Nasib Program 35.000 MW
Fabby Tumiwa ; Direktur Institute for Essential Services
Reform
|
KOMPAS,
15 September 2015
Menteri Koordinator
Kemaritiman Rizal Ramli, Senin (7/9), kembali mengeluarkan pernyataan untuk
merevisi target pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW menjadi 16.000 MW.
Dari informasi media
massa, paling tidak ada dua alasan mengapa Menko Kemaritiman bersikeras
menurunkan target itu. Pertama, target 35.000 megawatt (MW) dianggap tidak
realistis diselesaikan dalam lima tahun. Kedua, beban puncak listrik PLN pada
2019 lebih kecil daripada jumlah tambahan pasokan dengan masuknya tambahan
pembangkit 35.000 MW dan 7.000 MW yang sedang dibangun. Akibatnya, arus kas
PLN akan terganggu karena harus membeli listrik swasta (IPP).
Munculnya pandangan
yang berbeda dari seorang menteri yang notabene harus bekerja merealisasikan
program prioritas Presiden menimbulkan tanda tanya, apa yang sedang terjadi
dalam kabinet. Apalagi, Presiden sudah pernah menyampaikan bahwa program
35.000 MW tidak akan direvisi.
Pembangunan pembangkit
bukan soal realistis atau tidak. Sebagai rencana, 35.000 MW bukanlah magic number. Dalam Rencana Umum
Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2013-2022 yang disusun PLN dan ditetapkan
Menteri ESDM, Maret 2014, dengan perkiraan permintaan listrik tumbuh 8,4
persen per tahun dan rasio elektrifikasi yang ingin dicapai 97,8 persen,
hingga 2022 dibutuhkan tambahan kapasitas pembangkit 60.000 GW atau rata-rata
6.000 GW per tahun.
Dalam RUPTL 2015-2024
yang menggunakan asumsipertumbuhan ekonomi sesuai RPJMN 2015-2019 yang
dikeluarkan Bappenas 6,1-7,1 persen per tahun dan berbagai variabel lain, termasuk
rasio elektrifikasi 96 persen pada 2019, permintaan listrik diperkirakan
tumbuh 8,7 persen. Dengan demikian, untuk memenuhi pertumbuhan proyeksi
permintaan listrik dibutuhkan tambahan kapasitas 70.000 MW hingga 2024 atau
42.000 MW pada kurun 2015-2019.
Dari penjelasan di
atas, cukup jelas bahwa program 35.000 MW adalah respons pemerintah terhadap
perkiraan kebutuhan pasokan listrik pada 2019/2020. Angka ini memang tidak
didasarkan pada kapasitas atau kemampuan membangun PLN dan IPP dalam lima
tahun sebagaimana yang disampaikan Menko Kemaritiman.
Jika dalam
perjalanannya pemerintah ternyata tak mampu menyediakan tambahan pembangkit
listrik untuk merespons pertumbuhan permintaan, konsekuensinya target
pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan pemerintahan Joko Widodo bisa gagal
tercapai. Demikian juga target-target lain yang dituangkan dalam RPJMN, yaitu
peningkatan konsumsi listrik per kapita dari 700 kWh/kapita tahun 2014
menjadi 1200 kWh/kapita di tahun 2019 dan peningkatan elektrifikasi dari 82
persen menjadi 96 persen, bakal terhambat. Belum lagi ancaman krisis listrik.
Menyingkirkan hambatan
Salah satu kunci
keberhasilan program ini adalah minat investor swasta (IPP) yang diberi jatah
25.000-30.000 MW. Dari total 35.000 MW, sampai awal 2015 baru 17.000 MW untuk
proyek PLN dan IPP yang committed.
Artinya, untuk proyek PLN, sudah ada alokasi pendanaannya. Dan jika IPP,
sudah ada perjanjian jual-beli listrik dengan PLN (PPA) atau paling tidak head of agreement. Sisanya 18.000 MW
masih dalam tahap perencanaan dan dengan skenario yang optimistis kemungkinan
besar baru akan melakukan PPA secara bertahap dari sekarang hingga 2019.
Pembangunan pembangkit
termal seperti PLTU butuh waktu konstruksi 3-4 tahun dan PLTGU perlu waktu
dua tahun setelah financial closing tercapai.Hal itu tergantung kemampuan
investor. Namun, dari pengalaman selama ini, financial closing tercapai 1-2 tahun sesudah PPA. Oleh karena
itu, sebagian dari proyek yang sudah committed kemungkinan besar baru akan
mulai konstruksi 2016 dan 2017. Sementara proyek-proyek yang baru
menyelesaikan PPA dengan PLN pada tahun ini paling cepat baru mulai
konstruksi tahun 2017/2018 jika tak ada hambatan-hambatan baru.
Untuk memastikan
rencana pembangunan 35.000 MW dapat berjalan secara bertahap, pemerintah
harus bekerja keras menyingkirkan berbagai hambatan dan sumbatan yang bisa
menghalangi pembangunan pembangkit, transmisi, dan distribusi.
Upaya inilah yang
sedang dilakukan Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan
Nasional di bawah Kemenko Perekonomian. Mereka mengidentifikasi
hambatan-hambatan terkait pembebasan lahan, perizinan, regulasi yang tumpang
tindih, serta pelelangan. Penyelesaian hambatan dan sumbatan ini tidak
mungkin selesai dalam sekejap. Sangat mungkin dibutuhkan dua tahun lebih
untuk mengurai dan menyelesaikan berbagai hambatan struktural yang ada.
Dengan melihat kondisi
ini, bisa dipastikan tak semua pembangkit 35.000 MW yang direncanakan akan
terbangun dan beroperasi pada 2019. Jika melihat perkembangan saat ini,
diperkirakan sekitar setengahnya, ditambah 7.000 MW yang sedang konstruksi,
akan beroperasi secara bertahap hingga 2019. Walaupun demikian, tidak berarti
program 35.000 MW tidak realistis karena jika kondisi pendukung membaik bisa
jadi jumlah pembangkit yang terbangun dan beroperasi lebih besar.
Kekhawatiran bahwa
listrik kelebihan pasokan sebenarnya bisa ditepis dan dicegah dengan
perencanaan ke-74 proyek listrik. Selain itu, perlu diingat bahwa listrik di
Indonesia adalah prasarana. Artinya, listrik harus ada dulu, baru
permintaannya muncul. Selama ini, hampir di seluruh wilayah Indonesia
pertumbuhan permintaan listrik terhambat karena pasokan yang terbatas. Yang
terjadi adalah surpressed demand, permintaan listrik tak tumbuh secara alami,
karena dihambat atau dibatasi kemampuan pemerintah dan PLN dalam menyediakan
tambahan pasokan.
Oleh karena itu,
pasokan listrik yang mulai dibangun 2017 sampai 2019 dan beroperasi pada 2020
dan seterusnya akan dapat terserap cepat. Andai kata pemerintahan Jokowi
hanya bernasib satu periode, pemerintah ini tidak akan dikenang sebagai
pemerintah yang mewariskan krisis listrik. Kedewasaan dan kewarasan bersikap
para pembantu Presiden diperlukan untuk membuat rakyat sejahtera. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar