulu.
Doa itu agar saya mengerti dan peka investasi apa yang diizinkan Tuhan, dan
agar saya peka bahwa orang yang akan menjelaskan kepada saya, juga orang yang
diizinkan Tuhan untuk menjelaskan dengan benar, bukan agar saya mengerti
untungnya berapa.
Percaya dan
cinta
Kemudian mungkin Anda berpikir, ya enggak bisa begitu. Semua
harus doa dan pakai otak. Nah, bapak dan ibu sekalian, seperti saya jelaskan,
IQ saya itu tidak memadai buat berhitung. Di zaman sekolah dasar dulu, saking
bodohnya, kepala sekolah saya bilang, kamu seperti ayam enggak ada otaknya.
Saya sih ingin banget menjadi pandai banget, seperti seorang teman yang mampu
menghitung dan mengingat angka sampai koma sekian tanpa kalkulator.
Selain jadi ayam tanpa otak, saya ini orangnya sangat pesimistis
dan apa-apa takut. Takut terbang, takut perusahaannya bangkrut, takut miskin,
takut sakit keras dan sejuta takut lainnya. Di luar kedua hal itu, saya yatim
piatu. Maka, dengan kondisi seperti ayam, takut, dan yatim piatu, saya
bergantung sepenuhnya kepada Yang Mahakuasa.
Yang Mahakuasa itu adalah tempat terbaik untuk curhat. Ternyata,
sering-sering curhat itu menenangkan batin dan mengasah kepekaan. Kepekaan
itu yang memberi tahu saya, harus belok kanan atau kiri. Harus investasi di
sana atau tidak sama sekali.
Kepekaan itu juga menjadi seperti personal trainer yang
mengingatkan kalau saya mulai tamak, mulai curang, tidak menginjak bumi atau
mulai menuhankan otak encer dan menomorduakan yang memberi otak encer itu.
Menurut pengalaman saya, kepekaan terjadi kalau curhat dengan
rasa percaya bukan dengan rasa ragu-ragu, dan dengan rasa cinta kepada Yang
Mahakuasa. Percaya itu menyerahkan sepenuhnya kepada yang tak terlihat untuk
menentukan jalan keluar.
Ragu-ragu itu adalah ingin dollar turun, tetapi otak mengatakan
itu tidak mungkin. Ragu-ragu itu sebuah bentuk ketidakpercayaan. Bagaimana
bisa, seseorang mengakui keberadaan Yang Mahakuasa, tetapi ia tak percaya
bahwa Yang Mahakuasa mampu melakukan hal di luar kemampuan otaknya? Bukankah
itu menjadi sebuah bentuk penghinaan pada Yang Kuasa?
Rasa cinta yang sangat kepada Yang Mahakuasa harus datang dari
hati, bukan karena sebuah kewajiban. Kewajiban melahirkan kepatuhan, bukan
cinta. Yang patuh belum tentu cinta. Dahulu saya berdoa dan hadir di rumah
ibadah hanya karena kewajiban. Saya berdoa, tetapi otak saya ada di layar
bursa saham. Sejujurnya, bertahun lamanya, saya menomorduakan Tuhan. Itu
adalah kepongahan terbesar yang pernah dibuat manusia.
Maka, seruan dalam bentuk pray
for untuk kondisi apa pun itu, seyogianya dijalankan oleh penerima pesan
secara serius. Menomorsatukan Yang Mahakuasa melalui doa adalah sebuah
aktivitas yang tidak egois dan akan menguatkan otot-otot iman, menimbulkan
kepekaan dan mendatangkan keajaiban, yang tak bisa dimengerti otak yang
terbatas itu.
Keajaiban yang nyata itu adalah Anda tidak lagi ke toilet
bolak-balik melihat dollar dan indeks seperti duri yang masuk ke telapak
kaki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar