Peringkat
Dianing Widya ; Novelis dan Pegiat Sosial @dianingwy
|
KORAN
TEMPO, 01 September 2015
Perubahan perilaku dan
kebutuhan dimanfaatkan industri untuk menciptakan suatu produk. Kemudian
masyarakat dengan sukacita menerimanya, bahkan merayakannya. Salah satu
produk budaya itu adalah televisi. Tanpa televisi, rumah terasa sepi. Maka
segala cara dilakukan oleh keluarga pra-sejahtera sekali pun untuk
memilikinya.
Sebuah riset
menunjukkan, di seluruh dunia, waktu 3,5 miliar jam dihabiskan guna menonton
televisi (Kubey dan Csikszentmihalyi,
1990: 1). Orang Inggris, misalnya, mengggunakan sepertiga waktu
terjaganya untuk menonton televisi, sedangkan orang Amerika rata-rata akan
menghabiskan waktunya di depan televisi dua kali lebih lama. (Allen, 1992: 13).
Pada awal
perkembangannya, televisi membawa kebaikan bagi penonton. Ia menghadirkan
informasi ke ruang keluarga. Namun belakangan, ketika tangan-tangan industri
begitu mendominasi dan mengalahkan fungsi idealnya sebagai saluran informasi,
televisi pelan-pelan menjadi monster, terutama bagi anak-anak dan remaja.
Sebab, yang hadir tidak lagi informasi, melainkan "mimpi-mimpi".
Televisi menjadi ruang
bagi anak-anak ataupun remaja untuk menemukan pahlawan-pahlawan mereka: kaya,
ganteng atau cantik, glamor, elitis,
licik, pandai berkelahi, suka balapan, dan seterusnya. Di sisi lain, ada pula
sosok-sosok yang teraniaya, terdiskriminasi, dan terlecehkan. Televisi kerap menampilkan karakter yang
menjungkirbalikkan sifat dan kepribadian orang Timur.
Lihatlah sejumlah
tayangan di televisi, terutama sinetron dan beragam acara komedi. Jalinan
ceritanya sering ngawur, tak masuk akal, serta jauh dari realitas sosial.
Belum lagi tayangan-tayangan yang beraroma pergunjingan dengan pembawa acara
yang nyinyir. Lebih mengenaskan lagi adalah acara yang isinya bully-bully-an. Seolah mem-bully bukan bagian dari kekerasan.
Seolah televisi ingin mengajarkan beginilah cara mem-bully.
Walhasil, tayangan
televisi tak mempunyai tujuan jelas, apalagi semangat mendidik masyarakat.
Sebab, mereka terlalu menghamba kepada peringkat (rating). Celakanya, masyarakat tak punya otoritas untuk ikut
menentukan program-program televisi. Masyarakat tak punya daya tawar untuk
memilih. Masyarakat dikondisikan oleh
industri televisi dengan pertimbangan rating. Ini "jimat sakti"
para pengelola televisi untuk bersikap "semena-mena" terhadap
penontonnya. Mereka menganggap masyarakat sebagai obyek yang pasif.
Sebagian masyarakat
memang berhasil dininabobokan oleh tayangan-tayangan itu. Mereka larut.
Namun, sesungguhnya, mereka tidak punya pilihan untuk menonton tayangan lain
yang lebih bermutu, terutama mereka yang tinggal di desa. Televisi yang bisa
ditangkap secara nasional adalah satu-satunya pilihan tontonan. Walhasil, apa
yang disebut "selera penonton" sesungguhnya merupakan keterpaksaan
masyarakat desa yang tidak punya pilihan tontontan selain tayangan buruk
itu.
Jadi, beruntunglah
mereka yang berlangganan televisi berbayar sehingga bisa dengan mudah
melupakan tayangan-tayangan yang merusak imajinasi dan pikiran. Mereka bisa
menonton komedi tanpa bumbu-bumbu bully-bully-an. Mereka menonton drama tanpa
aroma licik-licikan dan kegilaan atas harta. Anak-anak mereka bisa menikmati
tayangan-tayangan yang jelas identitas dan kelaminnya serta tidak merusak
pikiran, apalagi pamer kekerasan dan merendahkan manusia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar