Kamis, 17 September 2015

Nasib Program 35.000 MW

Nasib Program 35.000 MW

Fabby Tumiwa  ;  Direktur Institute for Essential Services Reform
                                                     KOMPAS, 15 September 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli, Senin (7/9), kembali mengeluarkan pernyataan untuk merevisi target pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW menjadi 16.000 MW.

Dari informasi media massa, paling tidak ada dua alasan mengapa Menko Kemaritiman bersikeras menurunkan target itu. Pertama, target 35.000 megawatt (MW) dianggap tidak realistis diselesaikan dalam lima tahun. Kedua, beban puncak listrik PLN pada 2019 lebih kecil daripada jumlah tambahan pasokan dengan masuknya tambahan pembangkit 35.000 MW dan 7.000 MW yang sedang dibangun. Akibatnya, arus kas PLN akan terganggu karena harus membeli listrik swasta (IPP).

Munculnya pandangan yang berbeda dari seorang menteri yang notabene harus bekerja merealisasikan program prioritas Presiden menimbulkan tanda tanya, apa yang sedang terjadi dalam kabinet. Apalagi, Presiden sudah pernah menyampaikan bahwa program 35.000 MW tidak akan direvisi.

Pembangunan pembangkit bukan soal realistis atau tidak. Sebagai rencana, 35.000 MW bukanlah magic number. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2013-2022 yang disusun PLN dan ditetapkan Menteri ESDM, Maret 2014, dengan perkiraan permintaan listrik tumbuh 8,4 persen per tahun dan rasio elektrifikasi yang ingin dicapai 97,8 persen, hingga 2022 dibutuhkan tambahan kapasitas pembangkit 60.000 GW atau rata-rata 6.000 GW per tahun.

Dalam RUPTL 2015-2024 yang menggunakan asumsipertumbuhan ekonomi sesuai RPJMN 2015-2019 yang dikeluarkan Bappenas 6,1-7,1 persen per tahun dan berbagai variabel lain, termasuk rasio elektrifikasi 96 persen pada 2019, permintaan listrik diperkirakan tumbuh 8,7 persen. Dengan demikian, untuk memenuhi pertumbuhan proyeksi permintaan listrik dibutuhkan tambahan kapasitas 70.000 MW hingga 2024 atau 42.000 MW pada kurun 2015-2019.

Dari penjelasan di atas, cukup jelas bahwa program 35.000 MW adalah respons pemerintah terhadap perkiraan kebutuhan pasokan listrik pada 2019/2020. Angka ini memang tidak didasarkan pada kapasitas atau kemampuan membangun PLN dan IPP dalam lima tahun sebagaimana yang disampaikan Menko Kemaritiman.

Jika dalam perjalanannya pemerintah ternyata tak mampu menyediakan tambahan pembangkit listrik untuk merespons pertumbuhan permintaan, konsekuensinya target pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo bisa gagal tercapai. Demikian juga target-target lain yang dituangkan dalam RPJMN, yaitu peningkatan konsumsi listrik per kapita dari 700 kWh/kapita tahun 2014 menjadi 1200 kWh/kapita di tahun 2019 dan peningkatan elektrifikasi dari 82 persen menjadi 96 persen, bakal terhambat. Belum lagi ancaman krisis listrik.

Menyingkirkan hambatan

Salah satu kunci keberhasilan program ini adalah minat investor swasta (IPP) yang diberi jatah 25.000-30.000 MW. Dari total 35.000 MW, sampai awal 2015 baru 17.000 MW untuk proyek PLN dan IPP yang committed. Artinya, untuk proyek PLN, sudah ada alokasi pendanaannya. Dan jika IPP, sudah ada perjanjian jual-beli listrik dengan PLN (PPA) atau paling tidak head of agreement. Sisanya 18.000 MW masih dalam tahap perencanaan dan dengan skenario yang optimistis kemungkinan besar baru akan melakukan PPA secara bertahap dari sekarang hingga 2019.

Pembangunan pembangkit termal seperti PLTU butuh waktu konstruksi 3-4 tahun dan PLTGU perlu waktu dua tahun setelah financial closing tercapai.Hal itu tergantung kemampuan investor. Namun, dari pengalaman selama ini, financial closing tercapai 1-2 tahun sesudah PPA. Oleh karena itu, sebagian dari proyek yang sudah committed kemungkinan besar baru akan mulai konstruksi 2016 dan 2017. Sementara proyek-proyek yang baru menyelesaikan PPA dengan PLN pada tahun ini paling cepat baru mulai konstruksi tahun 2017/2018 jika tak ada hambatan-hambatan baru.

Untuk memastikan rencana pembangunan 35.000 MW dapat berjalan secara bertahap, pemerintah harus bekerja keras menyingkirkan berbagai hambatan dan sumbatan yang bisa menghalangi pembangunan pembangkit, transmisi, dan distribusi.

Upaya inilah yang sedang dilakukan Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional di bawah Kemenko Perekonomian. Mereka mengidentifikasi hambatan-hambatan terkait pembebasan lahan, perizinan, regulasi yang tumpang tindih, serta pelelangan. Penyelesaian hambatan dan sumbatan ini tidak mungkin selesai dalam sekejap. Sangat mungkin dibutuhkan dua tahun lebih untuk mengurai dan menyelesaikan berbagai hambatan struktural yang ada.

Dengan melihat kondisi ini, bisa dipastikan tak semua pembangkit 35.000 MW yang direncanakan akan terbangun dan beroperasi pada 2019. Jika melihat perkembangan saat ini, diperkirakan sekitar setengahnya, ditambah 7.000 MW yang sedang konstruksi, akan beroperasi secara bertahap hingga 2019. Walaupun demikian, tidak berarti program 35.000 MW tidak realistis karena jika kondisi pendukung membaik bisa jadi jumlah pembangkit yang terbangun dan beroperasi lebih besar.

Kekhawatiran bahwa listrik kelebihan pasokan sebenarnya bisa ditepis dan dicegah dengan perencanaan ke-74 proyek listrik. Selain itu, perlu diingat bahwa listrik di Indonesia adalah prasarana. Artinya, listrik harus ada dulu, baru permintaannya muncul. Selama ini, hampir di seluruh wilayah Indonesia pertumbuhan permintaan listrik terhambat karena pasokan yang terbatas. Yang terjadi adalah surpressed demand, permintaan listrik tak tumbuh secara alami, karena dihambat atau dibatasi kemampuan pemerintah dan PLN dalam menyediakan tambahan pasokan.

Oleh karena itu, pasokan listrik yang mulai dibangun 2017 sampai 2019 dan beroperasi pada 2020 dan seterusnya akan dapat terserap cepat. Andai kata pemerintahan Jokowi hanya bernasib satu periode, pemerintah ini tidak akan dikenang sebagai pemerintah yang mewariskan krisis listrik. Kedewasaan dan kewarasan bersikap para pembantu Presiden diperlukan untuk membuat rakyat sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar