Penimbun
Khudori ; Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan
Pusat (2010-sekarang)
|
KORAN
TEMPO, 01 September 2015
Kata penimbun mencuat
seiring dengan langkah Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyelidiki dugaan adanya ulah culas
perusahaan penggemukan sapi (feedloter).
Sapi siap potong yang mestinya dikirim ke rumah pemotongan hewan justru
ditahan. Pasar daging sapi akhirnya kekurangan pasokan. Sesuai dengan hukum
besi supply-demand, harga pun melenting. Harga daging sapi melonjak dari
Rp100 ribu menjadi Rp130 ribu per kilogram.
Dalam ranah hukum,
penimbunan merupakan delik baru. Baik dalam Undang-Undang Pangan Nomor 18
Tahun 2012 maupun UU Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014, belum ada definisi penimbunan.
Pada Pasal 52-53 UU Pangan, selain diatur soal mekanisme, tata cara, dan
jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok oleh pelaku usaha pangan, ada
larangan bagi pelaku usaha untuk menimbun atau menyimpan pangan pokok
melebihi jumlah maksimal. Pasal 29 UU Perdagangan juga melarang pelaku usaha
menyimpan barang kebutuhan pokok dan barang penting dalam jumlah dan waktu
tertentu saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan
lalu lintas perdagangan. Namun masih belum jelas apa makna penimbunan
sebenarnya.
Definisi penimbunan
terang-benderang setelah terbit Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015
tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan barang penting
(bapokting). Dalam Pasal 11 ayat 2, disebutkan bahwa menimbun adalah
menyimpan dalam jumlah di luar batas kewajaran yang melebihi stok atau
persediaan barang berjalan untuk memenuhi pasar dengan waktu paling lama tiga
bulan berdasarkan catatan rata-rata penjualan per bulan dalam kondisi normal.
Pelaku usaha dikecualikan dari delik penimbunan bila bapokting yang disimpan
dipakai sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi atau
sebagai persediaan barang untuk didistribusikan. Dengan delik yang jelas ini,
aparat penegak hukum semestinya tak perlu ragu-ragu lagi menyeret penimbun ke
meja hijau.
Penimbun layak
diganjar dengan sanksi berat agar ada efek jera. Ulah mereka tidak hanya
menyengsarakan konsumen, tapi juga produsen. Tanpa efek jera, penimbunan akan
terus berulang. Ini terjadi karena kue dari hasil menimbun amat gurih.
Ekonomi rente impor daging memang menggiurkan. Harga daging sapi (Australia
dan Brasil) di pasar dunia pada Juli 2015 mencapai US$ 4,3-4,8 per kilogram,
sesuai dengan kualitasnya. Angka itu masih ditambah biaya angkutan, bea
masuk, asuransi, dan bongkar-muat barang di pelabuhan Indonesia hingga US$5,7
per kilogram (Rp79.515 per kg, kurs Rp13.950 per dolar AS). Harga eceran
daging di pasar saat ini adalah Rp 120-130 ribu per kg. Meski harus dikurangi
biaya distribusi, cold storage, dan
biaya lainnya, margin keuntungan yang didapat masih amat besar. Siapa pun
akan ngiler melihat rezeki nomplok ini.
Impor sapi bakalan
juga menjanjikan keuntungan besar. Saat ini, harga sapi hidup di Australia
hanya Rp 20 ribu per kg. Belakangan, harga di pasar dunia naik US$1-2 per kg
karena Brasil dan Amerika Serikat, pemasok sapi bakalan dan sapi potong
dunia, menahan stok mereka. Harga sapi hidup juga didorong oleh kenaikan
harga pakan, terutama dedak gandum, dedak padi, jagung, dan ampas singkong,
sejak Juli 2015. Di Indonesia, karena tak ada breeding farm profesional berskala besar, harga sapi hidup
mencapai Rp 38 ribu per kg (Rahardi,
2015). Bahkan, setelah Idul Fitri, harga mencapai Rp 45 ribu per kg, yang
membuat pedagang mogok berjualan. Pedagang mogok karena feedloter "menimbun" atau menaikkan harga secara
sepihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar